Hari Anak Nasional: Dukung Anak Bahagia dan Berprestasi, Lindungi dari Kekerasan serta Diskriminasi
Peringatan Hari Anak Nasional di Indonesia dilakukan setiap tanggal 23 Juli.
Hal tersebut menjadi pengingat bagi kita para orang tua, masyarakat, hingga negara dalam mendukung perkembangan dan memaksimalkan perlindungan kepada anak-anak.
Di hari peringatan tersebut diharapkan dapat meningkatkan kesadaran tentang hak-hak anak yang patut mereka terima, anak-anak yang kurang beruntung dalam kehidupan, serta permasalahan anak lainnya yang perlu diatasi bersama.
Dilansir dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Republik Indonesia, keluarga menjadi lembaga pertama dan utama dalam memberikan perlindungan kepada anak, dengan tujuan menghasilkan generasi penerus bangsa yang sehat, cerdas, ceria, berakhlak mulia dan cinta tanah air.
Jika pada tahun sebelumnya peringatan Hari Anak Nasional dilakukan secara virtual akibat pandemi COVID-19, mungkin akan ada sedikit perbedaan pada tahun ini.
Karena seperti yang kita ketahui, bahwa angka kasus positif COVID-19 saat ini mulai melandai dibanding tahun-tahun sebelumnya.
Untuk itu, peringatan tahun ini akan dilakukan secara hybrid dan dirangkaikan dengan berbagai aktivitas langsung di masyarakat dan dapat menjangkau lebih banyak anak termasuk Anak yang Memerlukan Perlindungan Khusus (AMPK) dari 34 provinsi di Indonesia.
Adapun tema untuk tahun ini adalah “Anak Terlindungi, Indonesia Maju” menurut Buku Pedoman Hari Anak Nasional Tahun 2022 yang dikeluarkan KemenPPPA.
Tema ini diambil sebagai motivasi bahwa pandemi tidak menyurutkan komitmen untuk tetap melaksanakan Hari Anak Nasional tahun ini.
Selain itu, dengan tema ini diharapkan dapat mendorong langsung berbagai pihak untuk memberikan kepedulian langsung di tengah-tengah masyarakat untuk memastikan anak-anak Indonesia tetap tangguh menghadapi berbagai tantangan dalam pemenuhan hak anak dan perlindungan anak.
Baca Juga: 10 Penyebab Anak Depresi Karena Orang Tua serta Cara Menanganinya
Sejarah Hari Anak Nasional
Foto: sejarah Hari Anak Nasional (freepik.com/jcomp)
Peringatan Hari Anak Nasional yang dilaksanakan setiap tanggal 23 Juli tampaknya mengalami perjalanan yang cukup panjang untuk penentuannya.
Pada awalnya, Hari Anak Indonesia disebut dengan nama Hari Kanak-Kanak Indonesia dan pertama kali dicetuskan pada era Presiden pertama, Ir. H. Soekarno.
Hal tersebut merupakan gagasan dari Kowani (Kongres Wanita Indonesia), sebuah organisasi perempuan yang telah terbentuk sejak 22 Desember 1928 di Yogyakarta, dengan nama “Perikatan Perkoempoelan Perempoean Indonesia” disingkat PPPI.
Seiring berjalannya waktu, mengalami perubahan nama berkali-kali, hingga menjadi Kongres Wanita Indonesia yang berlaku hingga saat ini.
Setelah Kowani menjadi salah satu organisasi resmi di Indonesia, pada tahun 1951 dicetuskan beberapa kesepakatan terkait perempuan dan anak-anak, termasuk penetapan Hari Kanak-Kanak Nasional.
Namun dalam menentukan waktu peringatannya membutuhkan langkah-langkah yang serius dengan memerhatikan nilai historis dan maknanya.
Dulunya, hari anak di Indonesia ditetapkan pada tanggal 1 - 3 Juni karena dekat dengan International Day for Protection of Children atau Hari Perlindungan Anak Internasional yang diperingati di tanggal 1 Juni.
Namun, karena Presiden Soekarno yang sering kali turut memperingati hari anak di Indonesia, Kowani pun berinisiatif untuk mengubah tanggal peringatan hari anak menjadi tanggal 6 Juni, mengikuti tanggal lahir presiden pertama tersebut.
Setelah runtuhnya pemerintahan Orde Lama, dan dilanjutkan Orde Baru oleh presiden kedua, Jenderal Besar TNI H. M. Soeharto, maka penetapan hari anak Indonesia juga mengalami perubahan.
Dilansir dari Peraturan Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia, hal tersebut dituangkan dalam Keputusan Presiden (KEPPRES) No. 44 Tahun 1984, yang menetapkan Hari Anak Nasional untuk dirayakan setiap tanggal 23 Juli.
Alasan pemilihan tanggal 23 Juli, karena disepadankan dengan keluarnya Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 1979, Tentang Kesejahteraan Anak.
Dengan begitu, tanggal 23 Juli menjadi peringatan Hari Anak Nasional Indonesia yang berlaku hingga saat ini.
Permasalahan Anak di Indonesia: Pendidikan dan Perlindungan
Foto: kekerasan pada anak (freepik.com/jcomp)
Dengan dilaksanakannya Hari Anak Nasional setiap tahun, diharapkan setiap bagian masyarakat dapat berpartisipasi dan lebih peduli terhadap kebutuhan serta permasalahan anak-anak yang dialami saat ini.
Sebab, anak-anak merupakan aset penerus bangsa yang akan memimpin di kemudian hari.
Mendukung segala kebutuhan mereka, mulai dari pendidikan, perlindungan, sandang, pangan, papan, akan berdampak pada masa depan bangsa.
Di masa sekarang ini, utamanya di Indonesia, permasalahan pada anak-anak masa depan bangsa yang patut kita perhatikan adalah kekerasan yang mereka alami, serta adanya peningkatan putus sekolah.
1. Data Kekerasan Terhadap Anak di Indonesia
Mengutip dari Simfoni PPA (Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak) berikut ini data persentase kekerasan pada tahun 2020 - 2021.
- Tahun 2020: Jumlah korban kekerasan yang melapor 20.501 dengan 56,5% korbannya adalah anak-anak.
- Tahun 2021: Jumlah korban kekerasan yang melapor 25.210 dengan 56,5% korbannya adalah anak-anak.
Ada kenaikan sebesar 4.709 jumlah korban kekerasan yang melapor di tahun 2021 dibandingkan pada tahun 2020.
Tapi persentase korban anak-anak (0 - 17 tahun) masih di angka 56,5%.
Berarti ada kenaikan juga jumlah anak-anak yang menjadi korban kekerasan. Dari 2 tahun berturut-turut, korban anak selalu lebih dari separuh jumlah keseluruhan laporan.
Selain itu, berdasarkan tempat kejadiannya, kasus kekerasan paling banyak terjadi di lingkungan rumah tangga, yang mengindikasikan bahwa kekerasan pada anak di bawah umur dilakukan oleh kerabat dekat.
