Biografi Mus Mulyadi, Maestro Musik Keroncong dari Surabaya
Di Suriname, nama Mus Mulyadi akan selalu dikenang.
Ia diabadikan sebagai nama jalan, rumah sakit, dan stadion di negara yang banyak dihuni keturunan Jawa.
Mus Mulyadi dikenal lewat lagu keroncong, pop, dan rock, serta aktif sejak 1960-an sebagai anggota berbagai band, termasuk Ariesta Birawa sebagai bassist dan vokalis.
Maestro musik asal Surabaya ini meninggal pada 2019 karena diabetes, namun warisannya dalam musik keroncong akan selalu hidup.
Baca Juga: Mengintip Rumah Nike Ardilla, Lady Rocker Indonesia yang Melegenda
Profil dan Masa Kecil Mus Mulyadi
- Nama asli: Mulyadi
- Tanggal lahir: 14 Agustus 1945 (Surabaya)
- Meninggal: 11 April 2019 (umur 73 tahun)
- Profesi: Penyanyi, Aktor
- Pasangan: Helen Sparingga
- Orang tua: Ali Sukarni dan Muslimah
- Tahun aktif sebagai musisi: 1958-2019
Lahir dengan nama Mulyadi, Ia menghabiskan masa kecil hingga remaja di kota Surabaya.
Ia adalah anak ketiga dari delapan bersaudara, lahir dari pasangan Ali Sukarni dan Muslimah.
Bakat seninya tumbuh secara otodidak karena dipengaruhi oleh lingkungan keluarganya yang penuh dengan seniman.
Meskipun ayahnya, yang merupakan pemain Gamelan, tidak pernah berniat untuk mengarahkannya ke dunia seni.
Tiga dari saudara-saudaranya memilih untuk terlibat dalam seni vokal.
Dua kakaknya, Sumiati, meniti karier sebagai penyanyi keroncong di Belanda, sementara abangnya, Mulyono, dikenal di Surabaya sebagai penyanyi keroncong.
Selain itu, adiknya, Mus Mujiono, akhirnya memutuskan untuk terjun ke dunia musik dengan memilih jalur musik jazz dan pop sebagai pilihan karier.
Perjalanan Karier
Perjalanan karier Mus Mulyadi diawali dengan membentuk sebuah grup band.
Sebelum memulai karir sebagai penyanyi, saat masih remaja di Surabaya, Mus Mulyadi telah mendirikan sebuah band bernama "Irama Puspita".
Band ini terdiri dari tiga belas wanita tangguh yang telah ia persiapkan untuk meraih sukses di dunia hiburan.
Ia bertindak sebagai pelatih untuk band "Irama Puspita" selama beberapa tahun.
Band yang diasuhnya tampil dalam acara POI Ganefo di Jakarta dan berhasil meraih berbagai penghargaan dalam lomba festival musik di Surabaya.
Namun, seiring berjalannya waktu, anggota band satu per satu memutuskan untuk keluar, sehingga tidak lama kemudian Mus Mulyadi terpaksa membubarkan band yang ia asuh.
Ternyata, tiga di antara anggota band tersebut diam-diam pindah ke Jakarta.
Ketiga wanita tersebut adalah Titiek AR, Lies AR, dan Sugien yang juga dikenal dengan nama Susy Nander.
Mus Mulyadi kemudian bergabung dengan grup band "Arista Birawa" pada tahun 1964 yang didirikan oleh Busro Birawa.
Ia memegang peran sebagai pemain bas dan juga vokalis.
Anggota lainnya meliputi Jeffry Zaenal (Abidin) di drum, M. Yusri memainkan rhythm guitar, Oedin Syach mengisi posisi lead guitar, dan juga Sonata Tanjung.
Mengembara ke Singapura
Atas ajakan Jerry Souisa, pemimpin band, Mus Mulyadi bersama Jeffry Zaenal dan Arkan diundang untuk tur ke Singapura.
Awalnya Mus Mulyadi ragu meninggalkan band-nya di Surabaya, apalagi baru kehilangan ayahnya.
Namun, ia akhirnya memberanikan diri bersama rekan-rekannya pergi ke Singapura pada 1967 untuk mencoba peruntungan.
Dalam perjalanan ini, mereka menggunakan kapal kayu dan menempuh dua minggu perjalanan hingga tiba di Tanjung Pinang.
Mereka menerima tawaran tampil gratis di sebuah hajatan sebagai imbalan dari pengusaha Tionghoa yang membantu keberangkatan mereka ke Singapura.
Setibanya di Singapura, mereka tinggal di rumah sebuah keluarga Jawa.
Menciptakan Karya-karya Pertamanya
Selama dua tahun di Singapura, mereka berjuang tanpa mendapatkan kesempatan untuk tampil.
Mereka menghadapi masa-masa sulit, menjadi gelandangan, merasa lapar, dan mengalami keterpurukan tanpa memiliki makanan, pekerjaan, atau uang.
Namun, dengan tekad dan kesabaran yang tinggi, mereka akhirnya mulai melihat perubahan nasib.
Setelah mengalami masa pengangguran, Mus Mulyadi belajar menciptakan lagu.
