Sedih dan Berat Rasanya, Didiagnosis Covid-19 Membuat Saya Harus Menjauhi Anak-anak
Oleh Tita*, ibu dari 2 anak, dan perawat di rumah sakit di Jakarta
Meskipun sudah 8 bulan berlalu sejak kasus pertama virus corona (Covid-19) ditemukan di Indonesia, infeksi Covid-19 masih menghantui masyarakat Indonesia.
Nyatanya di masa new normal ini, di mana sudah banyak orang yang mulai bekerja seperti sedia kala, masih banyak masyarakat yang diketahui positif terinfeksi Covid-19. Mulai dari muda hingga tua.
Salah satunya adalah Moms Tita, yang juga menjadi salah satu korban infeksi virus corona. Bagaimana perjalanannya berjuang melawan Covid-19? Simak ceritanya berikut ini.
Baca Juga: Sedih Sekeluarga Didiagnosis COVID-19, ASI Saya Berhenti Mengalir
Tidak Pernah Terpikir Virus Itu Akan Masuk ke Tubuh Saya
Foto: Orami Photo Stock
Awal-awal mendengar kabar munculnya virus corona, sebenarnya saya takut kalau-kalau nanti mewabah di Indonesia. Ternyata Tiongkok-Indonesia itu dekat, sehingga sampai juga virus itu di kita.
Sebagai tenaga kesehatan saya tidak terlalu kaget sih, dulu pernah ada pengalaman juga merawat kasus flu burung, hanya saja Covid-19 ini memang luar biasa, terlalu cepat menyebarnya menurut saya.
Ketika itu, saya tidak berpikir kalau saya akan terinfeksi Covid-19, karena keluhan saya hanya meriang (demam dengan suhu < 37, 5). Selama ini gejala Covid-19 kan setau saya yang sering adalah demam tinggi dan batuk pilek.
Saya pikir saya hanya kecapekan biasa, karena kebetulan beban kerja waktu itu lumayan berat, Hanya kok sudah istirahat, minum vitamin masih meriang juga. Saya sempat berobat ke klinik saat meriang 3 hari, lalu disarankan tes SWAB oleh dokternya.
Besoknya saya SWAB di rumah sakit dan ternyata hasilnya positif.
Segera Isolasi Mandiri dan Perbanyak Multivitamin
Foto: Orami Photo Stock
Kaget pastinya saat tahu kabar bahwa hasil tes SWAB adalah positif. Tapi saya sudah siap dengan risiko pekerjaan saya di lingkungan rumah sakit jauh-jauh hari saat Covid-19 mulai muncul, jadi ya tidak ada yang istimewa.
Waktu itu saya langsung bersiap membuat kamar isolasi mandiri di rumah. kebetulan ada kamar kosong di lantai 2.
Persiapannya tidak banyak. Saya hanya menyiapkan alat mandi, baju-baju, dan alat makan saya. Obat-obatan sudah pasti saya siapkan. Saya diberi obat Oseltamivir dan Azithromycin dari RS, ditambah obat gastritis dan multivitamin, minum madu, susu murni, sari kurma, buah-buahan. Semuanya saya makan karena ingin cepat sembuh.
Bagi suami saya yang sudah memahami risiko pekerjaan saya, kabar ini tidak terlalu mengejutkan. Ia juga tidak banyak berkomentar dan pastinya tetap mendukung saya.
Baca Juga: Tetap Santai tanpa Panik Berlebihan, Ini Kisah Kami Melewati Pandemi COVID-19 di Swedia
Ibu Menyesal Saya Sekolah Perawat
Kabar saya positif Covid-19 saya sampaikan ke keluarga besar melalui WhatsApp. Saya WhatsApp orang tua dan saudara saya, bilang saya terkena Covid-19, mohon doa dan dukungannya, sudah seperti itu saja.
Ketika itu, yang kaget adalah ibu saya. Ia seolah menyesalkan menapa saya bisa tertular penyakit tersebut. "Dia samping bilang 'andai tahu begini ibu enggak izinkan kamu sekolah perawat waktu itu,” kenang Moms Tita.