Dilansir dari Unicef, peningkatan kasus tersebut dapat disebabkan oleh beberapa faktor, salah satunya adalah pandemi COVID-19 yang telah melanda selama 2 tahun belakangan.
Adanya pandemi membuat beberapa kepala keluarga kehilangan pekerjaan, dipadukan dengan tingkat stres yang lebih tinggi akibat situasi pandemi.
Baca Juga: Masih Ingat dengan Daftar Lagu Anak-Anak 90-an Ini? Yuk, Nostalgia!
2. Data Anak Putus Sekolah di Indonesia
Menurut Ikhtisar Data Pendidikan & Kebudayaan Tahun 2017/2018 dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, perkembangan jumlah siswa putus sekolah berdasarkan jenjang pendidikan, meliputi:
Pada Tahun 2016-2017:
- SD: 39.213
- SMP: 38.702
- SMA: 36.419
Pada Tahun 2017-2018:
- SD: 32.127
- SMP: 51.190
- SMA: 31.123
Dalam 2 tahun ajaran tersebut, terdapat sedikit peningkatan jumlah anak putus sekolah pada jenjang SMP di tahun 2017/2018.
Walau di jenjang SD dan SMA mengalami penurunan, tetap saja jumlahnya yang melebihi angka 30 ribu lebih siswa tidak bisa dikatakan jumlah yang sedikit.
Padahal, menurut Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 12 Tahun 2015, anak dengan usia 6 - 21 tahun berhak mendapatkan layanan pendidikan dan wajib belajar 12 tahun.
Dilansir dari Unicef, faktor risiko yang menyebabkan hal tersebut terjadi antara lain:
- Kebutuhan untuk bekerja dengan upah guna membantu perekonomian keluarga.
- Kewajiban untuk merawat adik-adik.
- Kurangnya fasilitas pembelajaran jarak jauh.
Maka dari itu Pemerintah Indonesia menyediakan serangkaian program, termasuk salah satunya program pendidikan untuk anak-anak Indonesia, yaitu Program Indonesia Pintar (PIP).
Program tersebut menyediakan bantuan pendidikan tunai kepada anak usia sekolah yang berasal dari keluarga miskin dan rentan.
Baca Juga: Eksploitasi Anak: Jenis, Contoh, Dampak, dan Perlindungan Hukum dalam Undang-undang
Hak-Hak Anak
Foto: anak berhak mendapatkan pendidikan (freepik.com/jcomp)
Ketika bicara permasalah anak di Indonesia yang telah dipaparkan di atas, tentu kita harus tahu hak-hak anak apa saja yang harus dipenuhi.
Dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, dijelaskan bahwa negara harus menjamin kesejahteraan setiap warga negaranya, termasuk perlindungan terhadap anak.
Berikut 10 hak anak yang dijelaskan dalam Konvensi Hak-Hak Anak yang disetujui oleh Majelis Umum PBB, meliputi:
1. Hak Perlindungan
Perlindungan yang dimaksud adalah segala bentuk kegiatan yang menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi, secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan.
Selain itu, anak juga berhak mendapatkan perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.
Hal tersebut dilakukan demi terwujudnya penerus bangsa yang berkualitas, berakhlak mulia, dan sejahtera.
2. Hak Pendidikan
Selanjutnya, setiap anak berhak mendapatkan pendidikan dan pengajaran dalam rangka pengembangan pribadi dan kecerdasan sesuai dengan minat dan bakat yang dimiliki.
3. Hak Identitas
Anak berhak mendapatkan identitas dalam negara, termasuk memiliki nama, atau bukti identitas yang resmi dan telah disahkan oleh negara.
4. Hak untuk Mendapatkan Kesamaan
Tiap anak berhak mengemukakan pendapat dan didengar, serta dipertimbangkan pendapatnya saat pengambilan suatu keputusan.
5. Hak Mendapatkan Pelayanan Kesehatan
Ketika anak mengalami masalah pada kesehatan, termasuk kesehatan fisik, mental, dan lainnya, maka mereka berhak mendapatkan pelayanan dan jaminan kesehatan yang setara dengan lainnya.
6. Hak Rekreasi
Dalam langkah membuat anak bahagia, sebagai orang tua dapat mengajak mereka untuk berekreasi dan beraktivitas seru, baik itu bersama keluarga atau teman sebayanya.
7. Hak Bermain
Di usia yang masih belia, anak-anak memang akan cenderung lebih aktif dan hobi bermain bersama teman sebayanya.
Hal tersebut berhak mereka dapatkan, dan sebagai orang tua, kita dapat memastikan mereka agar selalu tetap aman dengan selalu mengawasi tanpa merenggut kebebasan bermain mereka, selama masih dalam batas positif.
8. Hak Memperoleh Makanan
Sedari lahir anak membutuhkan gizi yang cukup untuk dapat bertumbuh dan berkembang dengan baik.
Hal tersebut dapat dilakukan dengan memberi ASI sejak lahir hingga usia enam bulan.
Selanjutnya, anak dapat mengonsumsi makanan yang padat pendamping ASI (MPASI), serta makanan bergizi lainnya.
9. Hak Kewarganegaraan
Tiap anak berhak dicatatkan kelahirannya secara resmi dan memiliki kewarganegaraan. Tiap anak juga berhak mengenal orang tuanya dan, sedapat mungkin, diasuh oleh mereka.
10. Hak untuk Berperan dalam pembangunan
Anak dapat menjadi salah satu bagian yang berperan dalam pembangunan bangsa.
Mereka bisa berpendapat dan terlibat dalam perencanaan dan pembangunan di daerahnya.
Dengan mengaplikasikan konvensi tersebut, diharapkan dapat mengurangi segala tindakan kekerasan pada anak-anak, juga mengurangi angka putus sekolah, yang pada akhirnya berpengaruh bagi masa depan bangsa di kemudian hari.
Pendidikan Anak
Foto: pendidikan untuk anak (freepik.com/h9images)
Sesuai dengan pembahasan hak anak di atas, setiap anak berhak mendapatkan pendidikan, utamanya pendidikan formal.
Mengenyam pendidikan dapat menjadi pilar dasar anak dalam memperoleh masa depan yang lebih baik, yang tentunya juga akan mendorong perkembangan bangsa.
Berikut ini jenis pendidikan yang sebaiknya diberikan orang tua pada anak.
1. Pendidikan Formal
Pendidikan formal mengacu pada pembelajaran sistematis yang direncanakan oleh sistem persekolahan, yang dimulai dari sekolah dasar, dilanjut sekolah menengah pertama, lalu sekolah menengah ke atas.
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa di Indonesia sendiri telah mengaplikasikan pendidikan formal wajib sekolah hingga 12 tahun bagi seluruh anak Indonesia.
Melalui pendidikan formal anak-anak akan mendapatkan pemahaman dan mengalami perkembangan yang lebih baik dalam menghadapi masa depan nanti.
