4 Khutbah Jumat Agung untuk Dibaca dan Direnungkan!
Jumat Agung adalah hari untuk memperingati kematian Yesus Kristus di kayu salib dan diperingati setiap hari Jumat sebelum Hari Paskah.
Dalam Jumat Agung, Yesus Kristus yang tidak bersalah rela disiksa, dihina, hingga mati di kayu salib untuk menebus dosa umat manusia.
Bagi umat Kristen dan Katolik penderitaan yang dialami Yesus adalah pengorbanan yang luar biasa untuk manusia.
Maka dari itu, untuk menghayati pengorbanan Yesus, umat Kristen juga bisa mengamalkan dan merenungkan khutbah Jumat Agung yang disampaikan di gereja.
Baca Juga: 35 Twibbon Jumat Agung, Mudah Digunakan dan Gratis!
Khutbah Jumat Agung
Ini beberapa Khutbah Jumat Agung yang bisa Moms baca mengutip dari beberapa sumber.
1. Intervensi Jumat Agung oleh Aaron Damiani
Kita telah melihat surat-surat Yesus kepada ketujuh gereja di Asia Kecil dalam Kitab Wahyu.
Setiap surat berisi tiga elemen dasar: pujian atas kesetiaan mereka, teguran atas ketidaksetiaan mereka (dalam beberapa kasus), dan janji bagi mereka yang bertahan.
Pujian, teguran, dan janji.
Surat kepada jemaat di Laodikia tidak memuat pujian. Yesus tidak memiliki sesuatu yang membesarkan hati untuk dikatakan.
Sementara gereja-gereja lain setidaknya sebagian setia kepada Yesus di kota-kota mereka, gereja ini sepenuhnya berasimilasi dengan budaya kota mereka.
Yesus telah datang untuk menyelamatkan hubungan itu. Dia datang untuk melakukan percakapan Jumat Agung—sebuah intervensi.
Yesus datang dengan wawasan yang benar:
"Tuliskan kepada malaikat gereja di Laodikia: Inilah perkataan Amin, saksi yang setia dan benar, penguasa ciptaan Allah" (Wahyu 3:14).
Yesus datang dengan kasih yang dalam: "Orang-orang yang kukasihi, Aku menegur dan menghajar. Karena itu bersungguh-sungguhlah dan bertobatlah" (ayat 19).
Seperti apa percakapan dengan seseorang yang mengetahui kebenaran tentang kita dan pada saat yang sama mencintai kita?
Itu adalah percakapan Jumat Agung yang mengubah hidup, menyelamatkan hubungan.
Terkadang Jumat Agung terasa berat karena apa yang harus kita lihat—Yesus di Kayu Salib.
Jumat Agung mungkin sulit karena apa yang harus kita dengar. Air mata dan kebenaran mungkin keluar. Dan kita mungkin kembali ke cinta pertama kita.
"Aku tahu perbuatanmu, bahwa kamu tidak dingin atau panas. Aku ingin kamu salah satu atau yang lain!
Jadi, karena kamu suam-suam kuku—tidak panas atau dingin—aku akan memuntahkanmu dari mulutku" (ay. 15-16).
Di sini Yesus mendiagnosa kondisi rohani yang sebenarnya dari gereja di Laodikia.
Dia telah mengamati hidup mereka, kata-kata mereka, hubungan mereka, sikap mereka, dan kehidupan doa mereka.
Lalu, selera mereka, imajinasi mereka, kehidupan publik mereka, aliran uang mereka, dan dia menyimpulkan:
"Kamu seperti air suam-suam kuku. Dan sebenarnya , hidupmu membuatku jijik; pilihanmu membuatku ingin muntah dan muntah. Kondisi spiritualmu membuat perutku mual."
Bisakah Juruselamat yang pengasih mengatakan ini? Hanya Juruselamat yang pengasih yang dapat mengatakan ini.
