Victim Blaming, Sikap yang Menyudutkan Korban Kekerasan
Sering dianggap keliru, kenyataannya victim blaming dan playing victim adalah dua hal yang berbeda.
Victim blaming adalah fenomena yang terjadi ketika seorang korban kejahatan atau tragedi tertentu diminta pertanggungjawaban terhadap apa yang terjadi pada mereka.
Sementara itu, playing victim, yang disebut juga victim mentality terjadi ketika seseorang melemparkan kesalahan ke orang lain padahal kesalahan tersebut adalah perbuatannya sendiri.
Kali ini, Orami akan membahas lebih mendalam mengenai victim blaming.
Victim blaming biasanya terjadi dalam kasus pelecehan atau penyerangan seksual dan pemerkosaan, di mana korban sering dituduh mengundang serangan karena pakaian atau perilakunya.
Tentunya, konsep victim blaming sudah seharusnya perlu diluruskan agar korban tidak lagi harus disalahkan. Simak ulasan selengkapnya berikut ini.
Baca Juga: Ciri-ciri Pria yang Berpotensi Lakukan KDRT
Penjelasan Psikologi di Balik Victim Blaming
Foto: Victim Blaming (psychologytoday.com)
Victim blaming dapat terjadi pada tindak kejahatan apa saja, meski seringnya terjadi pada kasus kekerasan seksual hingga kekerasan dalam rumah tangga.
Namun, sebenarnya fenomena ini dapat terjadi kapan saja dan menimpa siapa saja.
Menurut Barbara Gilin, profesor pekerjaan sosial di Universitas Widener, ada penjelasan psikologis di balik fenomena victim blaming.
Kebanyakan orang menyalahkan korban, karena mereka ingin merasa aman sendiri.
Mereka merasa bahwa hal-hal buruk tidak akan pernah terjadi padanya.
"Mereka dapat terus merasa aman, maka dari itu bisa sampai menyalahkan orang lain,” ungkap Gilin.
Pendapat lainnya diungkapkan oleh Sherry Hamby, profesor psikologi di University of the South mengenai victim blaming.
“Menurut saya, faktor terbesar yang mendorong victim blaming adalah sesuatu yang disebut hipotesis dunia yang adil. Ini adalah gagasan bahwa orang-orang pantas mendapatkan apa yang terjadi pada mereka,” ungkap Hamby.
Hamby, editor pendiri jurnal Psychology of Violence APA, dilansir dari laman The Atlantis, menyatakan bahwa ada kebutuhan yang sangat kuat untuk percaya bahwa kita semua pantas mendapatkan hasil dan konsekuensi dari hal yang kita lakukan.
Hamby juga menambahkan, bahkan orang yang paling berniat baik pun terkadang berkontribusi pada menyalahkan korban.
Baca Juga: Apa Perbedaan Pelecehan Seksual dan Kekerasan Seksual?
Contoh yang terjadi, seperti terapis yang bekerja di program pencegahan di mana perempuan diberikan rekomendasi tentang bagaimana berhati-hati dan menghindari menjadi korban kejahatan.
Sebenarnya, fenomena victim blaming ini tidak sepenuhnya universal, ya, Moms.
Sebab, ada beberapa faktor yang juga berpengaruh sehingga seseorang melakukan victim blaming.
Di antaranya, seperti pengalaman, latar belakang, serta budaya beberapa individu membuat mereka kemungkinan lebih kecil untuk menyalahkan korban.
Dalam beberapa hal, ini adalah reaksi psikologis alami terhadap kejahatan.
Tidak semua orang yang terlibat dalam menyalahkan korban secara eksplisit menuduh seseorang gagal mencegah apa yang terjadi pada mereka.
Faktanya, mungkin saja Moms tidak selalu menyadari sudah melakukan victim blaming, walaupun dalam bentuk yang ringan sekali pun.
Misalnya, ketika Moms mendengar tentang kejahatan dan berpikir harus lebih berhati-hati jika berada di posisi korban, ini sudah menjadi bentuk victim blaming, tanpa Moms sadari.
Baca Juga: 11 Pantangan Penderita Hepatitis B, Jangan Diabaikan!
Mengapa Seseorang Cenderung Victim Blaming?
Foto: Kecemasan (Orami Photo Stocks)
Victim blaming tidak hanya dilakukan oleh orang lain. Sebagian orang juga melakukan victim blaming pada diri sendiri.
Tentunya hal ini sangat berbahaya, karena sebagai korban tindakan kejahatan apa pun itu, sudah seharusnya mendapatkan perlindungan.