2. Pendidikan Karakter
Seiring menjalankan pendidikan formal, sistem persekolahan juga akan memberikan pendidikan karakter yang akan bermanfaat bagi kehidupan sosial anak dalam kehidupan sehari-hari.
Selain dari sekolah, pendidikan karakter juga dapat dibentuk di rumah bersama keluarga atau orang tua.
Menanamkan pendidikan karakter sejak dini akan berpengaruh dalam pengembangan potensi, yang mendukung anak memiliki karakter kejujuran, kedisiplinan, dan juga kemandirian.
Orang tua dapat memulai dengan mencontohkan tindakan-tindakan atau melakukan kegiatan positif.
Selain itu, pendidikan karakter juga dapat dilakukan dengan memberi kebebasan namun dengan batasan.
“Kebebasan dengan batasan, bebas bergerak, bebas berekspresi, bebas bereksplorasi, bebas berpendapat, bebas menentukan pilihan, namun dengan batasan,” ungkap Cici Desri, Montessori Practitioner yang sering membagikan ilmu tentang parenting di akun Instagram @joyfulparenting101.
Dalam menentukan batasannya, setiap orang tua dapat membentuk kesepakatan mengenai aturan yang dapat dibuat oleh keluarga masing-masing.
Baca Juga: Kenali 4 Jenis Karakter Anak, Tahapan Perkembangan serta Cara Membentuknya Sejak Dini
Tanggung Jawab Orang Tua dalam Pendidikan Anak
Orang tua memiliki kewajiban dan tanggung jawab dalam memberikan pendidikan yang layak bagi anak, baik itu pendidikan formal, maupun pendidikan karakter.
Sebagai orang tua tentunya akan memiliki peranan yang besar ketika mengasuh dan mendidik anak hingga dewasa.
Penting untuk selalu memberikan waktu dan membangun komunikasi dengan Si Kecil, seperti mengajak mereka mengambil keputusan, dengan tujuan membuat anak menjadi lebih terbuka dan mudah mengekspresikan perasaannya.
Mengenali Bakat Anak dan Memaknai Prestasi Anak
Foto: anak berbakat (freepik.com/tirachardz)
Memberi pendidikan formal kepada anak termasuk tanggung jawab dari negara dan juga orang tua.
Namun, sebagai orang tua tentu peranannya akan lebih mendalam, mulai dari mengajarkan pendidikan yang berkarakter, hingga mengenali bakat anak.
Dalam mengenali bakat anak, tentu perlu dukungan oleh orang-orang sekitarnya, terutama orang tua. Satu hal yang harus dipahami bahwa setiap anak berbeda.
Ada anak yang mungkin tidak terlalu mahir dalam pelajaran matematika, namun ia sangat ahli dan tertarik dengan hal-hal yang berhubungan dengan olahraga.
Maka dari itu, di awal kehidupan Si Kecil sangat penting memulai pengenalan bakat anak.
“Dalam hal mengenali bakat yang anak miliki, dapat diawali dengan memaparkan beragam kegiatan kepada anak.
Misal pada anak usia di bawah 5 tahun, mereka masih memiliki sedikit pengalaman dan minatnya kadang masih berubah-ubah dengan cepat,” ungkap Cici Desri.
Menurutnya hal tersebut sangat penting untuk dilakukan dengan tujuan memberi anak banyak pilihan dalam memilih bakat sesuai dengan yang mereka inginkan.
Selain itu, memberi kebebasan pada anak juga penting untuk si kecil dapat bereksplorasi, dan menemukan minat sesuai dengan tahapan usianya.
“Jadi kami sebagai orang tua melibatkan anak untuk mengambil keputusannya.
Kalau memang dia mau melakukan sesuatu, dia bisa bertanggung jawab sesuai dengan jadwalnya, kami berusaha untuk mengikuti,” jelasnya lagi.
Cara Mengajarkan Toleransi pada Anak
Foto: mengajarkan toleransi pada anak (Orami Photo Stock)
Bicara mengenai pendidikan anak, selain pendidikan akademik, pendidikan karakter juga sangat penting untuk orang tua mengajarkan pada anak.
Salah satu karakter dan sikap yang harus diajarkan pada Si Kecil adalah sikap toleransi. Sikap ini perlu dimiliki oleh setiap anak.
Ketika memasuki bangku sekolah, Si Kecil akan menemukan banyak teman baru yang berasal dari beberapa suku dan ras yang berbeda.
Maka dari itu, untuk menunjang kegiatan bersosialisasi Si Kecil di sekolah Moms perlu menumbuhkan sikap toleransi pada anak.
Namun, ternyata menanamkan sikap toleransi menjadi sebuah hal yang cukup menantang bagi orang tua.
Melansir dari Reader’s Digest, simak beberapa tips untuk menanamkan sikap toleransi pada Si Kecil seperti:
1. Bicara Tentang Toleransi
Langkah pertama yang perlu Moms lakukan untuk menumbuhkan sikap toleransi anak adalah membicarakan atau menjelaskan tentang toleransi.
Moms perlu memulai pembicaraan dengan berbicara tentang perbedaan dan pemahaman mengenai perbedaan.
2. Menumbuhkan Pemahaman yang Sehat tentang Perbedaan
Langkah selanjutnya yang bisa Moms lakukan dalam upaya menumbuhkan sikap toleransi anak adalah dengan memberikan pemahaman tentang perbedaan.
Ketika menjelaskan perbedaan, Moms perlu memberikan pemahaman bahwa tak semua orang memiliki gaya hidup atau fisik atau perilaku yang sama dengan Si Kecil.
Dengan begitu, Moms harus menjelaskan hal-hal perbedaan ini secara detail untuk menghindari Si Kecil merendahkan kelompok lain.
Baca Juga: 8 Contoh Bakat Anak Berdasarkan Jenis Kecerdasannya, Si Kecil Termasuk yang Mana, Moms?
3. Ciptakan Kesempatan Bagi Anak untuk Berinteraksi dengan Orang yang Berbeda
Dengan menciptakan dan melibatkan Si Kecil pada kondisi yang mengharuskannya berinteraksi dengan kelompok berbeda secara tidak sadar akan menumbuhkan sikap toleransi, lho Moms!
Selain di sekolah, Moms juga bisa mencoba kunjungi taman bermain di mana berbagai anak hadir, misalnya orang-orang dari berbagai ras atau etnis, latar belakang sosial ekonomi, struktur keluarga, dan lain sebagainya.
4. Berikan Contoh Sikap Toleransi
Cara menumbuhkan sikap toleransi yang paling baik adalah dengan memberikan contoh pada Si Kecil.
“Anak belajar itu dari modeling, pertama modeling yang paling dekat adalah orang tua.
Jadi, bagaimana orang tua menciptakan sifat toleransi pada anak adalah dengan dari mulai dirinya sendiri bagaimana berperilaku pada keluarga yang berbeda,” jelas Psikolog Klinis, Hertha Christabelle Hambalie, M.Psi., Psikolog.