Yesus berharap umat Kristen Laodikia dingin atau panas. Apa maksudnya? Nah, metafora itu ambigu.
Mungkin maksudnya adalah lebih baik bagi seseorang untuk langsung menolaknya—menjadi dingin—daripada berpura-pura mencintainya dengan cara yang suam-suam kuku.
Ada sesuatu yang bisa dikatakan untuk ini. Tapi dia juga bisa mengacu pada persediaan air di Laodikia.
Laodikia tidak memiliki persediaan air alami dan harus menyalurkan semua air mereka melalui pipa.
Pasokan air dingin datang dari Kolose, 11 mil ke timur. Air dingin ini menyegarkan untuk diminum.
Pasokan air panas mereka berasal dari mata air panas di Hierapolis, enam mil ke utara.
Air panasnya bisa mencapai 95 derajat dan memiliki dampak penyembuhan dan pengobatan.
Apa yang terjadi jika Anda harus menyalurkan air dingin atau air panas dari jarak bermil-mil jauhnya? Sepanjang jalan, dibutuhkan suhu hari itu.
Pada saat mencapai Anda, tidak cukup dingin untuk diminum, dan tidak cukup panas untuk sembuh.
Air telah berasimilasi dengan udara di sekitarnya. Air dingin tidak menyegarkan lagi; air panas tidak menenangkan lagi.
"Aku tahu perbuatanmu," kata Yesus, "bahwa kamu tidak dingin atau panas."
Mereka telah benar-benar berasimilasi dengan iklim lokal mereka dan bukan merupakan sumber penyegaran bagi yang lelah secara spiritual maupun penyembuhan bagi yang sakit secara spiritual.
Baca Juga: 35+ Ucapan Selamat Paskah dalam Bahasa Indonesia dan Inggris
2. Gereja Kristen Jawi Wetan oleh Jenny Wongka
Matius 27:45
Dalam rangka memperingati hari Kesengsaraan Tuhan kita Yesus Kristus, khususnya seminggu terakhir ini, secara pribadi kembali saya merenungkan apa yang Tuhan Yesus telah perbuat bagi saya.
Dengan penuh beban saya ingin membagikan kepada kita apa yang saya peroleh melalui perenungan satu ayat, yakni Matius 27:45.
Sebuah ayat yang begitu menarik perhatian saya, “Mulai dari jam dua belas kegelapan meliputi seluruh daerah itu sampai jam tiga.”
Dalam teks bahasa Yunani kata “daerah” yang dipakai itu adalah “ge” yang bisa berarti land atau negeri; juga bisa berarti earth atau bumi.
Jadi, “Mulai dari jam dua belas kegel¬apan meliputi seluruh Bumi itu sampai jam tiga.”
Ada pengajaran-pengajaran penting yang boleh kita timba dalam peristiwa kegelapan selama tiga jam itu.
Saya rindu membicarakan dua hal dalam peristiwa kegel¬apan yang menaku¬tkan itu.
Dari observasi objektif, sesungguhnya kegelapan merupakan fenomena alamiah yang terjadi di muka Bumi ini.
Namun sepanjang sejarah umat manusia, sejak penciptaan Allah atas Langit dan Bumi ini.
Tidak dapat dipungkiri bahwa kegelapan yang meliputi Bumi pada siang hari pukul 12.00 hingga pukul tiga adalah tidak pernah terjadi.
Bagi saya, kegelapan selama tiga jam itu merupakan suatu mukjizat. Mukjizat ini terjadi sebagai deklarasi tindakan kehendak Allah yang independen atas alam semesta ini.
Walaupun Tuhan menciptakan langit dan Bumi dengan urutan siang dan malam, namun pada hari itu dalam peristiwa penting tersebut Ia telah sisipkan kegelapan pekat pada siang hari.
Suatu kejadian yang tidak biasa. Suatu mukjizat besar yang terjadi pada saat kesengsaraan Kristus.
