Meskipun Berat, Saya Tetap Ikhlas dan Harus Kuat saat Kehilangan Orang-orang Tersayang di Waktu yang Berdekatan
Oleh Nurhalifah (35 thn), ibu dari Benzema Aqiela Rahman (9 th) dan (almarhum) Athaleta Shaqueena Rahman (19 bln), ibu rumah tangga.
Menjadi seorang ibu memang bukanlah pekerjaan yang mudah. Terlebih lagi sambil merawat Si Kecil, kita juga tidak boleh melupakan tugas menjadi seorang istri.
Bagi Moms Nurhalifah, menjadi seorang istri adalah tahap lanjutan dari seorang anak perempuan yang awalnya seorang anak, lalu sekarang menjadi seorang istri dari suaminya.
“Dan ketika perempuan siap menjadi istri, maka harus siap melayani kebutuhan suami dan menjadi penyempurna agamanya,” ujar Moms Alief.
Menurutnya, menjadi seorang ibu adalah langkah terakhir dari seorang perempuan dan juga kemuliaan yang diberikan Tuhan untuknya.
Baca Juga: Ditinggal Suami, Saya Banting Tulang Membesarkan Tiga Orang Anak Sendirian
Ia harus siap menjadi sekolah untuk anak-anaknya kelak, karena memang seorang ibulah yg pertama menjadi tempat belajar anak-anaknya untuk tumbuh dan berkembang
Tidak lupa juga didukung oleh lingkungan yang baik pastinya.
Ini dia kisah Moms Alief, seorang single Moms yang harus kehilangan orang-orang tersayang di waktu yang berdekatan.
Semua Terjadi Begitu Cepat dan Tiba-tiba
Foto: instagram.com/alief_aqiela
Kehidupan yang saya jalani begitu indah dan manis dengan seorang suami, seorang anak, dan bayi saya satu lagi yang masih ada di dalam kandungan.
Namun satu peristiwa datang begitu saja tanpa diundang dan tanpa saya siap.
Suami saya mendadak terkena serangan jantung dan akhirnya harus pergi meninggalkan saya dan anak-anak kami.
Jika ditanya bagaimana perasaan saya saat itu, satu kata, shock!
Bukan hanya itu saja, perasaan saya juga campur aduk, karena pada saat kejadian semua berjalan normal tanpa ada perasaan buruk atau tanda apapun.
Waktu itu kami sedang diperjalanan menuju pusat perbelanjaan.
Lalu tiba-tiba di tengah perjalanan, suami yang sedang menyetir pingsan dan hanya terdengar kata "aduh bun" sambil memegangi dadanya.
Tidak lama ia jatuh ke arah samping kiri tempat anak pertama saya, Benzema, duduk.
Yang terpikir oleh saya saat itu hanya bagaimana saya menghentikan mobil ini tanpa ada kecelakaan dengan kondisi saya duduk di belakang kursi pengemudi. Padahal saya tidak bisa menyetir.
Reflek saya ambil kemudi lalu saya banting setir ke arah kiri jalan sambil melihat kondisi jalan pada saat itu.
Akhirnya saya dapat menghentikan mobil walau harus agak menabrak trotoar.
Tapi Alhamdulillah keadaan kami baik-baik saja. Sampai akhirnya orang-orang datang untuk menolong.
Baca Juga: Gagal Memberikan ASI Eksklusif tidak Membuat Saya Berhenti Berjuang Menyusui Si Kecil
Anak Saya Sumber Kekuatan Saya
Foto: Dok. Nurhalifah
Saat itu saya sedang hamil 7 bulan. Tapi Alhamdulillah kondisi saat itu baik-baik saja.
Hanya shock yang saya rasakan. Jujur, pada saat itu menangis pun saya tidak bisa.
Saya hanya bingung dan panik memikirkan bagaimana cara membawa Alm. suami saya ke rumah sakit dan memikirkan kondisi kehamilan saya dan psikologis anak pertama saya dengan kejadian yang baru saja dialami.
Anak saya mungkin sama terkejutnya dengan saya, karena sebelum kejadian, sepanjang perjalanan dia mengobrol dengan ayahnya.
Setelah saya menghentikan mobil, dia menangis melihat ayahnya.
Saya hanya bisa bilang, “Sudah ya, Ben, jangan menangis. Kita berdoa aja.” Alhamdulillah dia menuruti kata-kata saya. Padahal saat itu dia baru berusia 4 tahun.
Di rumah sakit pun dia selalu menemani saya, tidak mau jauh dari saya selama ayahnya diperiksa.
Dia justru berusaha menenangkan saya dengan berkata, “Bunda enggak boleh nangis, kan tadi Bunda bilang begitu sama Ben."
Hal ini jujur saja benar-benar kekuatan untuk saya dan akhirnya saya tunjukan saya harus kuat di depan anak saya.
Setelah semua selesai, baru saya jelaskan bahwa ayahnya sudah tenang di surga.
Bahwa ayahnya pulang ke rumah Allah, dan sekarang kami hanya bisa mendoakannya tanpa bisa melihat dan menyentuhnya lagi.
Saya rasa dia cukup mengerti di usia dia yang baru 4 tahun.