Sebagai panutan utama anak, Moms dan Dads perlu menunjukkan sikap toleransi yang sesungguhnya.
Misalnya dengan moms dan Dads menunjukkan sikap saling menghormati dan menghargai antar kelompok di depan Si Kecil.
Atau selain itu menurut Psikolog Hertha, Moms dan Dads juga bisa mengajarkan sikap toleransi melalui modeling buku cerita atau film.
Dengan begitu, besar kemungkinan Si Kecil akan memiliki sikap toleransi dengan contoh konrit yang ia lihat dari kedua orangtuanya.
Itulah beberapa cara yang bisa Moms dan Dads ajarkan pada Si Kecil untuk menunjukkan rasa toleransi terhadap sesama umat manusia.
Mengutip dari laman Council Of Europe, salah satu sikap atau bentuk nyata dari intoleransi adalah diskriminasi.
Diskriminasi sudah menjadi bentuk sikap intoleransi yang memiliki tingkatan lebih.
Baca Juga: Ketahui Tahap Perkembangan Motorik Anak Mulai dari Bayi, Balita, hingga Usia 12 Tahun
Apa itu Diskriminasi?
Foto: mengenal diskriminasi (Orami Photo Stock)
Diskriminasi adalah salah satu bentuk pelanggaran dan penyalahgunaan hak asasi manusia yang paling umum.
Sikap intoleransi dan diskriminasi adalah sebuah konsep yang cukup erat.
Karena jika telah muncul kurangnya rasa hormat terhadap praktik atau keyakinan orang lain dapat menciptakan perlakuan kurang menyenangkan.
Jenis atau Bentuk Tindakan Diskriminasi
Foto: jenis diskriminasi (Orami Photo Stock)
Berikut ini beberapa jenis diskriminasi yang umum terjadi dan perlu diketahui:
- Diskriminasi usia
Diskriminasi ini berdasar atas umur seseorang. Misalnya mendiskriminasi seseorang karena usianya terkait dengan melakukan suatu pekerjaan.
- Diskriminasi Disabilitas
Sesuai dengan namanya, jenis diskriminasi ini adalah yang kerap terjadi pada penyandang disabilitas.
- Orientasi Seksual
Diskriminasi yang terjadi akibat identitas gender atau orientasi seksual seseorang.
- Diskriminasi Agama
Diskriminasi ini bisa terjadi akibat adanya perbedaan agama.
- Ras, Warna, dan Jenis Kelamin
Adanya tindakan diskriminasi yang terjadi berdasarkan ras, warna kulit, agama, jenis kelamin.
Baca Juga: Perkembangan Psikologi Anak dari Bayi hingga Usia Sekolah dan Pola Pengasuhan yang Disarankan
Cara Mengatasi Jika Anak Menjadi Korban Diskriminasi
Foto: cara mengatasi jika anak menjadi korban diskriminasi (Orami Photo Stock)
Setelah mendidik anak menjadi sosok pribadi yang memiliki sikap toleransi, setiap anak juga memiliki sebuah hak perlindungan yang harus dipenuhi oleh orang tua.
Namun, sayangnya meski telah dijaga secara maksimal bukan berarti tidak menutup kemungkinan jika Si Kecil bisa menjadi korban diskriminasi.
Lalu, bagaimana cara Moms dan Dads mengatasi jika Si Kecil menjadi seorang korban diskriminasi?
Simak berikut ini beberapa cara yang bisa Moms lakukan, seperti:
- Besarkan anak dengan rasa bangga akan perbedaan yang ia miliki untuk membuatnya percaya diri.
- Dengarkan mereka dengan seksama dan jika perlu, ajukan pertanyaan lebih lanjut.
- Dorong anak untuk bersikap asertif dan selalu jaga komunikasi baik antar orang tua dan anak.
- Tanyakan kepada mereka apa yang mereka ingin orang tua lakukan.
- Yakinkan mereka bahwa mereka tidak harus menghadapinya sendirian dan tunjukkan bahwa orang tua ada untuk mendukung mereka.
- Bicaralah secara positif tentang budaya atau kelompok lain dan ajari mereka penerimaan.
- Hindari pembalasan atau menunjukkan agresi di depan anak.
- Paparkan anak pada pengalaman multikultural dan pertemanan yang beragam.
- Jika terjadi di sekolah, minta sekolah untuk menyelidiki masalah ini.
Baca Juga: Tahapan Pendidikan Seksual untuk Anak Usia Dini hingga Memasuki Masa Pubertas
Melindungi Anak dari Kekerasan
Foto: melindungi anak dari kekerasan (Orami Photo Stock)
Selain hak mendapatkan pendidikan, yang tidak kalah penting bagi anak adalah mendapatkan perlindungan.
Moms dan Dads pasti berusaha semaksimal mungkin untuk melindungi Si Kecil dari perilaku negatif, terlebih kekerasan.
Hal ini dikarenakan setiap orang tua menganggap bahwa anak adalah harapan dalam kehidupannya.
Dengan begitu, mereka akan menjaga sebaik mungkin Si Kecil dari segala tindakan buruk yang mungkin menghampiri mereka.
Selain menjaga Si Kecil untuk terhindar dari segala tindak kekerasan, orang tua juga ternyata perlu menjaga Si Kecil dari kemungkinan dirinya menjadi pelaku kekerasan di sekolah.
Tak hanya mempertimbangkan pola asuh, orang tua juga harus menjelaskan norma-norma yang berlaku di lingkungan sekitar pada Si Kecil agar anak bisa terhindar jadi pelaku kekerasan.
“Anak perlu memahami dulu norma-norma di masyarakat, terkait apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan, menanamkan toleransi serta empati terhadap teman-temannya,” jelas Psikolog Hertha.
Melansir dari data Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) kasus kekerasan terhadap anak di Indonesia ternyata masih sering terjadi.
Hal tersebut terlihat dari Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (SIMPONI PPA) yang mencatat hingga 19 Juli 2022, terdapat 12.697 kasus kekerasan yang dilaporkan, di mana 56.5% korbannya adalah anak-anak.
Mengerikannya, kasus kekerasan pada anak sering terjadi di rumah dan sekolah. Tempat di mana anak-anak seharusnya mendapatkan ketenteraman.
Di sekolah, sering kali pelakunya adalah teman sendiri. Kekerasaan dalam bentuk perundungan atau bully yang terjadi pada anak di sekolah semakin mengkhawatirkan.
Bukan lagi berbentuk ejekan saja, tapi bahkan berbentuk penganiayaan yang mengakibatkan korban sampai meninggal.
Seperti kasus yang belum lama ini terjadi, tepatnya pada bulan Juni 2022, yaitu seorang siswa di Sulawesi Utara berusia 13 tahun diduga tewas dianiaya 9 orang temannya.
Untuk itu, sebagai orang tua Moms perlu mengetahui informasi lengkap mengenai kekerasan terhadap anak berikut ini.
