Sering Dengar Seksisme Tapi Belum Tahu Artinya? Berikut Informasinya, Moms!
Dilansir dari Britannica, sebagian besar kasus seksisme atau diskriminasi gender terjadi pada wanita atau anak perempuan.
Asal usulnya masih belum jelas. Bisa dibilang istilah seksisme muncul dari kata feminisme pada tahun 1960-1980.
Sebagian besar kasusnya merujuk pada diskriminasi berdasarkan jenis kelamin atau gender, di mana satu jenis kelamin merasa paling unggul.
Bukan itu saja, satu jenis kelamin tersebut juga dirasa lebih berharga dan memiliki kekuatan lebih ketimbang jenis kelamin lainnya.
Hal tersebut berujung pada penetapan batasan pada hal-hal yang boleh dan tidak untuk dilakukan.
Konsep seksisme sendiri awalnya muncul untuk meningkatkan kesadaran terhadap penindasan anak perempuan.
Kemudian, pada abad ke-21 artinya diperluas, mencakup penindasan terhadap jenis kelamin apapun, termasuk transgender.
Baca Juga: 11+ Cara Memulai Self Love di Kehidupan Sehari-hari, Tidak Mudah Tapi Harus Dicoba!
Seksisme dan Fakta Menarik di Dalamnya
Dilansir dari UNICEF, seksisme merupakan diskriminasi terhadap seseorang berdasarkan jenis kelamin atau gender.
Jenis kelamin sudah dapat terlihat dari lahir. Sedangkan gender, muncul akibat konstruksi sosial, terdiri dari peran dan norma sosial.
Di masyarakat, biasanya hal-hal tersebut sudah diklasifikasikan berdasarkan jenis kelamin.
Bisa dibilang, gender melibatkan bagaimana seseorang mengidentifikasi diri dan citra yang ingin diperlihatkan pada orang lain.
Setiap tindakan, ucapan, atau praktik yang memiliki nilai lebih tinggi pada satu jenis kelamin dan merendahkan jenis kelamin lainnya bisa dikatakan seksis.
Hal tersebut bukan hanya pada manusia saja, tetapi juga berlaku bagi lembaga, dengan niat menimbulkan kerugian atau tidak.
Dari keseluruhan, pihak wanita dan anak perempuan lah yang paling sering dirugikan dengan tindakan seksisme.
Hal tersebut membuat wanita dipandang harus feminin, serta tidak boleh berperilaku seperti pria.
Di samping itu, pria pun dirugikan terhadap tindak seksisme. Para pria dinilai harus tangguh, berani dan kuat.
Contoh Seksisme di Kehidupan Sehari-hari
Zaman sekarang sudah sangat jauh lebih baik, sehingga anak perempuan bisa mendapatkan pendidikan yang layak, setinggi-tingginya.
Banyak hal yang perlu dilakukan agar wanita bisa mendapatkan kesetaraan gender dengan pria.
Namun, hingga kini, sangat sulit untuk menghilangkan seksisme yang mengakar di masyarakat.
Berikut ini beberapa contoh seksisme yang kerap terjadi sehari-hari beserta cara menghadapinya:
1. Pelecehan Verbal hingga Fisik
Pelecehan seksual yang terjadi di tempat umum pada wanita sangat sering terjadi. Dari total keseluruhan wanita dewasa, sebanyak 81 persen mengalaminya.
Bentuk pelecehan bukan hanya sentuhan fisik saja, tetapi juga kata-kata bermuatan seksual hingga komentar mengenai bagian tubuh wanita.
Jika ditegur, para pria berdalih jika mereka sedang memberikan pujian atau bercanda.
Namun, secara langsung hal tersebut merupakan tindakan pelecehan seksual, yang dapat berdampak langsung pada mental wanita, seperti merasa ketakutan.
Jika Moms mengalaminya, jangan takut untuk menegur langsung. Berteriak dengan nada membentak jika perlu agar pelaku malu.
Baca Juga: Ramai Kasus George Floyd, Ini 4 Cara Mengajari Anak Agar Tak Rasis
2. Pekerjaan Tidak Sesuai Jobdesc
Hal yang satu ini kerap terjadi di kantor, dilakukan oleh atasan. Biasanya terjadi pada sekretaris pribadi.
Di mana sekretaris biasa diminta untuk membuatkan kopi untuk klien, padahal itu bukanlah pekerjaannya.
Wanita juga cenderung mendapat gaji lebih rendah ketimbang pria, dengan pekerjaan yang lebih banyak dan tidak sesuai.
Pada kebanyakan kasus, wanita yang menolak suruhan cenderung tidak mendapat kenaikan gaji atau didesak oleh atasan.
Jika Moms mengalaminya, sebaiknya mulai sebar lamaran baru ke perusahaan lain. Jangan segan untuk meninggalkan lingkungan kerja yang toxic.
3. Sering Menyalahkan Wanita
Biasanya, pelaku pelecehan seksual cenderung menyalahkan korban. Entah karena pakaian yang dikenakan, atau wajah yang sensual.