Nah, dari sanalah muncul lagu-lagu seperti Sedetik Dibelai Kasih, Jumpa dan Bahagia, dan Kr. Jauh di Mata.
Seiring berjalannya waktu, mereka berhasil menghasilkan 10 lagu.
Mereka membentuk sebuah band yang diberi nama "The Exotic" dengan personel:
- Jerry Souisa sebagai pemain lead guitar
- Arkan pada rhythm guitar
- Jeffry Zaenal (Abidin) mengisi posisi drum
- Mus Mulyadi sebagai pemain bass sekaligus vokalis.
Mus kemudian menawarkan karya-karya ini kepada Life Record di Jurong pada tahun 1969.
Mereka berhasil menciptakan dua album Pop dan Keroncong dalam format vinyl.
Dalam desain sampul album ini, Mulyadi mulai menggunakan nama Mus Mulyadi sebagai nama resminya, di mana tambahan kata "Mus" diambil dari bagian nama ibunya.
Di Singapura, Mus berhasil memperoleh 2.800 Dolar Singapura untuk dua album piringan hitam.
Setelah mengumpulkan uang tersebut, Mus Mulyadi dan ketiga rekannya kembali ke Indonesia.
Baca Juga: Biografi Agus Salim, "The Grand Old Man" dari Sumatera Barat
Awal Mula Menjadi Musisi Solo
Pada tahun 1971, Mus Mulyadi merekam album solo di Remaco dengan didukung oleh kelompok musik A. Riyanto dan Empat Nada Band.
Kemudian, Riyanto mengundangnya untuk bergabung dengan Empat Nada Band.
Di bawah bimbingan Riyanto, Empat Nada bertransformasi dari band pengiring Remaco menjadi band independen dengan identitas sendiri.
Dengan perubahan ini, band baru mereka diberi nama Favourite's Group.
Mus Mulyadi kemudian memilih mengundurkan diri dari Favourite's Group untuk berfokus pada karier penyanyi solo.
Kemudian, Mus Mulyadi memutuskan untuk mencoba menyanyikan lagu-lagu keroncong pop, dan hasilnya luar biasa sukses dan meraih popularitas yang besar.
Dari sini, ia mendapat gelar "Buaya Keroncong" yang menjadi julukannya.
Ketika tampil di luar negeri, seperti di Belanda atau Amerika, ia dikenal sebagai "The King of Keroncong".
Bermain Film Layar Lebar dan Menyanyikan Lagu Dangdut
Popularitas Mus Mulyadi sebagai penyanyi keroncong menarik perhatian dari kalangan perfilman nasional pada tahun 1970-an.
Pada tahun tersebut, sutradara Fred Young mengajaknya untuk tampil dalam film berjudul Putri Solo (1974).
Di penghujung tahun 1970-an, Mus Mulyadi juga mengambil langkah baru dalam genre musik dangdut.
Ia berkolaborasi dengan Ida Laila, seorang pedangdut asal Surabaya.
Beberapa lagu duet mereka, seperti Suara Hati dan Bunga Dahlia, menjadi populer dan sering diputar di radio pada masa itu.
Terkena Penyakit Diabetes
Mus Mulyadi, yang dijuluki "Raja Musik Keroncong", harus berjuang melawan penyakit diabetes.
Penyakit ini bahkan telah mengakibatkan kedua matanya kehilangan penglihatan.
Sejak akhir 2009, kedua matanya sama sekali tidak dapat melihat. Ini merupakan akibat dari komplikasi diabetes yang telah ia derita sejak tahun 1984.
Kedua matanya tiba-tiba kehilangan penglihatan tanpa diduga. Kejadian ini terjadi setelah ia sibuk mengerjakan album "Keroncong Murni".
Setelah rekaman selesai, ia merasa sangat lelah. Namun, saat ia bangun keesokan paginya, ia mendapati bahwa matanya tiba-tiba tidak dapat melihat.
Diabetes merupakan penyakit yang telah lama ada dalam keluarga Mus Mulyadi. Kedua orang tuanya, Muslimah dan Ali Sukarni, keduanya juga mengidap diabetes.
Penyakit ini kemudian diturunkan kepada empat dari delapan anak mereka, termasuk Mus dan adik bungsunya yang juga seorang musikus, Mus Mujiono.
Dua saudaranya yang juga mengidap diabetes telah meninggal dunia karena komplikasi penyakit ini.
Pada tanggal 11 April 2019, Mus Mulyadi meninggal dunia di Rumah Sakit Pondok Indah selama menjalani perawatan untuk diabetes yang dideritanya.
Baca Juga: 3 Contoh Biografi Tokoh Terkenal yang Menginspirasi Pembaca!
Demikian biografi Mus Mulyadi, maestro musik keroncong yang begitu terkenal pada masanya.
Konten di bawah ini disajikan oleh advertiser.
Tim Redaksi Orami tidak terlibat dalam materi konten ini.
Orami Articles — Artikel Seputar Parenting, Kesehatan,
Gaya Hidup dan Hiburan
Copyright © 2024 Orami. All rights reserved.