Baca Juga: Ketahui Tahap Perkembangan Motorik Anak Mulai dari Bayi, Balita, hingga Usia 12 Tahun
Definisi Kekerasan terhadap Anak
Foto: kekerasan terhadap anak (Orami Photo Stock)
Menurut WHO (World Health Organization), definisi kekerasan terhadap anak adalah suatu tindakan penganiayaan atau perlakuan salah pada anak dalam bentuk:
- Menyakiti fisik
- Emosional
- Seksual
- Melalaikan pengasuhan
- Eksploitasi untuk kepentingan komersial yang secara nyata ataupun tidak, yang dapat membahayakan kesehatan, kelangsungan hidup, martabat atau perkembangannya.
Jenis-Jenis Kekerasan Terhadap Anak
Foto: jenis kekerasan terhadap anak (Orami Photo Stock)
Perlu diketahui ternyata terdapat beberapa jenis kekerasan yang mungkin terjadi pada anak, seperti:
1. Kekerasan Fisik
Kekerasan fisik terjadi ketika seseorang menggunakan bagian tubuh atau benda untuk menyakiti atau melukai seseorang.
Umumnya jenis kekerasan ini akan membuat anak disiksa secara fisik dan bisa terlihat adanya tanda tanda bekas kekerasan di tubuhnya.
2. Kekerasan Psikis
Kekerasan psikis terjadi ketika seseorang menggunakan ancaman yang menyebabkan ketakutan pada anak.
Misalnya penggunaan kata-kata kasar, menghardik, mengejek, mempermalukan anak di depan orang lain atau di depan umum.
3. Kekerasan Seksual
Kekerasan seksual terhadap anak terjadi ketika anak disiksa atau dipaksa untuk terlibat dalam aktivitas seksual.
Bentuk-bentuk kekerasan seksual pada anak contohnya; diperkosa, disodomi, diraba-raba alat kelaminnya dan bagian sensitif lainnya, dijual pada mucikari, dipaksa menjadi PSK (Pekerja Seks Komersial), dan lain sebagainya.
4. Kekerasan Sosial
Jenis kekerasan ini terjadi ketika anak ditelantarkan atau diabaikan oleh orang tua yang tidak memberikan perhatian layak terhadap proses tumbuh kembang anak.
Misalnya anak dikucilkan, diasingkan dari keluarga, atau tidak diberikan pendidikan dan perawatan kesehatan yang layak.
Dampak Kekerasan Terhadap Anak
Foto: dampak kekerasan terhadap anak (Orami Photo Stock)
Setiap hal buruk yang terjadi mungkin akan meninggalkan dampak pada kehidupan seseorang, termasuk dampak kekerasan pada tumbuh kembang Si Kecil.
Kekerasan terhadap anak berdampak seumur hidup terhadap kesehatan dan kesejahteraan anak, keluarga bahkan masyarakat.
Melansir dari WHO (World Health Organization), terdapat beberapa dampak kekerasan pada Si Kecil yang mungkin terjadi, mulai dari:
1. Mengakibatkan Kematian
Pembunuhan, yang sering melibatkan senjata tajam adalah salah satu dari empat penyebab kematian utama pada remaja.
2. Menyebabkan Cedera Parah
Terdapat banyak korban yang mengalami luka-luka karena perkelahian fisik dan penyerangan.
Baca Juga: Penting! Ketahui Tahap Perkembangan Emosi Anak dari Bayi hingga Remaja
3. Mengganggu Perkembangan Otak dan Sistem Saraf
Paparan kekerasan pada usia dini dapat mengganggu perkembangan otak dan merusak bagian lain dari sistem saraf dengan konsekuensi seumur hidup.
4. Menghasilkan Perilaku Negatif
Anak-anak yang terpapar kekerasan dan kesulitan lainnya secara substansial lebih mungkin untuk merokok, menyalahgunakan alkohol dan obat-obatan, dan terlibat dalam perilaku seksual berisiko tinggi.
5. Dampak pada Generasi Mendatang
Anak-anak yang terpapar kekerasan dan kesulitan lainnya lebih mungkin untuk putus sekolah, mengalami kesulitan mencari atau mempertahankan pekerjaan, dan berisiko tinggi untuk menjadi korban atau melakukan kekerasan interpersonal di kemudian hari.
6. Memberikan Dampak Negatif pada Psikologis
Hal tersebut dijelaskan dalam sebuah penelitian pada tahun 2020 yang diterbitkan di Journal of Pediatrics.
Dalam penelitian tersebut menunjukkan bahwa kekerasan pada anak, dapat memicu masalah psikologis yang akan berdampak negatif pada kesehatan dan perkembangan jangka panjang hingga remaja dan dewasa.
7. Mengganggu Perkembangan Saraf
Perkembangan saraf anak akan mengalami masalah karena dipengaruhi oleh stres akibat dari pengalaman sosial, salah satunya adalah kekerasan.
Dalam jangka panjang masalah ini dapat memengaruhi ekspresi, regulasi gen, perilaku dan perkembangannya.
Baca Juga: Kenali Tahap Perkembangan Sosial Anak Usia 1–5 Tahun dan Cara untuk Mengajarinya Bersosialisasi
Cara Mengatasi Anak yang Menjadi Korban Kekerasan
Foto: solusi kekerasan pada anak (Orami Photo Stock)
Setiap orang tua pasti menginginkan hal yang terbaik untuk buah hati, mereka akan melakukan segala hal untuk menjaga Si Kecil.
Namun, meski sudah dijaga dengan maksimal bukan berarti Si Kecil tidak bisa menjadi korban kekerasan.
Jika salah satu Moms memiliki anak yang menjadi korban kekerasan, Moms perlu melakukan beberapa hal ini:
1. Membantu Mereka Merasa Aman
Anak-anak yang menyaksikan atau mengalami kekerasan dalam rumah tangga perlu merasa aman.
2. Berbicara tentang Ketakutan Mereka
Pelajari lebih lanjut tentang ketakutan atau kekerasan yang terjadi padanya, biarkan mereka tahu bahwa itu bukan kesalahan mereka.
3. Berbicara dengan Mereka tentang Hubungan yang Sehat
Bantu mereka belajar dari pengalaman yang melecehkan dengan berbicara tentang hubungan yang sehat dan tidak.
4. Berbicara tentang Batasan Terkait Keamanan dan Kenyamanan Anak
Biarkan anak tahu bahwa tidak ada yang berhak menyentuh mereka atau membuat mereka merasa tidak nyaman, termasuk anggota keluarga, guru, pelatih, atau figur otoritas lainnya.
5. Membantu Menemukan Pendukung di Sekitar Anak yang Tepercaya
Selain orang tua, ini bisa menjadi konselor sekolah, terapis, atau orang dewasa tepercaya lainnya yang dapat memberikan dukungan berkelanjutan pada anak yang menjadi korban kekerasan.
6. Mendapatkan Bantuan Profesional dengan Terapi Kognitif Perilaku
Terapi perilaku kognitif (Cognitive behavioural therapy/CBT) adalah jenis terapi bicara atau konseling yang paling cocok untuk anak-anak yang mengalami kekerasan atau pelecehan.
