Setelah Sekian Lama Mengalah, Aku Mencoba Menjadi Egois karena Ingin Berikan yang Terbaik untuk Anakku
Oleh Ludyah Annisah (27 th), Ibu dari Khadijah Baihaqi (2 th), Member WAG Orami Toddler (4)
"Ibu, bayinya perempuan yaaa. Alhamdulillah, sehat dan lengkap semua," ucap dokter pada bulan Ramadhan, Juni 2017 lalu.
Suara tangis bayi perempuan itu akhirnya pecah, memenuhi seisi ruangan operasi dengan penuh rasa kemenangan. Tubuh kecilnya pun seolah haus dan menggigil, seakan ingin didekap sang ibu untuk dihangatkan dan minta disusui.
Aku, seorang perempuan berusia 25 tahun kala itu hanya bisa tertunduk sambil meneteskan air mata penuh haru dan bahagia. Kendati raga lemah tak berdaya lantaran efek anestesi, ingin sekali rasanya saat itu aku memeluk tubuh kecilnya.
Namun apa daya, bayi kecilku yang manis itupun tengah dibersihkan dan diberikan perawatan pasca dilahirkan ke dunia.
Khadijah Baihaqi, itulah nama indah yang aku dan suami berikan pada bayi perempuan mungil kami, dengan harapan kelak agar dia tumbuh menjadi pribadi yang kuat, tangguh dan dermawan.
Pipinya yang bulat dan kemerahan itu memberikan rasa kagum bagi siapapun yang melihatnya, termasuk kedua orang tuaku selaku kakek dan neneknya.
Masih teringat begitu jelas, kala itu, betapa perihnya bekas luka jahitan yang masih basah dan semakin diperparah dengan depresi lantaran luka dari ayah dan ibuku.
Meski bukan berupa luka fisik, tetapi sikap dan ucapan mereka seolah melukai perasaan kami. Harusnya kami merasakan bahagia saat itu. Namun, nyatanya nestapa terlanjur hadir di tengah-tengah kami.
Baca Juga: Menghadapi Mertua yang Suka Ikut Campur
Saat Kakek dan Nenek Lebih Mendominasi
Foto: Orami/Ludyah Annisah
Sebagai seorang anak, tentu ingin membahagiakan hati kedua orang tuanya. Termasuk juga kami selaku anak dan menantu. Ditambah lagi dengan hadirnya cucu, hal ini akan semakin menghangatkan serta mempererat hubungan kami.
Sayangnya, kenyataan justru berbeda. Situasi malah semakin memanas tepat saat kami pulang ke rumah. Hal ini lantaran sikap orang tuaku yang seringkali mengatur dan ikut campur dengan urusan kami.
Berhubung kami sudah memprediksi akan terjadinya hal itu, lantas kami memilih untuk langsung kembali pulang ke rumah sendiri, bukan ke rumah orang tua seperti kebanyakan orang tua baru lainnya.
Lagi-lagi, momen menyedihkan tersebut malah tetap terjadi. Aku tak bedanya seperti sapi perah yang tugasnya tak lebih dari menyusui anaknya saja, lalu kemudian anak sapi itupun dikembalikan lagi ke kandangnya usai menyusui.
Mama, demikianlah panggilan yang melekat pada sosok perempuan yang melahirkanku, dengan cekatan segera mengambil alih bayi mungilku setelah disusui. Hal ini terus berlangsung hingga keesokan harinya.
Bahkan, Mama meminta agar pada malam harinya dia tidur bersama bayi kecilku, tanpa menyertaiku di sisinya. Dengan alasan, aku butuh istirahat pasca operasi caesar.
Miris. Maksud hati, ingin sekali bisa berdekatan dengan Si Kecil sembari menjalin kelekatan guna melancarkan produksi ASI untuknya, malah tiba-tiba seolah dijauhkan begitu saja.
Parahnya, hal itu dilakukan oleh ibu kandungku sendiri. Begitu juga dengan sikap ayahku yang tak jauh berbeda. Ia teramat berlebihan dalam menyayangi Khadijah. Seakan anak kami, seperti anak mereka sendiri.
Tampak sudah gurat kemarahan pada wajah suamiku, tetapi kucoba untuk terus menahannya, sambil terus menenangkannya dan meminta agar dia memaklumi kakek dan neneknya, bahwa Khadijah adalah cucu pertama bagi mereka.
Akan tetapi, nyatanya dominasi itu tetap ada, hingga kemudian melemahkan dan memojokkan kami berdua.
Baca Juga: Intip 5 Kunci Pola Asuh Balita Ala Jerman yang Bikin Anak Mandiri dan Pintar!
Beda Frekuensi Antara Aku, Suami, dan Orang Tua
Foto: Orami/Ludyah Annisah
“Dyah, ASI kamu tuh sedikit enggak banyak, enggak kental juga. Mending kasih susu formula aja sana! Kasihan Khadijah nanti kurus gara-gara ASI kamu enggak enak,” cetus Mama.