Sedangkan pria yang melakukan pelecehan, mereka kerap dimaklumi karena bukan suatu kejahatan.
Apalagi saat melapor, wanita sering kali ditanya sedang memakai baju apa, suka atau tidak digoda, bahkan ditanya apa yang dilakukan hingga pria bisa menggoda.
Pertanyaan tersebut otomatis menyudutkan wanita, padahal ia adalah korban. Wanita dituntut lebih waspada dengan sikap dan penampilannya.
Wanita tidak seharusnya selalu merasa cemas. Padahal, pria lah yang seharusnya diajarkan untuk menutup mulut rapat-rapat agar kekerasan seksual tidak terjadi.
Baca Juga: Menyelami Gangguan Kesehatan Mental pada Ibu Pasca Melahirkan
4. Pertanyaan-Pertanyaan Mengganggu
Di Indonesia, pertanyaan “kapan menikah” pada wanita pertengahan 20-30 tahun sudah sangat umum terjadi.
Mereka mungkin menganggap pertanyaan tersebut lumrah. Padahal, mereka tidak tahu keadaan apa yang pernah dialami oleh seseorang.
Jika sudah begitu, mereka yang berusia kepala 3 dan belum menikah akan dianggap tidak laku atau "sudah kedaluwarsa".
Tidak berhenti sampai menikah saja. Setelah menikah pun pertanyaan mengganggu kerap dilontarkan orang terdekat.
Mengenai, “kapan punya anak” atau “kapan menambah anak lagi” dan lain-lain yang bersifat pribadi.
Jika belum dikaruniai anak, pihak wanita yang sering disalahkan. Apalagi jika dilihat wanita tersebut aktif bekerja.
Wanitalah yang selalu disudutkan, karena dianggap terlalu sibuk sehingga sulit untuk mengusahakan punya anak.
5. Pujian yang Merendahkan Perempuan
Hal tersebut sering ditemui di kantor, terutama pada wanita yang kerja di lingkungan pria.
Pujian yang dianggap merendahkan, seperti “Buat wanita, kamu hebat bisa melakukannya” dan lain-lain dianggap merendahkan.
Percayalah, kalimat tersebut dilontarkan dengan maksud mempertahankan keyakinan seksis laki-laki, karena tidak mau kalah bersaing.
Baca Juga: Viral Suami Ungkap Pelecehan Seksual Istrinya di Grup Chat Kawan Lama Group, Ini Kata Perusahaan!
6. Dalam Lingkungan Pribadi
Dilansir dari Council of Europe, wanita melakukan lebih banyak pekerjaan yang tidak dibayar dalam hal merawat dan mengurus rumah tangga daripada pria.
Misalnya hanya wanita yang membantu mencuci piring di acara keluarga di rumah mertua.
Hal lainnya, seperti anak laki-laki didorong untuk berlari dan mengambil risiko terhadap suatu hal.
Sedangkan anak perempuan, mereka cenderung dituntut untuk patuh dan diam. Hal tersebut tentu harus disikapi lebih lanjut.
Pekerjaan tidak dibayar yang dilakukan di rumah tentu membebani partisipasi wanita di pasar tenaga kerja, serta kegiatan lainnya.
Jika dianggap biasa, lelucon seksis dapat mengintimidasi dan membungkam orang, sehingga mereka cenderung meremehkan perilaku seksis.
Oleh karena itu, sebaiknya pasangan suami istri membagi pekerjaan rumah secara adil, agar tidak satu sisi saja yang merasa terbebani.
Termasuk anak laki-laki dan perempuan, ajak mereka berpartisipasi dalam tugas-tugas rumah tangga.
Moms juga bisa memberi anak perempuan ruang dan kebebasan untuk bermain, bereksplorasi, dan menjadi diri mereka sendiri.
Melawan perilaku seksisme tentu tidak mudah, apalagi jika Moms hidup di lingkungan masyarakat yang menjunjung patriarki.
Hal paling pertama yang harus dilakukan untuk melawannya adalah mengidentifikasi perilaku seksisme itu sendiri.
Identifikasi saja merupakan hal yang sulit, karena di Indonesia memiliki nilai-nilai kultural atau religius yang dijunjung tinggi.
Tidak bisa juga disalahkan, karena masing-masing orang tumbuh berkembang dengan susunan nilai dari masing-masing keluarga.
Namun, yakinlah dari awal. Pertama, wanita dan pria memiliki tugas pokoknya masing-masing.
Namun, perbedaan tugas tersebut tidak membuat salah satunya lebih penting.
- https://www.medicalnewstoday.com/articles/types-of-sexism
- https://www.britannica.com/topic/sexism
- https://www.coe.int/en/web/human-rights-channel/stop-sexism
- https://www.unicef.ie/itsaboutus/cards/unicef-itsaboutus-gender-sexism.pdf
Konten di bawah ini disajikan oleh advertiser.
Tim Redaksi Orami tidak terlibat dalam materi konten ini.
Orami Articles — Artikel Seputar Parenting, Kesehatan,
Gaya Hidup dan Hiburan
Copyright © 2024 Orami. All rights reserved.