Kematian adalah suatu hal yang biasa, lumrah bagi manusia. Kematian tidak mencengangkan kita, baik itu terjadi pada seorang bayi, kanak-kanak balita, remaja, pemuda, atau orang tua.
Upacara penguburan atas orang-orang yang meninggal pun, baik itu dilangsungkan secara besar-besaran atau kecil-kecilan, juga bukan merupakan suatu hal yang menakjubkan kita.
Namun, hanya ada satu kesengsaraan, kematian yang luar biasa, yakni Anak Allah harus mati. Kematian ini sungguh melampaui segala ekspektasi alam semesta dan umat manusia.
Yesus, Anak Allah yang setara dengan Allah dan yang adalah Allah itu sendiri digantung pada salib dan mati.
Kegelapan pekat yang mencekam di tengah hari bolong itu harus menemani peristiwa kematian Kristus.
Para sarjana Alkitab yang tidak mengakui adanya mukjizat beranggapan bahwa sebenarnya kegelapan tersebut hanya karena adanya gerhana Matahari.
Untuk memberikan sanggahan, kita perlu merenungkan bahwa kegelapan itu bukan saja di luar urutan alamiah, tetapi juga mengungkapkan suatu ketidakmungkinan.
Mengapa? sebab kita tahu bahwa perayaan hari Paskah diselenggarakan pada waktu bulan purnama.
Perayaan ini terjadi pada antara bulan Maret dan April, yaitu Bulan Nisan dalam pentarikhan Yahudi.
Dari pelajaran science jelas dikatakan bahwa adalah tidak mungkin terjadi gerhana Matahari pada saat bulan purnama.
Maka tak diragukan lagi bahwa hal ini terjadi karena mukjizat dari Tuhan sendiri.
Baca Juga: Kumpulan Ayat Alkitab tentang Kekuatan dalam Menghadapi Masalah
3. Momentum Untuk Memuliakan Tuhan oleh Pdt. Bigman Sirait
Setiap Hari Jumat Agung, ucapan Yesus dari kayu salib selalu berkumandang:
“Bapa, ampuni mereka karena mereka tidak tahu apa yang dilakukan” (Lukas 23: 34).
Dia disalibkan, oleh karena kita dengan sadar berkata: “Salibkan Dia”.
Dia disalibkan oleh karena kita dengan sadar berkata: “Dia bukan siapa-siapa”.
Dia disalibkan, karena dengan sadar kita berkata: “Kitalah hidup ini, kitalah Tuhan itu”.
Ketika Yesus mengatakan, “Ampunilah mereka…” itu betul sekali.
Sebab, para ahli Taurat sudah menjadikan dirinya sebagai “Tuhan” yang memegang palu pengadilan untuk menjatuhkan vonis yang sangat berat terhadap Yesus, Mesias, anak Allah.
Mereka menghukumNya dengan pongah dan bangga. Mereka bukan saja menghukum Dia dengan rasa tidak bersalah, tetapi juga senang.
Kasihan, sebab sesungguhnya mereka semakin dalam terperosok ke dalam lubang kemunafikan dan kepongahan yang kosong.
Mereka bisa saja terus-menerus mengu-mandangkan suara Tuhan, namun tidak pernah melakukannya dalam kehidupannya.
Mereka bisa saja beraktivitas dalam hidup, tetapi jauh dari kuasa Allah. Karena itu Yesus berkata, “Ampuni mereka…”
Sekali lagi, mereka sedang membunuh dirinya sendiri, menghabiskan masa depan anak cucunya karena mereka tidak takut akan Tuhan.
Dosa memang sangat luar biasa membuat dan menciptakan kebebalan pada diri mereka.
Lalu, membuat mereka melacurkan hidup mereka, membuat mereka terjebak pada perangkap-perangkap yang salah itu.
Ini menjadi pertarungan serius bagi kita semua.
Jumat Agung ini, haruskah Dia kembali mengucapkan kalimat yang sama kepada setiap kita yang ada di dalam gereja?
