Sejarah Perang Aceh: Penyebab, Tokoh, Kronologinya
Perang Aceh adalah perang yang terjadi antara Belanda dan Kesultanan Aceh pada abad ke-19.
Perang ini dimulai pada tanggal 26 Maret 1873 ketika Belanda menyatakan perang kepada Sultan Aceh.
Perang Aceh berlangsung selama hampir 30 tahun dan menjadi salah satu perang kolonial terpanjang yang pernah terjadi di dunia.
Perang ini juga dikenal sebagai perang yang sangat sengit dan berdarah, dengan korban jiwa yang sangat banyak di kedua belah pihak.
Perang Aceh terjadi karena adanya konflik kepentingan antara Belanda dan Kesultanan Aceh.
Belanda ingin menguasai wilayah Aceh yang kaya akan rempah-rempah, sedangkan Kesultanan Aceh ingin mempertahankan kemerdekaannya dan menghindari penjajahan.
Ingin tahu lebih banyak tentang sejarah peperangan ini? Simak sampai akhir, yuk!
Baca Juga: Pertempuran Surabaya: Penyebab, Kronologi, dan Faktanya
Latar Belakang Perang Aceh
Bermula dari dampak Perjanjian Siak tahun 1858 adalah Sultan Ismail menyerahkan wilayah Deli, Langkat, Asahan, dan Serdang kepada Belanda.
Wilayah-wilayah ini sebelumnya berada di bawah kekuasaan Aceh sejak zaman Sultan Iskandar Muda.
Pelanggaran Belanda terhadap perjanjian Siak mengakibatkan berakhirnya perjanjian London tahun 1824.
Perjanjian London menetapkan batas kekuasaan antara Belanda dan Britania Raya di Asia Tenggara dengan menggunakan garis lintang Singapura, sementara keduanya mengakui kedaulatan Aceh.
Aceh menuduh Belanda tidak mematuhi komitmennya, sehingga pasukan Aceh menghancurkan kapal-kapal Belanda yang melintasi perairan Aceh, dengan dukungan dari Britania Raya.
Dengan dibukanya Terusan Suez oleh Ferdinand de Lesseps, perairan Aceh menjadi sangat strategis bagi perdagangan dunia.
Perjanjian London tahun 1871 antara Inggris dan Belanda memberikan Belanda kewenangan untuk mengambil tindakan di Aceh, dengan imbalan Belanda menjaga keamanan lalu lintas di Selat Malaka.
Britania Raya juga diberi izin untuk berdagang di Siak dan menerima sebagian wilayah Guyana Barat dari Belanda.
Akibat dari perjanjian Sumatra tahun 1871, Aceh menjalin hubungan diplomatik dengan Konsul Amerika Serikat, Kerajaan Italia, dan Kesultanan Usmaniyah di Singapura.
Aceh juga mengirim utusan ke Kesultanan Usmaniyah pada tahun 1871.
Upaya diplomatik Aceh ini menjadi alasan bagi Belanda untuk melancarkan serangan terhadap Aceh.
Wakil Presiden Dewan Hindia, Frederik Nicolaas Nieuwenhuijzen, datang ke Aceh dengan dua kapal perangnya untuk meminta penjelasan dari Sultan Machmud Syah mengenai pembicaraan yang telah terjadi di Singapura.
Namun, Sultan Machmud menolak memberikan penjelasan.
Baca Juga: Perjanjian Roem Royen: Latar Belakang dan Isi Perjanjiannya
Tokoh yang Terlibat
Perang Aceh melibatkan sejumlah tokoh yang memainkan peran penting dalam perlawanan dan penjajahan. Di antara tokoh-tokoh tersebut terdapat:
1. Teuku Umar
Salah satu figur perlawanan Aceh yang sangat terkenal. Ia memimpin perlawanan melawan Belanda di wilayah Meulaboh dan berhasil merebutnya kembali dari tangan Belanda.
Namun, ia akhirnya ditangkap dan dihukum mati oleh Belanda pada tahun 1899.
2. Cut Nyak Dhien
Istri dari Teuku Umar yang juga terlibat dalam perlawanan melawan Belanda.
Setelah suaminya tertangkap dan dihukum mati, ia melanjutkan perjuangan dengan taktik perang gerilya. Cut Nyak Dhien juga dikenal sebagai simbol perlawanan dan semangat juang bagi rakyat Aceh.
3. Sultan Iskandar Muda
Sultan Aceh yang memimpin Kesultanan Aceh pada abad ke-16.
Ia diakui sebagai salah satu pahlawan nasional Indonesia dan memainkan peran penting dalam mempertahankan kemerdekaan Aceh dari penjajahan Belanda.
