OMG! Ternyata Saya Mengalami Blighted Ovum alias Kehamilan Kosong
Oleh Carissa Savitri (28 th), Ibu dari Arzanka Khalif Danurendra (22 bln) dan Misha Fahima Yarakalya (5 bln), Member Orami WAG Toddler (2)
Sebelum mengucap janji pernikahan, saya tahu jika menikah bukan cuma tentang bahagia karena bisa tinggal satu atap berdua, atau karena nanti bisa banyak melakukan hal bersama.
Saya tahu jika dalam menjalani hubungan akan ada hal yang bahagia dan juga bisa penuh dengan konflik. Meski begitu, saya tetap terkejut saat mengetahui banyak hal tak terduga terjadi saat sudah menikah.
Sesuatu yang tak pernah sekalipun terlintas di benak saya saat merancang mimpi indah pernikahan dulu. Sungguh. Bahkan saya pernah berpikir, "Oh my God. Ternyata yang seperti itu benar-benar ada ya.."
Termasuk ketika saya divonis dokter saya memiliki blighted ovum!
Blighted ovum adalah kondisi kehamilan di mana kantung dan plasenta tumbuh, tetapi bayi tidak. Ini juga disebut 'kehamilan anembrionik' karena tidak ada embrio/bayi yang sedang berkembang.
Karena blighted ovum masih menghasilkan hormon, kondisi ini sering dianggap kehamilan positif saat melakukan tes.
Sejujurnya, saya juga tak banyak tahu tentang kondisi ini. Beberapa kali saya pernah membacanya di milis, teman saya sendiri juga divonis memiliki kondisi serupa.
Saat dia bercerita jika penyebabnya adalah ini, dan itu, oh whatever, saya hanya menanggapinya dan berlalu begitu saja. Mungkin kasusnya hanya 1:1.000.000 kan? Who cares. Saya tak mungkin akan mengalaminya. Apalagi saya sudah minum asam folat sejak sebelum menikah.
Ternyata, saya salah besar..
Menanti Penantian Buah Hati
Seperti pengantin baru lainnya, menantikan masa datang bulan akan sangat mendebarkan. Saking tak sabar, di bulan pertama menikah saya sampai testpack setiap hari. Bahkan dari sebelum waktunya datang bulan itu harusnya tiba. Kala itu, saya dan pasangan baru sebulan menikah.
Bulan kedua, tepatnya di bulan April, saya merasakan ada yang janggal persis seminggu sebelum periode menstruasi harusnya datang. Payudara terasa sakit luar biasa. Saya yang biasanya harus tidur dengan posisi tengkurap jadi merasa terganggu.
Saya hanya mengira-ngira kalau kondisi ini mungkin akan datang bulan seperti biasanya. Tapi ternyata, saya telat satu minggu. Pada waktu subuh, saya mendapatkan dua garis yang saya idam-idamkan. Saya langsung gemetar saking bahagianya.
Bahagia ini tidak bisa saya rangkum dalam kata-kata, bahagia yang baru pernah saya kenali rasanya, rasa bahagia yang tak bisa saya temukan padanannya.
Saat tahu saya hamil, hari-hari terasa begitu bersemangat dan menyenangkan. Saya mendapatkan banyak perhatian, terutama dari suami. Apalagi, saya tidak mengalami morning sickness yang mengganggu.
Tak ada keluhan yang saya alami selain payudara sakit, dan mudah lelah. Saya bisa makan apa saja, juga bepergian ke luar kota dengan nyaman.
Baca Juga: Bergabung di Komunitas, Pilihan Saya Agar Tetap 'Waras' dan Cerdas
Menghadapi Kenyataan Pahit
Foto: Orami/Carissa Savitri
Saya pernah membaca jika tanda-tanda kehamilan bermasalah adalah jika calon ibu tidak mengalami morning sickness. Tapi teman saya bercerita, jika tanpa mual dan muntah pun, bayi yang dikandungnya baik-baik saja.
Bahkan kini anaknya sudah besar, dan pintar mengoceh. Oke. Saya akhirnya tak lagi berpikir macam-macam. Walaupun sesunguhnya, rasa takut tetap menyusup diam-diam.
Permasalahan bumil newbie dimulai tentu saja saat memilih dokter kandungan untuk kunjungan pertama. Setelah mengumpulkan informasi, termasuk biaya, dan cara pendaftaran, saya memutuskan pergi ke salah satu dokter di sebuah klinik ternama. Alasannya sederhana, karena banyak teman saya yang menjadi pasiennya.
Namun, ini menjadi keputusan yang saya sesali.
Di kunjungan pertama, saya tak mendapat feedback yang baik. Sang dokter terkesan buru-buru, dan tak banyak bicara selain menasehati agar tidak terlalu lelah, dan meminta untuk kembali dua minggu lagi.
Dokter mengatakan, di kantong janin saya masih belum terlihat apa-apa. Dua minggu berikutnya, saat dokter sedang mengusap-usap perut saya dengan alat USG, beliau berkomentar, "Duh kecil banget kantongnya ya".
"Emang normalnya ukurannya berapa, dok?" tanya saya khawatir. Beliau tak menjawab apa-apa selain meminta saya agar segera duduk. Lalu, ia menuliskan resep vitamin asam folat seperti biasa.
Saat saya tanya, perlukah saya minum obat penguat mengingat jarak rumah ke kantor yang cukup jauh dan jalanan yang rusak, barulah beliau meresepkan dupaston. Selain itu, tidak ada pembicaraan apa-apa.
Di minggu berikutnya, saya divonis blighted ovum oleh dokter lainnya setelah saya mengalami flek yang semakin hari jumlahnya semakin banyak. Dokter mengatakan kantong kehamilan saya kosong. Tak ada janin yang sedang berkembang di sana.