Selain beberapa tips mengatasi kekerasan yang telah disebutkan di atas, Psikolog Hertha juga menjelaskan cara menghadapi anak yang menjadi korban kekerasan.
Ia menjelaskan bahwa sebagai orang tua Moms dan Dads perlu terbuka agar Si Kecil dapat mengkomunikasikan masalahnya dengan aman.
“Pertama, tentunya belajar untuk orang tua itu terbuka pada anak, sehingga anak bisa aman menceritakannya kepada orang tua.
Yang kedua, orang tua perlu menciptakan lingkungan yang aman, harus dikomunikasikan di lingkungan tersebut,” tambah Psikolog Hertha.
Memahami Emosi dan Perasaan Anak
Foto: memahami emosi dan perasaan anak (Orami Photo Stock)
Bicara soal kekerasan pada anak seperti yang dipaparkan di atas, satu hal penting yang perlu dipahami oleh orang tua adalah belajar memahami emosi serta perasaan anak.
Ini agar anak mau terbuka tentang berbagai hal yang menimpa dirinya termasuk kekerasaan yang dialaminya.
Anak yang juga dapat meregulasi emosinya dengan baik, diharapkan juga dapat menghindarkan dirinya sebagai pelaku kekerasan terhadap anak lain.
Sebagai manusia, kita pasti memiliki perasaan dan emosi tak terkecuali Si Kecil. Tak menutup kemungkinan bahwa Si Kecil dapat mengalami berbagai emosi.
Namun, sayangnya anak-anak tidak dapat dengan mudah untuk mengekspresikan emosinya. Tak jarang mereka mengekspresikan perasaannya dengan marah atau tantrum.
Melansir dari Health for Kids, anak-anak mengalami emosi kompleks yang sama seperti kita sebagai orang dewasa.
Seperti yang telah disinggung sebelumnya, anak-anak yang lebih kecil biasanya tidak memiliki kosakata untuk berbicara tentang perasaan mereka.
Sebaliknya, mereka mengomunikasikan perasaan mereka dengan cara lain.
Mereka dapat mengekspresikan perasaan mereka melalui ekspresi wajah, melalui tubuh mereka, perilaku dan permainan mereka.
Jadi, sebagai orang tua Moms dan Dads penting untuk membantu anak-anak dengan memahami emosi serta perasaan yang tengah mereka rasakan.
Baca Juga: 5 Tahap Perkembangan Psikoseksual pada Anak yang Menentukan Tumbuh Kembangnya, Catat!
Jenis-Jenis Emosi Anak
Foto: jenis emosi anak (Orami Photo Stock)
Sebelum mengetahui cara memahami emosi dan perasaan anak, orang tua perlu mengetahui terlebih dahulu jenis-jenis emosi anak, seperti:
- Amarah
Ketika anak mengamuk, memukul, atau melakukan sesuatu yang tidak pantas, ia bereaksi terhadap rangsangan yang membuatnya merasakan semacam rasa sakit atau frustrasi.
- Kesedihan
Kesedihan bisa terjadi ketika anak merasa takut, atau ketika seseorang mengatakan atau melakukan sesuatu yang terasa buruk.
- Takut
Anak-anak dapat mengalami rasa takut secara alami, tetapi perasaan takut berasal dari kecemasan dan kekhawatiran.
- Kecemburuan
Ini adalah emosi yang mudah dirasakan dan sering diungkapkan, biasanya Si Kecil akan merasakan cemburu ketika ibu menggendong bayi orang asing atau saudara kandung mendapat hadiah.
Keempat jenis emosi tersebut merupakan gambaran jenis-jenis emosi anak yang dapat ditemukan oleh Moms dan Dads.
Manfaat bagi Anak Ketika Memahami Emosi dan Perasaannya Sendiri
Foto: manfaat anak yang memahami emosi (Orami Photo Stock)
Belajar mengenali perasaan dan emosi anak memiliki manfaat yang cukup penting untuk tumbuh kembangnya.
Salah satu manfaat yang bisa dirasakan ketika mereka dapat memahami emosi dan perasaan adalah mereka dapat mengekspresikan emosi dan mengelolanya dengan cara yang positif sehingga mereka menjaga diri mereka sendiri.
Selain itu, beberapa manfaat bagi anak ketika ia dapat memahami perasaan dan emosinya sendiri adalah:
- Bersikap empati dan mendukung orang lain.
- Berkinerja lebih baik di sekolah dan karier mereka.
- Memiliki hubungan yang lebih positif dan stabil.
- Memiliki kesehatan mental dan kesejahteraan yang baik.
- Lebih sedikit menunjukkan masalah perilaku.
- Mengembangkan ketahanan dan keterampilan mengatasi masalah.
- Merasa lebih kompeten, mampu dan percaya diri.
- Miliki perasaan diri yang positif.
Cara Orang Tua Memahami Emosi dan Perasaan Anak
Foto: cara orang tua memahami emosi anak (Orami Photo Stock)
Seperti yang telah disinggung sebelumnya, sebagai orang tua Moms dan Dads perlu memahami emosi dan perasaan Si Kecil.
Untuk dapat memahami emosi dan perasaan anak, menurut Psikolog Hertha Moms perlu belajar berempati.
“Belajar berempati ini artinya kita sebagai orang tua bisa memikirkan kalau kita berada di posisi anak, seperti apa ya, perasaanya,” jelas Psikolog Hertha.
Setelah orang tua memahami perasaan anak, Moms dan Dads jadi bisa mengenali dan mengomunikasikan bersama apa yang tengah anak rasakan.
Nah, selanjutnya kalau sudah mengenali perasaan anak, Moms perlu memberikan kesempatan anak untuk merespons dan menerima perasaannya.
Namun jika responnya itu tidak tepat, Moms juga perlu mengajarkan bagaimana respons emosi dan perasaan yang baik.
Sebagai seorang Moms, Cici Desri mengungkapkan bahwa dirinya menganut prinsip Freedom Unite limitation untuk memahami emosi dan perasaan anaknya.
“Dengan prinsip Freedom Unite limitation atau kebebasan dengan batasan bebas berekspresi dan mengemukakan pendapat, kita memberikan waktu, juga kesempatan untuk anak dalam mengemukakan atau mengekspresikan emosi dan perasaannya,” ujar Moms Cici Desri.
Ini merupakan cara yang cukup ampuh baginya untuk mengetahui ketika anak merasa tidak nyaman dengan perilaku atau dengan keputusan orang tua.
Selain menerapkan prinsip tersebut, Moms Cici juga memilih pola asuh yang tidak memberlakukan hukuman.
Sebagai gantinya Moms Cici memilih konsekuensi berdasarkan kesepakatan yang telah dibuat.
Namun, jika Si Kecil masih belum bisa mengutarakan emosi dan perasaannya, orang tua perlu merefleksikan dirinya sendiri.