4. Tjut Nyak Dien
Tokoh perempuan Aceh yang memimpin pasukan Inong Balee, sebuah kelompok janda-janda pejuang Aceh, dan gugur dalam pertempuran melawan Belanda pada tahun 1910.
5. Cut Meutia
Tokoh perempuan Aceh yang juga terlibat dalam perlawanan melawan Belanda dan gugur dalam pertempuran di Alue Kurieng, Aceh Utara pada tahun 1910.
6. Johan Köhler
Panglima besar angkatan perang Belanda yang memimpin pasukan Belanda dalam Perang Aceh Pertama pada tahun 1873.
7. Christiaan Snouck Hurgronje
Ahli Belanda yang menyamar sebagai seorang ulama dan tinggal di pedalaman Aceh selama dua tahun untuk melakukan penelitian tentang masyarakat dan pemerintahan Aceh.
Hasil penelitiannya kemudian diterbitkan dalam buku berjudul Rakyat Aceh (De Acehers) dan berisi strategi untuk menaklukkan Aceh.
Para tokoh ini memiliki peran penting dalam perjuangan melawan penjajahan Belanda di Aceh dan menjadi simbol semangat perlawanan dan patriotisme bagi rakyat Aceh.
Baca Juga: Tugas BPUPKI: Sejarah, Anggota, dan Tujuannya
Kronologi Perang Aceh
Berikut kronologi dan periode Perang Aceh:
1. Perang Aceh Pertama (1873–1874)
Perang Aceh pertama dipimpin oleh Panglima Polim dan Sultan Mahmud Syah dalam melawan pasukan Belanda yang dipimpin oleh Köhler.
Pasukan Köhler yang berjumlah 3.000 tentara berhasil dihadapi dan dikalahkan. Köhler sendiri gugur pada tanggal 14 April 1873.
Hanya sepuluh hari setelahnya, pertempuran meletus di berbagai lokasi, dengan pertempuran terbesar terjadi saat upaya merebut kembali Masjid Raya Baiturrahman, yang didukung oleh beberapa kelompok pasukan.
Selain itu, pertempuran juga terjadi di Peukan Aceh, Lambhuk, Lampu'uk, Peukan Bada, hingga Lambada dan Krueng Raya.
Ribuan penduduk dari Teunom, Pidie, Peusangan, dan berbagai wilayah lainnya juga bergabung dalam perjuangan tersebut.
2. Perang Aceh Kedua (1874–1880)
Pasukan Belanda di komando Jenderal Jan van Swieten berhasil menduduki Keraton Sultan pada tanggal 26 Januari 1874, yang kemudian dijadikan sebagai pusat pertahanan Belanda.
Pada tanggal 31 Januari 1874, Jenderal Van Swieten mengumumkan bahwa seluruh wilayah Aceh menjadi bagian dari Kerajaan Belanda.
Pada saat Sultan Machmud Syah meninggal pada tanggal 26 Januari 1874, Tuanku Muhammad Dawood dilantik sebagai sultan di Masjid Indrapuri.
Perang pertama dan kedua ini dicirikan oleh pertempuran langsung dan intens.
Meskipun ibu kota negara sering berpindah-pindah ke Keumala Dalam, Indrapuri, dan tempat-tempat lain, pemerintahan tetap berlangsung dengan relatif stabil.
3. Perang Aceh Ketiga (1881–1896)
Perang kemudian berlanjut dalam bentuk perang gerilya dengan semangat perang fi sabilillah (perang jihad) yang berlangsung hingga tahun 1903.
Pasukan Aceh dalam perang gerilya ini dipimpin oleh Teuku Umar dan Panglima Polim.
Pada tahun 1899, Teuku Umar gugur dalam serangan mendadak yang dilancarkan oleh pihak Van der Dussen di Meulaboh. Namun, Cut Nyak Dhien kemudian muncul sebagai komandan dalam perang gerilya tersebut.
4. Perang Aceh Keempat (1896–1910)
Perang ini sebagian besar merupakan perang gerilya yang melibatkan kelompok dan individu yang melakukan perlawanan, serangan, penghadangan, dan pembunuhan tanpa adanya komando sentral dari pemerintahan Kesultanan.
Meskipun perang besar berakhir sekitar tahun 1910-1915, perlawanan sporadis dari penduduk Aceh masih berlanjut hingga tahun 1942 di beberapa wilayah yang dipimpin oleh kelompok-kelompok pejuang.
Baca Juga: Sejarah dan Tujuan Konferensi Asia Afrika, Pelajari yuk!
Dampak Perang Aceh
Perang Aceh membawa dampak sosial dan ekonomi yang signifikan bagi masyarakat Aceh. Berikut penjelasannya:
1. Dampak Sosial
- Populasi menurun, perang ini menyebabkan korban jiwa yang besar, baik dari pihak Aceh maupun Belanda, yang mengakibatkan penurunan populasi.