Korban terkadang menyalahkan diri mereka sendiri karena alasan yang sama dengan orang lain yang menyalahkan mereka. Yaitu, mereka ingin percaya bahwa dunia ini adil.
Menyalahkan diri sendiri juga dapat membantu mereka merasa lebih aman dalam beberapa hal.
Terkadang, akan lebih mudah meyakinkan diri sendiri dengan menyatakan kesalahan terhadap apa yang terjadi pada diri sendiri.
Namun, menyalahkan diri sendiri seperti itu tentunya tidak sehat, terutama bagi kesehatan mental kita, ya, Moms.
Pada kasus kekerasan seksual atau kekerasan dalam rumah tangga, menyalahkan korban membuat lebih sulit bagi mereka itu untuk maju dan melaporkan penyerangan.
Menyalahkan korban juga memperkuat sikap seperti predator. Hal ini memungkinkan pelaku untuk menghindari dimintai pertanggungjawaban atas tindakan mereka.
Lantas, apa yang harus dilakukan agar kita tidak memiliki mental victim blaming atau pun tidak melakukan victim blaming pada orang lain? Simak ulasan berikutnya, ya, Moms!
Baca Juga: Kasus-kasus Kekerasan Seksual Anak di Indonesia, Kenali 6 Ciri Anak yang Mengalaminya
Cara Menghindari Victim Blaming
Foto: Korban Victim Blaming (newsbook.com.mt)
Ketika orang lain membutuhkan pertolongan terhadap apa yang terjadi pada mereka, sebisa mungkin jangan bersikap victim blaming, ya, Moms.
Beberapa cara ini bisa dicoba untuk menghindari sikap victim blaming pada orang lain, yaitu:
- Pastikan mendengarkan korban dengan baik.
- Biarkan mereka percaya bahwa apa yang terjadi pada mereka bukanlah kesalahan mereka.
- Hadapi sikap menyalahkan korban saat Moms mendengarnya.
- Jangan biarkan pelaku menyalahkan korbannya, misalnya terhadap kebiasaan mengonsumsi alkohol, atau penyalahgunaan narkoba atas perilakunya.
- Berikan dukungan sebisa mungkin yang mereka butuhkan.
- Hindari menyalahkan korban di media dengan bersikap menggiring opini.
Baca Juga: 10 Cara Menjaga Kesehatan Mental, Yuk Coba!
Adakah Cara Mengatasi Victim Blaming pada Diri Sendiri?
Foto: Konsultasi Psikolog (Orami Photo Stocks)
Sementara itu, adakah cara yang bisa dilakukan untuk menghindari pemikiran victim blaming pada diri sendiri?
Menurut Dr. Anju Hurria, psikiater dan asisten profesor klinis psikiatri anak dan remaja di University of California–Irvine, victim blaming pada diri sendiri dapat muncul sepanjang waktu dan terkadang tidak dapat dicegah.
Kondisi ini bisa benar dianggap sebagai trauma sekunder, dari kejahatan atau pelecehan yang mereka alami.
Baca Juga: Terapi Sentuhan untuk Mengatasi Depresi
Jika dibiarkan, kondisi ini berkontribusi pada hal-hal lainnya yang berbahaya bagi kesehatan mental.
Di antaranya adalah peningkatan risiko depresi, PTSD, hingga pemikiran untuk bunuh diri.
Jika saat ini Moms mengalami efek merugikan akibat victim blaming, segera minta pertolongan kepada orang yang paling dipercaya atau tenaga profesional, ya!
Ingat, menjaga kesehatan mental sama pentingnya dengan kesehatan fisik!
- https://advocates.byu.edu/avoid-victim-blaming
- http://stoprelationshipabuse.org/educated/avoiding-victim-blaming/
- https://www.verywellmind.com/why-do-people-blame-the-victim-2795911
- https://www.verywellmind.com/sexual-assault-and-victim-blaming-4802707
- https://www.theatlantic.com/science/archive/2016/10/the-psychology-of-victim-blaming/502661/
- https://health.usnews.com/wellness/articles/2016-04-19/the-psychological-impact-of-victim-blaming-and-how-to-stop-it
Konten di bawah ini disajikan oleh advertiser.
Tim Redaksi Orami tidak terlibat dalam materi konten ini.
Orami Articles — Artikel Seputar Parenting, Kesehatan,
Gaya Hidup dan Hiburan
Copyright © 2024 Orami. All rights reserved.