Biasanya anak akan melakukan sesuatu hal karena berkaca dari orang tuanya.
“Orang tua sebetulnya bisa menjadi contoh mengomunikasikan perasaannya.
Terkadang orang tua sendiri tidak jujur di hadapan anak. Kalau lagi sedih terlihat supaya kuat di depan anak, padahal anak sangat peka, lho!” ujar Psikolog Hertha.
Jadi, untuk mengetahui perasaan dan emosi anak orang tua juga perlu jujur akan perasaannya sendiri.
Selain itu, orang tua juga perlu siap untuk mendengarkan setiap emosi dan perasaan anak. Jangan menormalisasikan kebiasaan untuk menolak rasa sedih dan marah, ya Moms!
“Jadi, masih banyak orang tua yang bilang 'kalau sedih jangan nangis'.
Kita itu tidak terbiasa menerima emosi seperti sedih atau marah, karena dianggap tidak nyaman.
Tapi, sebetulnya itu hal yang normal. Orang tua itu justru disarankan untuk menerima apa pun emosi anak,” ucap Psikolog Hertha.
Baca Juga: 5 Tahapan Perkembangan Emosi Anak SD-SMA, Wajib Tahu!
Cara Membuat Anak Bahagia
Foto: anak bahagia (Orami Photo Stock)
Kebahagiaan merupakan syarat utama agar anak bisa tumbuh sebagaimana mestinya. Karena ketidakbahagiaan bisa menjadi akar dari banyak masalah dalam hidup anak.
Orang tua pasti ingin anak mereka tumbuh untuk mencintai dan dicintai, untuk mengikuti impian mereka, untuk menemukan kebahagiaannya.
Moms dan Dads pasti ingin memberikan yang terbaik untuk anak dan memilih teknik pengasuhan yang dapat membantu menghasilkan anak yang baik serta bahagia.
Namun, ternyata salah satu tips untuk menghasilkan anak yang bahagia ternyata Moms dan Dads perlu menjadi sosok orang tua yang bahagia.
“Mulai dari diri kita sendiri yang harus bahagia, itu akan membantu anak bahagia.
Karena saat kita bahagia secara tidak langsung menular pada orang di sekitar kita termasuk anak. Karena ketika kita jauh lebih rileks, kita juga akan dapat berpikir dengan lebih baik dan bijak,” tambah Psikolog Hertha.
Setelah menjadi orang tua yang bahagia, Moms bisa melakukan beberapa tips yang diberikan oleh Moms Cici Desri untuk menumbuhkan anak yang bahagia.
Baca Juga: Mengenal Teori Piaget, 4 Tahapan Perkembangan Kognitif dan Kecerdasan Anak
Salah satu tips yang dilakukan oleh Moms Cici ia membiarkan adanya waktu bagi anak untuk bermain. Karena bermain juga bagian dari proses belajar anak.
Selain mendapatkan banyak pembelajaran melalui bermain, Si Kecil juga bisa menjadi sosok yang lebih sehat.
“Ketika bermain ada banyak banget stimulus yang anak dapatkan. Tidak hanya sehat secara fisik karena bergerak.
Kemampuan sensorik, motorik, dan kognitifnya juga ikut terstimulasi dengan baik dan tentu saja anak akan jauh lebih bahagia,” jelas Moms Cici.
Selain menjadi orang tua bahagia dan memberikan waktu bermain, melansir dari Time terdapat beberapa tips lainnya untuk menciptakan anak yang bahagia, seperti:
- Mengajarkan anak untuk membangun hubungan yang sehat dengan orang lain.
- Mengajarkan optimisme.
- Jangan mengharapkan kesempurnaan anak.
- Bentuk kebiasaan bahagia.
- Ciptakan lingkungan yang bahagia.
Nah, itu dia beberapa cara membuat anak bahagia. Apakah Moms dan Dads sudah melakukan beberapa hal di atas?
Komunitas Peduli Anak
Membahas soal hak anak dan permasalahan anak di Indonesia, tentu perlu peran dari berbagai pihak untuk bisa mewujudkan generasi penerus bangsa yang sejahtera.
Adanya kesadaran masyarakat terhadap permasalahan yang dialami oleh anak Indonesia saat ini melahirkan sejumlah gerakan atau komunitas yang peduli dan mendukung masa depan anak-anak Indonesia.
Berikut ini beberapa komunitas peduli anak yang ada di Indonesia, di antaranya Komunitas Aksi Bahagia Berbagi, Komunitas Save Street Children, dan Yayasan Sahabat Anak.
1. Komunitas Aksi Bahagia Berbagi
Salah satu gerakan yang memperhatikan permasalahan anak di Indonesia adalah Komunitas Aksi Bahagia Berbagi (ABHI).
Komunitas ABHI peduli terhadap hak-hak anak atas pendidikan, terutama yang berada di daerah pelosok dengan minim fasilitas pendidikan.
“ABHI memberi dukungan secara moral dan materiel, di mana kami memberi bantuan berupa perlengkapan sekolah untuk para pelajar di pelosok desa yang tertinggal,” jelas Agustina Dwi Handayani, S.E, Founder Aksi Bahagia Berbagi.
Tidak hanya itu, komunitas yang berada di bawah naungan Yayasan Indonesia Hijau ini juga memberi bantuan berupa sembako, mengedukasi secara positif kepada para pemuda pemudi untuk bisa saling tolong menolong, bersimpati, dan berempati, serta mengajak masyarakat luas untuk lebih peduli terhadap generasi penerus bangsa.
2. Komunitas Save Street Children
Tidak hanya bergerak di daerah pelosok seperti ABHI, terdapat komunitas anak yang juga memberi kepedulian terhadap anak-anak jalanan di di kota-kota besar, yaitu Komunitas Save Street Children.
Komunitas yang telah didirikan sejak 23 Mei 2011 ini diinisiasi dan dijalankan oleh anak muda untuk anak-anak generasi penerus bangsa yang hidup di jalanan.
“Selama 11 tahun, komunitas Save Street Children telah membantu anak-anak miskin kota, khususnya di Jabodetabek dalam memperoleh ilmu setara pendidikan dasar.
Kami ingin anak-anak tersebut memiliki setidaknya kemampuan membaca, menulis, mengetahui bahasa Inggris, dan matematika untuk bekal hidup yang lebih baik,” ungkap Ida Ayu Grhamtika Saitya, Vice Director Save Street Child.
Hingga saat ini, komunitas SSC telah berada di 17 kota di Indonesia, dan telah memiliki kelas belajar di beberapa daerah, seperti Depok, Pondok Ranji, dan Bogor.
Biasanya, kelas belajar dilakukan setiap hari Minggu pagi dengan kurikulum yang telah diprogram dengan sebaik mungkin, dan dibawakan oleh relawan pengajar.
Dalam memperingati Hari Anak Nasional, Komunitas SSC akan melakukan kegiatan khusus yang seru.