- Perubahan struktur sosial, hierarki tradisional terguncang, dengan banyak pemimpin lokal terbunuh atau kehilangan kekuasaan. Hal ini menyebabkan perubahan dalam tatanan sosial.
- Trauma sosial, kekerasan yang terus-menerus menyebabkan trauma mendalam pada masyarakat, yang mempengaruhi psikologi kolektif dan budaya Aceh.
2. Dampak Ekonomi
- Kehancuran infrastruktur, banyak infrastruktur penting seperti rumah, masjid, dan fasilitas umum lainnya hancur selama perang, menghambat perkembangan ekonomi.
- Kemiskinan, perang memperburuk kondisi ekonomi dengan mengurangi akses ke sumber daya alam dan menghentikan perdagangan, yang menyebabkan peningkatan kemiskinan.
- Dislokasi Ekonomi, aktivitas ekonomi terhenti atau berpindah ke tempat lain karena kondisi perang yang tidak stabil, memaksa banyak penduduk untuk mengubah cara hidup mereka atau mengungsi.
Dampak-dampak ini menjadikan Perang Aceh sebagai salah satu periode paling sulit dalam sejarah Aceh, dengan efek yang bertahan lama terhadap masyarakat dan perekonomian.
Sejarah Provinsi Aceh
Mengutip situs resmi Pemerintah Aceh, pada masa perang kemerdekaan, rakyat Aceh memberikan kontribusi besar dalam perjuangan di era perang, sehingga Presiden Soekarno memberi julukan "Daerah Modal" kepada Aceh.
Setelah proklamasi kemerdekaan pada 17 Agustus 1945, Aceh menjadi bagian dari Republik Indonesia sebagai keresidenan di Provinsi Sumatera.
Pada masa revolusi kemerdekaan, Keresidenan Aceh berada di bawah administratif Sumatera Utara dan kemudian ditetapkan menjadi daerah militer dengan Gubernur Militer Teungku Muhammad Daud Beureueh.
Pada tanggal 5 April 1948, Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1948 membagi Sumatera menjadi tiga provinsi otonom, dengan Aceh termasuk dalam Provinsi Sumatera Utara.
Pada akhir tahun 1949, Keresidenan Aceh dikeluarkan dari Sumatera Utara dan ditingkatkan menjadi Provinsi Aceh dengan Teungku Muhammad Daud Beureueh sebagai gubernur.
Namun, perubahan status ini menyebabkan ketidakstabilan politik dan keamanan.
Akhirnya, pada tahun 1956, dikeluarkan Undang-Undang Nomor 24 yang membentuk kembali Provinsi Aceh.
Pada tahun 1957, status Provinsi Aceh diubah menjadi Daerah Swatantra Tingkat I, dengan A. Hasjmy sebagai gubernur.
Meski begitu, gejolak politik belum sepenuhnya berakhir.
Pada tahun 1959, melalui keputusan Perdana Menteri, Aceh diberi status "Daerah Istimewa" dengan otonomi luas dalam bidang agama, adat, dan pendidikan.
Status ini dikukuhkan dengan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1965.
Namun, kebijakan pemerintah pusat yang terpusat menyebabkan ketidakadilan, memicu pergolakan.
Untuk mengatasi ini, pemerintah memberikan Otonomi Khusus kepada Aceh melalui Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2002, mengubah nama provinsi menjadi Nanggroe Aceh Darussalam.
Pada tahun 2009, berdasarkan Peraturan Gubernur Aceh, nama "Nanggroe Aceh Darussalam" diubah kembali menjadi "Aceh" dalam tata naskah dinas pemerintahan.
Hingga ketentuan lebih lanjut dari DPRA, nama Aceh tetap digunakan sebagai provinsi dalam sistem NKRI.
Demikian penjelasan tentang Perang Aceh sebagai bagian penting dari sejarah Indonesia. Semoga dapat memperkaya wawasan, ya!
- https://p2k.stekom.ac.id/ensiklopedia/Perang_Aceh
- http://library.stik-ptik.ac.id/file?file=digital/39313-Rs12-03-162.pdf
- https://opac.perpusnas.go.id/DetailOpac.aspx?id=1128907
- https://acehprov.go.id/halaman/sejarah-provinsi-aceh
Konten di bawah ini disajikan oleh advertiser.
Tim Redaksi Orami tidak terlibat dalam materi konten ini.
Orami Articles — Artikel Seputar Parenting, Kesehatan,
Gaya Hidup dan Hiburan
Copyright © 2024 Orami. All rights reserved.