Bagai mendengar petir di siang bolong, ungkapan Mama kala itu semakin menusuk hatiku. Meski perih tapi tak berdarah, tetapi luka batinku semakin membengkak dan menganga.
Kondisi ini semakin diperparah dengan Khadijah yang satu hari pasca pulang dari rumah sakit harus kembali lagi dirawat inap. Hal itu karena ia mengalami kondisi jaundice atau kuning. Ia pun harus melakukan fototerapi selama 3 hari di rumah sakit.
Dokter mengatakan, bahwa salah satu alasan utamanya adalah kemungkinan Khadijah kurang mendapat asupan ASI hingga akhirnya bisa menyebabkan kuning.
Mengetahui hal itu, Mama segera menyalahkanku sejadi-jadinya tanpa mencari tahu lebih dalam sebab-akibat mengapa hal itu bisa terjadi.
Melihat hal itu, suamiku akhirnya mengamuk karena tak tahan dengan semua ucapan dan sikap Mama kepada kami. Bisa jadi, dia sudah terlalu sabar melihatku yang terlalu banyak diam dan mengalah.
Sejak saat itulah, kami berdua semakin sadar bahwa perbedaan frekuensi itu semakin jelas di antara kami dan orang tuaku. Baik itu, dari segi pemahaman, tindakan, dan pola asuh anak.
Tegas pada Prinsip
Tegas dalam mengemukakan prinsip, itulah sikap yang akhirnya kami berdua putuskan demi kebaikan kami. Suka tidak suka, tapi kenyatannya orang tuaku harus belajar untuk bisa menerima dan menyikapi perbedaan.
Bukan maksud menggurui apalagi membantah, sekali lagi bukan. Dengan catatan, selagi nasihat atau masukkan mereka logis (tidak menyalahi ajaran agama), dan seiring dengan pemahaman kami, pasti akan kami kerjakan.
Karena kami berdua sebagai orang tua juga ingin bisa mendapatkan kesempatan untuk belajar dan menikmati waktu-waktu kami dengan Si Kecil. Meski, kami berdua sadar bahwa kami bukanlah orang tua yang sempurna.
Baca Juga: Ajarkan 4 Prinsip Dasar Ini Agar Si Kecil Dapat Tumbuh Sopan
Memutuskan Resign, Why Not?
Foto: Orami/Ludyah Annisah
Tepat enam bulan setelah melahirkan, akhirnya aku memutuskan mundur dari pekerjaanku sebagai guru. Bukan tanpa alasan, tetapi kuat keinginanku untuk bisa terus bersama Si Kecil selama 24 jam.
Meski, nantinya tidaklah terlalu optimal. Namun, tak apa. Setidaknya, aku sudah memperjuangkan diri ini untuk bisa merawat dan mengasuh Khadijah dengan maksimal, dan menyusui hingga dia berusia 2 tahun.
Apalagi, mengingat setelah aku kembali bekerja usai cuti melahirkan, Mama selalu memberikan tambahan sufor melebihi dari jumlah yang kutetapkan.
Kadang beberapa kali aku mendapati Mama tengah membuang ASIP-ku yang katanya sudah tidak segar lagi. Padahal, ASI tersebut baru kuperah tadi malam.
Miris memang, dan hal itulah yang menjadi salah satu alasan utamaku untuk resign tanpa peduli bagaimana tanggapan orang tuaku nanti di kemudian hari. Bismillah, lillah. Maafkan Dyah ya Ma, Pa.
I Know The Best for You
Foto: Orami/Ludyah Annisah
Syukur Alhamdulillah, demikian ungkapan yang pertama kali aku ucapkan setelah resign.
Meski terdengar berat bagi kedua orang tuaku, namun kali ini aku mencoba menjadi egois sementara waktu. Mengingat, sudah terlalu lama juga aku diam dan mengalah sambil menahan pedih atas sikap dan ucapan orang tuaku selama ini.
Senyumku pun mulai mengembang, sembari bersiap untuk menghabiskan banyak waktu dengan Si Kecil.
Lagi-lagi, bukan tanpa alasan. Namun, aku ingin mendidik Khadijah dengan caraku dan suami selaku orang tuanya. Berharap, agar kelak dia dapat tumbuh menjadi pribadi yang berakhlak, hangat dalam bertutur kata, dan cerdas dalam menyikapi segala hal.
Tentunya, harus dengan pola asuh yang benar dan tepat, bukan asal-asalan. Sekali lagi, aku ibunya, dan aku tahu yang terbaik untuk anak-anakku.
Konten di bawah ini disajikan oleh advertiser.
Tim Redaksi Orami tidak terlibat dalam materi konten ini.
Orami Articles — Artikel Seputar Parenting, Kesehatan,
Gaya Hidup dan Hiburan
Copyright © 2024 Orami. All rights reserved.