Saya lalu berikan penjelasan seperti apa risiko pekerjaan saya. Saya berangkat kerja harus pakai transportasi umum, saya bertemu banyak orang di RS, pasien, keluarga pasien, tidak tahu apakah mekeka Covid-19 atau tidak.
Niat hati ingin menolong merawat orang sakit, pasti diberi kekuatan dan kesembuhan, begitu saja berpikirnya.
Ternyata respon mereka luar biasa, padahal saya merasa biasa saja (karena kebetulan saya termasuk bergejala ringan) mungkin karena ada anak kecil dan bayi saya di rumah, ada ketakutan mereka tertular.
Sebagai informasi saja, anak dan bayi imunitasnya lebih baik daripada orang tua, karena orang tua biasanya banyak penyakit penyerta jadi lebih berbahaya kalau terkena Covid-19.
Virus Tidak Juga Pergi, Jadi Saya Isolasi 2 Kali
Keluarga serumah semua baik-baik saja. Tidak ada gejala sama sekali mereka, saya berikan mereka vitamin, makan buah, dan minum banyak-banyak air putih.
Isolasi itu pekerjaan yang sangat membosankan, haha. Perasaan badan sehat, tapi nggak boleh ketemu apalagi ngobrol dengan orang lain.
Kegiatan saat isolasi yang pasti lebih banyak kegiatan rohani, berdoa, bernyanyi lagu rohani, berjemur dan olahraga ringan, makan, tidur, membaca informasi seputar Covid-19, dan bermain media sosial pastinya sebagai hiburan.
Waktu itu saya isolasi 14 hari, sesuai peraturan isolasi, kalau sudah 14 hari tidak terinfeksi lagi (pastinya saya tetap dalam pemantauan dokter).
Saya SWAB evaluasi ulang hari ke-20 waktu itu dan ternyata hasilnya masih positif. Lanjut isolasi, tapi kali ini saya sudah gabung sama anak-anak saya, tapi dengan protokol 3M (mencuci tangan, memakai masker dan menjaga jarak), ujian kesabaran tahap kedua, tapi kali ini lebih happy 😁.
Baca Juga: Saya Positif COVID-19, Kami Sekeluarga Jalani Karantina Mandiri
Memilih untuk Tetap Memberikan ASI pada Anak
Foto: Orami Photo Stock
Ini adalah bagian yang paling tidak menyenangkan, berpisah dari anak-anak. Kebetulan suami masih WFH, jadi anak-anak diurus oleh suami dan asisten, jadi saya tidak terlalu khawatir.
Rindu sekali rasanya harus berpisah dengan anak padahal kami berada di satu rumah. Rasanya ingin keluar kamar terus lari peluk mereka, apalagi kalau dengar anak-anak menangis. Tapi apalah daya, harus bisa menahan diri. Ya pas mereka tidur, di situ saya bisa nengokin anak saya lebih dekat.
Anak saya yang besar sudah sekolah TK, jadi sudah bisa diberi pengertian. Anak saya yang kecil baru berumur 1 tahun 4 bulan dan masih menyusu ASI. Berat dan akan merasa sangat bersalah kalau karena Covid-19 ini anak saya jadi putus ASI.
Saya termasuk ibu-ibu pejuang ASI karena saya percaya ASI tetap lebih baik. ASI bisa meningkatkan kekebalan tubuh, jadi bagaimanapun keadaannya saya harus tetap bisa memberi ASI buat anak saya.
Saya mulai mencari cari informasi, apakah ibu-ibu Covid-19 masih boleh menyusui, dan hasilnya boleh dengan minimal contact, cuci tangan dan memakai masker karena virus Covid-19 tidak menular lewat ASI.
Banyak orang menyarankan supaya saya stop saja menyusui anak saya, demi tidak menular ke anak saya, tapi setelah saya pertimbangkan, saya putuskan untuk tetap menyusui dengan minimal contact dan 3M pastinya.