Kepada kita yang sudah mengaku percaya, haruskah Dia menggugat dan berkata:
“Bapa ampuni mereka, sebab mereka hanya berkhotbah, mereka hanya memegang Alkitab, mereka hanya menyanyi, mereka melayani Aku;
tetapi sebetulnya mereka tidak tahu apa yang mereka kerjakan?” Jangan sampai terjadi hal seperti ini.
Bukankah sangat ironis ketika gereja memuliakan nama Yesus tetapi Dia tidak rela?
Bukankah kekristenan menjadi ironis ketika semua umat merasa kehadiran-Nya.
Namun, Dia sendiri tidak pernah datang di tengah-tengah mereka, karena banyak topeng, kemunafikan, kesalahan yang ditutup-tutupi?
Banyak ungkapan lips service yang tidak pada tempatnya yang datang dari berbagai penjuru, dari mereka yang menyatakan diri sebagai permimpin agama.
Akankah Yesus kembali meminta Bapa Surgawi mengampuni mereka?
Saudara yang terkasih, camkan dan pikirkan baik-baik.
Bukankah seharusnya gereja Tuhan menjadi gereja yang punya kekuatan dan kuasa yang luar biasa, karena menjadi agen kebenaran yang diberi kuasa oleh Tuhan?
Tetapi pada kenyataannya, kita terjebak dan terperangkap menjadi pecundang dan kalah.
Jangan sampai kita salah dalam memainkan peran. Jangan sampai kita salah dalam mengayunkan langkah dalam upaya memahami kebe-naran yang hakiki itu.
Kiranya Jumat Agung ini boleh mengingatkan kita supaya jangan terjebak pada perangkap yang salah.
Maka kita perlu memeriksa diri, sebab jangan-jangan kita terlalu banyak memakai topeng dalam hidup ini.
Sekiranya kita tidak menemukan kebenaran yang hakiki, Jumat Agung menjadi momentum yang penting bagaimana kita mengarahkan mata kita ke kayu salib, merenung ulang penderitaan yang dialamiNya.
Kemudian kita mencoba untuk menelaah, sebab bukankah seharusnya kita hidup untuk kemuliaan nama Tuhan?
Jumat Agung ini, ketika Saudara pergi ke gereja, camkan dan pikirkan baik-baik.
Di Bukit Golgota, Yesus Anak Manusia, Tuhan kita, tersalib. Dari situ dia menatap kita yang datang dan masuk ke gereja, satu demi satu.
Yesus menatap dari salib. Entah apa yang dia ucapkan, tapi rasa-rasanya Dia akan mengungkapkan kalimat, “Ampuni mereka…”.
Mengapa? Karena salib bebicara tentang isi hati Anak Manusia. Salib tidak bebicara tentang fenomena-fenomena belaka.
Karena itu jangan terjebak pada rutinitas-rutinitas keagamaan belaka.
Gunakan baik-baik, Jumat Agung adalah momen untuk menemukan kesejatian makna tentang penderitaan Tuhan, dan pengetahuan kita akan kebenaran.
Manfaatkan momen tersebut secara baik-baik supaya tidak menjadi suatu pengulangan, di mana kita hanya mengulang dan memainkan peran kita tanpa pernah kita pahami;
bahwa DIA berdiri dan menatap kehidupan kita, dan mungkin berkata, “Belum terlalu baik.”
Kiranya Jumat Agung ini boleh menjadi momentum kebangunan keimanan, kebangunan kerohanian yang utuh untuk hidup takut akan Tuhan, memuliakan Tuhan dalam kesucian kejujuran.
Beranilah membedah, jangan-jangan kita sudah terjebak pada rutinitas sehari-hari. Selamat menunaikan ibadah Jumat Agung di mana pun engkau berada.
Baca Juga: 35 Ucapan Jumat Agung dalam Bahasa Indonesia dan Inggris!