“Rencananya kami akan mengadakan acara di setiap kelas untuk mengundang kakak-kakak yang inspiratif untuk berbagi cerita ke adik-adik,“ ungkap Ida Ayu.
Tujuan kegiatan tersebut diharapkan dapat memberi pengetahuan baru yang menarik bagi anak-anak jalanan yang berpartisipasi.
3. Komunitas Sahabat Anak
Terdapat komunitas lainnya yang bergerak untuk memperjuangkan perlindungan dan pemenuhan hak anak marginal, yaitu Komunitas Sahabat Anak.
Komunitas ini didirikan atas rasa sukarela sekelompok anak muda yang ingin melindungi dan memperjuangkan hak-hak anak jalanan dengan cara menjadi sahabat bagi anak jalanan.
“Melibatkan sebanyak mungkin pribadi atau pihak untuk peduli kepada anak-anak marginal dengan menjadi seorang sahabat yang menaruh kasih setiap waktu,” ungkap Frisca Hutagalung, Direktur Sahabat Anak.
Seiring berjalannya waktu, Komunitas Sahabat Anak memiliki 8 area binaan mulai dari Grogol, Cijantung, Manggarai, Gambir, Tanah Abang, Kota Tua, Rusunawa, Cakung Barat, dan Bojong Indah.
Beberapa aktivitas yang mereka lakukan di area binaan ini seperti bimbingan belajar, beasiswa, taman bacaan, sosialisasi Kesehatan, dan advokasi perlindungan anak.
Dalam rangka menyambut Hari Anak Nasional, Komunitas Sahabat Anak mengadakan Jambore Sahabat Anak. Ini merupakan jambore ke-28 yang telah dilakukan Sahabat Anak.
“Menyambut HAN, Sahabat Anak mengadakan Jambore Sahabat Anak setiap tahunnya.
Hal ini sudah dimulai dari tahun 1997 hingga saat ini. JSA ke-XXIV ini, Sahabat Anak mengangkat isu Hak anak untuk berpartisipasi, dengan tema 'BerASA' dan sub tema 'Suarakan Mimpi Mereka'.
Setiap anak yang diberi kesempatan untuk berpartisipasi menyuarakan pendapat dan harapan mereka,” tambah Frisca.
Jambore Sahabat Anak ke XXIV akan berlangsung mulai tangga 23 - 24 juli 2022, di Lubana Sengkol – Tangerang Selatan.
Sebagai salah satu komunitas anak, Sahabat Anak mengatakan bahwa langkah konkret untuk membuat anak-anak Indonesia bahagia, termasuk kaum marginal adalah menjadi sahabat mereka.
Berikan anak-anak marginal kesempatan yang sama dengan anak-anak lainnya untuk mengejar cita-cita mereka.
Itulah Moms dan Dads, ulasan lengkap tentang permasalahan anak di Indonesia, dari segi pendidikan dan perlindungan, serta bagaimana kita sebagai orang tua dapat memenuhi hak anak, mendidiknya dengan baik juga melindunginya dari kekerasan.
Semoga seluruh anak di Indonesia dapat tumbuh bahagia, sejahtera, dan meraih masa depan gemilang!
Ditulis oleh:
- Nurul Aulia Ahmad
- Gea Yustika
Disunting oleh:
- Aprillia Ramadhina
- Widya Citra Andini
Ilustrasi oleh:
- Achyadi
- https://www.rd.com/article/10-steps-toward-raising-a-tolerant-child/
- https://www.researchgate.net/publication/338910927_Raising_Tolerant_Attitude_to_Children
- https://www.coe.int/en/web/compass/discrimination-and-intolerance
- https://www.cdc.gov/eeo/faqs/discrimination.html
- https://parentline.com.au/issues/helping-kids-deal-discrimination
- https://www.haselor.tgacademy.org.uk/files/2013/12/discrimination.pdf
- https://puspensos.kemensos.go.id/stop-segala-bentuk-kekerasan-terhadap-gambaran-dan-jenis-kekerasan-pada-anak
- https://www.immigrantandrefugeenff.ca/violence-against-women/forms-violence
- https://www.gov.nl.ca/vpi/files/nine_types_of_violence.pdf
- https://www.who.int/news-room/fact-sheets/detail/violence-against-children
- https://www.womenshealth.gov/relationships-and-safety/domestic-violence/effects-domestic-violence-children
- https://www.healthforkids.co.uk/walsall/understanding-your-childs-emotions-a-guide-for-parents/
- https://raisingchildren.net.au/preschoolers/development/preschoolers-social-emotional-development/understanding-managing-emotions-children-teenagers
- https://www.parents.com/toddlers-preschoolers/development/intellectual/list-of-emotions-to-talk-about-with-kids/
- https://time.com/35496/how-to-raise-happy-kids-10-steps-backed-by-science/
- https://parenting.firstcry.com/articles/how-to-raise-a-happy-child-10-effective-parenting-tips/
- https://www.parents.com/toddlers-preschoolers/development/fear/raising-happy-children/
- https://www.kemenpppa.go.id/index.php/page/read/84/3971/pedoman-hari-anak-nasional-2022
- https://www.kemenpppa.go.id/index.php/page/read/84/2195/pedoman-pelaksanaan-hari-anak-nasional-tahun-2019%20
- https://peraturan.bpk.go.id/Home/Details/65353/keppres-no-44-tahun-1984
- https://kowani.or.id/sejarah/
- http://www.bphn.go.id/data/documents/79uu004.pdf
- https://peraturan.bpk.go.id/Home/Details/138487/permendikbud-no-12-tahun-2015
- https://simpuh.kemenag.go.id/regulasi/permendikbud_19_16.pdf
- https://drive.google.com/file/d/13Ez-qJ5b-UqKXhVx8ZvDooZQn0n-3qzJ/view
- https://kekerasan.kemenpppa.go.id/ringkasan
- https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC7786831/
- https://www.unicef.org/indonesia/id/press-releases/dengan-23-negara-belum-membuka-kembali-sekolah-secara-penuh-pendidikan-berisiko
- http://publikasi.data.kemdikbud.go.id/uploadDir/isi_4B619F17-97F5-4B93-BB0B-7F83B5512B0B_.pdf
- https://www.unicef.org/indonesia/sites/unicef.org.indonesia/files/2020-07/Situasi-Anak-di-Indonesia-2020.pdf
- https://jdihn.go.id/files/4/2002uu023.pdf
- https://www.unicef.org/indonesia/id/press-releases/covid-19-anak-anak-di-indonesia-berisiko-mengalami-konsekuensi-jangka-panjang
- https://www.balitbangham.go.id/po-content/peraturan/Konvensi%20Hak-Hak%20Anak.pdf
Konten di bawah ini disajikan oleh advertiser.
Tim Redaksi Orami tidak terlibat dalam materi konten ini.
Orami Articles — Artikel Seputar Parenting, Kesehatan,
Gaya Hidup dan Hiburan
Copyright © 2024 Orami. All rights reserved.