Saya tidak terlalu sulit untuk menjelaskan kenapa ayahnya meninggal. Bila orang bertanya pun, dia akan menjawab ayah sudah di surga, di rumah Allah.
Baca Juga: Belajar Ikhlas saat Harus Meninggalkan Pekerjaan yang Dicintai Demi Merawat Anak
Harus Kehilangan Lagi untuk Kedua Kalinya
Foto: Dok. Nurhalifah
Serasa tidak cukup sampai di situ saja cobaan yang kami alami, cobaan lainnya kembali datang.
Anak ke-2 saya meninggal saat berumur 19 bulan. Namanya Athaleta, anak perempuan yang sangat saya nantikan kedatangannya.
Kalau ditanya perasaan saya, lagi-lagi shock yang saya rasakan.
Rasanya pengen marah sama Tuhan, kenapa harus saya lagi yang mengalami.
“Suami saya sudah diambil, kenapa harus anak perempuan saya juga,” kenang Moms Alief.
Awalnya saya berpikir, mungkin suami saya yang pergi, kehadirannya akan digantikan oleh anak ke-2 saya.
Tapi ternyata takdir berkata lain. Saya juga harus kehilangan Leta-ku, panggilan sayang saya untuk Si Kecil.
Jujur tidak ada apapun lagi pikiran yang terlintas di kepala saya setelah kejadian yang saya alami.
Saya pasrah dan ikhlas menerima semua yang sudah Allah takdirkan untuk saya.
Memang pondasi agama itu harus kuat. Mungkin kalau tidak, saya sudah gila dan berpikir yang macam-macam.
Tapi saya ingat masih punya satu tanggung jawab lagi yang harus saya lakukan, merawat anak pertama saya.
Marah kepada Allah, Kenapa Harus Saya yang Mengalaminya?
Foto: Dok. Nurhalifah
Jika berbicara mengenai tantangan, tantangan terbesar yang saya alami adalah saat Alm. suami saya meninggal.
Berpikir bagaimana saya membesarkan dua anak saya seorang diri dengan keadaan saya yang hanya seorang ibu rumah tangga.
Baca Juga: Butuh Perjuangan untuk Berdamai dengan Preeklampsia
Dan hanya berlangsung selama 19 bulan saja saya menjalani peran sebagai ibu dua anak, sampai akhirnya saya harus membesarkan Ben sendirian sampai saat ini.
Apapun akan saya lakukan untuk anak saya. Dari mulai mencoba berjualan secara online dan Alhamdulilah cukup untuk tabungan anak dan Alhamdulillah banyak juga yang membantu.
Jadi saya tidak merasa sendirian. Ya, memang mungkin saya sudah kehilangan dua orang yang saya sayangi dengan jarak yang tidak terlalu lama. Saya akui, itu adalah titik terendah saya dalam hidup.
Saya marah kepada Allah. Tapi Alhamdulillah, lagi-lagi saya bisa melewatinya.
Ikhlas dan Pasrah Terhadap Rencana Allah
Foto: instagram.com/alief_aqiela
Jika ditanya berapa lama saya pulih, saya juga tidak tahu pasti.
Setelah dua kejadian itu, saya hanya ikhlas dan pasrah apa yang Tuhan sudah gariskan untuk saya, karena hanya itu yang memperingan saya menjalani hari-hari berikutnya.
Saya selalu tanamkan, Allah tidak akan memberi cobaan kepada umatnya melebihi batas kemampuan umatnya.
Saya selalu bilang, saya harus sehat dan berpikir positif, karena dengan itu saya bisa menjalani semuanya.
Alhamdulillah juga saya mempunyai keluarga besar yang selalu mendukung saya dalam bentuk apapun.
Begitu juga lingkungan di sekitar saya. Mereka selalu mengatakan hal-hal positif kepada saya, sehingga saya bisa kuat dan bertahan sampai sekarang.
Seperti yang sudah saya katakan sebelumnya, apapun akan saya lakukan untuk membesarkan anak saya.
Baca Juga: Perjuangan Menyusui Bayi BBLR, Dimulai dengan Dot hingga Akhirnya Bisa Direct Breastfeeding
Sekarang yang saya jalani adalah berjualan online untuk bertahan hidup dan membesarkan anak.
Saya selalu tanamkan, pasti bisa memberikan yang terbaik untuk anak saya.
Sebisa mungkin saya ingin Ben merasakan hal yang sama dengan yang teman-temannya rasakan. Walaupun dia tumbuh hanya dengan seorang ibu dan tanpa ayah.
Pesan saya untuk para single Moms di luar sana, ikhlas itu kata yang selalu saya tanamkan untuk diri saya.
Jangan minder dengan status yang dimiliki. Kita harus kuat dan yakin bisa melewati semua ini. Terpenting, harus tetap sehat dan bahagia karena dengan 2 kata itu, kita bisa mendidik dan membesarkan anak-anak kita.
Konten di bawah ini disajikan oleh advertiser.
Tim Redaksi Orami tidak terlibat dalam materi konten ini.
Orami Articles — Artikel Seputar Parenting, Kesehatan,
Gaya Hidup dan Hiburan
Copyright © 2024 Orami. All rights reserved.