Saya lemas.
Menangis sesenggukan.
Saya kehilangan.. bolehkah saya sebut dia "anak" walaupun wujudnya tak pernah ada?
Bahkan walau dia hanya segumpal darah, saya sungguh mencintainya.
Menurut dokter yang menangani saya, ibu yang memiliki blighted ovum biasanya tidak menunjukkan ciri-ciri yang spesifik. Saya sendiri tetap telat datang bulan, positif saat melakukan testpack, mudah lelah, juga merasakan payudara nyeri seperti ibu hamil pada umumnya.
Kata dokter, penyebab kondisi ini pun sulit ditentukan. Tapi salah satunya adalah asupan makanan yang buruk 2 tahun sebelum mengetahui positif hamil.
Saya melongo. Hal yang enggak pernah terpikirkan oleh saya dulu. Perencanaan kehamilan yang sehat bahkan sudah harus dimulai dari 2 tahun sebelumnya. Saya akui saya memang senang sekali makan junkfood dan jarang makan sayur juga buah.
Akhirnya, saya mengikhlaskan diri untuk menjalani proses kuretase 2 hari berikutnya. Operasi yang bagi saya tidak menyakitkan secara fisik, tetapi membuat hati saya nyeri jika mengingatnya. Setelah hal itu, saya belajar banyak hal baru sebagai calon ibu.
Baca Juga: Mengalah Bukan untuk Menyerah, Bayi Saya Minum Susu Formula
Memilih Dokter yang Tepat
Tadinya, saya berasumsi bahwa dokter dengan pasien yang banyak berarti yang terbaik, dokter dengan jadwal praktik di banyak rumah sakit, atau karena banyak teman-teman saya yang menggunakan jasanya.
Tapi ternyata, yang paling penting adalah ketika kita merasa 'klik' dan nyaman. Karena belum tentu dokter A baik untuk B, dan juga baik untuk C. Karena selayaknya memilih pasangan, dokter juga juga cocok-cocokkan.
Kalau perlu, coba beberapa dokter sampai menemukan yang 'sreg' di hati. Tak apa jika mengeluarkan budget lebih. Karena untuk mencari yang terbaik tentu butuh effort.
Kriteria saya, dokter harus informatif dan juga menyenangkan saat diajak konsultasi. Ia juga mau dihubungi via WhatsApp saat ada kondisi genting.
Pentingnya Screening Kesehatan dan Tetap Berpikir Positif
Foto: Orami/Carissa Savitri
Selain menyiapkan pesta pernikahan yang berkesan, penting juga untuk menyiapkan diri agar lebih mantap saat menerima kehamilan. Sisakan sedikit anggaran untuk tes TORCH (tes darah untuk toksoplasmosis, rubella cytomegalovirus, herpes simplex, dan HIV). Apalagi buat yang memelihara hewan di rumah.
Walaupun, virus tokso sebenarnya bisa tersebar melalui sayuran yang tidak dicuci bersih, atau mengonsumsi daging yang belum matang. Karena dari pengalaman teman saya, setelah beberapa kali ia mengalami blighted ovum, ternyata penyebabnya yaitu adanya tokso di tubuhnya.
Sebagai calon ibu baru, saat itu saya memang terlalu banyak khawatir dan berpikiran buruk. Mungkin menjadi maklum karena ini adalah pengalaman pertama saya.
Tapi ternyata pikiran pikiran buruk itu malah berbuah menjadi sugesti. Sugesti semacam ini kemudian bisa berpengaruh kepada janin dan tubuh ibu sendiri.
Jadi saat sudah hamil, kita harus selalu berpikiran positif. "Everything is gonna be okay. Bayi saya sehat dan sempurna."
Baca Juga: Petualangan Panjang Memilih Alat Kontrasepsi (KB) Paling Ampuh
Berdamai dengan Kesedihan
Kadang, kita harus mengorbankan sesuatu agar bisa belajar hal baru. Kadang, kita harus berdamai dengan kesedihan demi bahagia di hari kemudian.
Saya tak menyesal harus kehilangan dan menunggu lebih lama. Karena setelahnya, saya dapat merencanakan kehamilan yang lebih sehat, bahagia, dan nyaman. Setelah 8 bulan menanti, akhirnya saya dianugerahi garis dua lagi.
Keputusan besar pun saya ambil. Saya segera mengajukan resign dari pekerjaan di bank BUMN dengan penghasilan yang lumayan.
Saya tidak mau lagi menjalani hari-hari dengan perasaan yang selalu was-was. Seperti berangkat ke kantor lebih pagi dari biasanya agar bisa naik motor sepelan mungkin. Belum lagi beban kerja yang sungguh menekan dan kadang memengaruhi emosi. Saya tak ingin kehilangan untuk kedua kalinya.
Usai mengajukan resign, saya merasa kehamilan ini jauh lebih menyenangkan. Pikiran buruk selalu bisa saya alihkan dengan memasak, yang merupakan kegiatan favorit.
Saya juga mengubah pola hidup menjadi lebih sehat, seperti banyak makan sayur, camilan buah, dan kacang kacangan, juga rajin berolahraga setiap pagi.
Atas kasih sayang Tuhan, janin saya berkembang dengan baik hingga hari persalinan. Kini, saya telah memiliki 2 anak yang menggemaskan, Arzanka Khalif Danurendra (22 bulan) dan Misha Fahima Yarakalya (5 bulan). Doakan kami sehat selalu ya, Moms!
Konten di bawah ini disajikan oleh advertiser.
Tim Redaksi Orami tidak terlibat dalam materi konten ini.
Orami Articles — Artikel Seputar Parenting, Kesehatan,
Gaya Hidup dan Hiburan
Copyright © 2024 Orami. All rights reserved.