Saya menyusui langsung hanya saat anak saya tidur lelap, setelah saya mandi dan berganti masker, mencuci tangan sebelum menyusui, jadi cuma sekitar 15 menit saya kontak langsung dengan bayi saya.
Kira-kira tiga kali per hari, selebihnya di sela-sela saya pompa ASI. Kunci keberhasilannya adalah rileks, tidak stres, dan bahagia.
Diberi Libur Hingga SWAB Negatif
Foto: Orami Photo Stock
Ya, saya kerja di salah satu RS di Jakarta. Rumah Sakit tempat saya bekerja sangat mendukung saya saat isolasi mandiri (isoman). Saya diberi libur sampai dengan hasil SWAB negatif tapi tetap digaji. Selain itu diberi vitamin, susu, dan beberapa bahan pokok saat isoman.
Saya selalu dipantau oleh petugas RS dan diberi fasilitas SWAB gratis sampai saya negatif.
Jadi tidak menambah beban pikiran saya karena penghasilan tetap meskipun saya harus menjalani isolasi mandiri.
Saya kembali bekerja tepatnya 33 hari setelah saya SWAB positif, respon teman kerja saya ya bersyukur karena saya sudah sehat bisa bergabung lagi. Kami tetap saling mengingatkan untuk menjaga protokol kesehatan 3M.
Kuncinya Hindari Stres dan Tetap Happy
Saya sudah sehat dan harus sehat, hehe. Hanya saja, memang kadang-kadang masih suka merasa lemas, mudah lelah, baik karena psikologis saya atau memang masih ada sedikit gejala-gejala sisa.
Makanya saya harus ekstra makan makanan sehat, perbanyak makan sayur dan buah, cukup tidur, hindari stres, olahraga ringan 30 menit per hari (senam atau jalan sehat), minum suplemen vitamin juga tentunya.
Baca Juga: Suami Pindah Tugas ke Jerman, Saya Harus Ekstra Hati-hati Bawa Bayi Terbang Jauh di Tengah Pandemi
Setelah keluar dari rumah (terutama yg bertemu banyak orang, seperti bekerja, ke pasar atau bepergian) saya selalu cuci tangan, mandi keramas dan ganti baju. Memakai masker, membawa hand sanitizer, memakai face shield bila perlu.
Nah, pesan saya untuk para Moms yang sedang berjuang melawan Covid-19, tetap semangat, kita harus cepat sehat supaya kita bisa menjaga anak-anak kita.
Kuncinya adalah hindari stres dan dibuat happy supaya imunitas kita meningkat, jangan lupa yang utama protokol kesehatan 3M.
Bagi para Moms pejuang ASI yang sedang berjuang melawan Covid-19, jangan putus asa, jangan stres dan sedih berlarut-larut karena itu akan menurunkan produksi ASI.
Belum ada kepastian penularan Covid-19 lewat ASI, bahkan WHO sempat merilis bahwa virus Covid-19 tidak ditemukan pada ASI ibu yg terinfeksi. Yang pasti manfaat ASI lebih besar saat pandemi karena mengandung antibodi untuk melawan virus/bakteri.
Jika Moms tidak yakin menyusui langsung bisa dipompa untuk diberikan ke bayi, konsumsi makanan yang bergizi agar kualitas ASI tetap baik untuk kekebalan tubuh bayi kita. Pastikan selalu memakai masker, dan mencuci tangan sebelum menyusui atau memompa ASI.
Inti dari semuanya adalah tetap bahagia dan hindari stres, semoga kita semua sehat. Salam sehat semangat!
*Tita adalah nama samaran
Konten di bawah ini disajikan oleh advertiser.
Tim Redaksi Orami tidak terlibat dalam materi konten ini.
Orami Articles — Artikel Seputar Parenting, Kesehatan,
Gaya Hidup dan Hiburan
Copyright © 2024 Orami. All rights reserved.