4. Gereja Kristen Jawi Wetan: Pengorbanan Terbesar
Tema: Percaya pada Pengorbanan Yesus
Judul: Pengorbanan Terbesar
Bacaan: Yohanes 19:28-37
Ayat Hafalan: “Sebab yang sangat penting telah kusampaikan kepadamu, yaitu apa yang telah kuterima sendiri, ialah bahwa Kristus telah mati karena dosa-dosa kita, sesuai dengan Kitab Suci,.” (1 Korintus 15:3)
Yesus disebut sebagai Anak domba Allah sesuai Yohanes 1:29, yang menandakan perjalanan-Nya sebagai Anak domba Allah yang memenuhi nubuatan para nabi.
Kematian-Nya di kayu salib adalah bagian dari perjalanan tersebut, sebagai pengorbanan untuk menebus dosa manusia.
Dalam Perjanjian Lama, korban bakaran diwajibkan untuk menghapus dosa.
Sedangkan dalam Perjanjian Baru, Yesus menjadi satu-satunya korban yang menghapus dosa manusia selamanya.
Kematian dan kebangkitan-Nya membawa pembebasan bagi mereka yang percaya, mengakhiri kebutuhan akan korban bakaran sebagai penghapus dosa.
Pada bacaan hari ini, perhatian tertuju pada ayat 36 yang menyatakan tidak ada tulang yang dipatahkannya.
Referensi Alkitab menyoroti perayaan Paskah orang Yahudi, di mana anak domba yang dikorbankan tidak memiliki tulang yang dipatahkan.
Dalam Injil Yohanes, tidak ada tulang Yesus yang dipatahkan, menegaskan bahwa Ia mati sebagai Anak domba Allah tanpa kekuatan yang tergoyahkan dalam menyelamatkan.
Penyaliban Yesus dianggap sebagai pengorbanan besar karena Ia, yang adalah Allah, rela menjadi manusia, dan menanggung penderitaan.
Lalu, menerima kematian di kayu salib untuk menyelamatkan manusia dari kebinasaan dan memberikan hidup yang kekal.
Dosa-dosa manusia dihapus dan hubungan mereka dengan Allah yang terganggu oleh dosa dapat dipulihkan.
Korban-korban seperti kambing atau domba tidak mampu menghapus semua dosa manusia, sehingga harus dilakukan secara berulang.
Namun, dengan pengorbanan Yesus sebagai Anak domba Allah yang suci dan tanpa dosa, manusia memperoleh penebusan yang sempurna.
Yesus disebut Anak domba Allah, dan hal ini tercermin dalam penyaliban-Nya di kayu salib.
Di mana tulang-Nya tidak dipatahkan, sesuai dengan tradisi persembahan korban Paskah Yahudi yang tidak memiliki tulang yang dipatahkan.
Ini menegaskan bahwa Yesus mati sebagai Anak domba Allah, melengkapi nubuatan Alkitab dan membuktikan kesucian-Nya sebagai Anak domba yang sempurna.
Baca Juga: 16 Ayat Alkitab Jumat Agung yang Bisa Dibaca dan Dipahami!
Itulah beberapa khutbah Jumat Agung yang bisa Moms pahami!
- https://www.preachingtoday.com/sermons/sermons/2017/january/good-friday-intervention.html
- https://gkjw.or.id/rancangan-khotbah/khotbah-jumat-agung-7-april-2023/
- https://reformata.com/news/view/354/jumat-agung-momentum-untuk-memuliakan-tuhan
- https://gkjw.or.id/tiar-remaja/bahan-ibadah-jumat-agung-29-maret-2024-untuk-remaja/
Baca selanjutnya
Konten di bawah ini disajikan oleh advertiser.
Tim Redaksi Orami tidak terlibat dalam materi konten ini.
Orami Articles — Artikel Seputar Parenting, Kesehatan,
Gaya Hidup dan Hiburan
Copyright © 2024 Orami. All rights reserved.