Mengenal Toxic Positivity, Penolakan Emosi Negatif yang Bikin Perasaan Semakin Lebih Buruk
Pernahkah Moms mendengar istilah toxic positivity? Istilah ini memiliki arti dalam bahasa Indonesia, yaitu toksisitas positif.
Ini merupakan keyakinan bahwa tidak peduli seberapa parah atau sulitnya suatu situasi yang dialami, seseorang harus tetap mempertahankan pola pikir yang positif.
Meskipun tentunya menjadi seseorang yang positif dalam berpikir merupakan hal yang baik, namun toksisitas positif adalah tindakan yang menolak segala bentuk emosi negatif, yang pada akhirnya akan berdampak pada diri sendiri.
Melansir dari Journal of Happiness Studies, memiliki pandangan hidup atau pemikiran yang positif memang baik untuk kesehatan mental.
Masalahnya adalah, hidup tidak selalu positif. Kita semua memiliki emosi dan pengalaman yang menyakitkan.
Emosi-emosi tersebut meskipun seringkali tidak menyenangkan, perlu kita rasakan dan ditangani secara terbuka dan jujur untuk mencapai penerimaan dan kesehatan psikologis yang lebih baik.
Sebab, bila terus-terusan diabaikan, justru akan membuat perasaan menjadi lebih buruk.
Baca Juga: Menyelami Gangguan Kesehatan Mental pada Ibu Pascamelahirkan
Tanda Toxic Positivity
Belajar mengenali tanda-tanda toxic positivity dapat membantu Moms mengidentifikasi jenis perilaku ini dengan lebih baik.
Melansir dari Very Well Mind, tanda-tanda seseorang melakukan toxic positivity, meliputi:
- Memilih menghindari atau menyingkirkan masalah daripada menghadapinya.
- Menyembunyikan perasaan yang sebenarnya di balik ungkapan perasaan senang yang tampaknya dapat diterima secara sosial.
- Mempermalukan orang lain ketika mereka tidak memiliki sikap positif.
- Merasa bersalah karena memiliki perasaan sedih, marah, atau kecewa.
- Menyembunyikan atau menyamarkan perasaan yang sebenarnya.
- Mencoba untuk tabah atau melupakan emosi menyakitkan yang dialami.
- Menyepelekan pengalaman buruk orang lain.
Baca Juga: Apa Itu Crush? Ini Artinya dalam Bahasa Gaul dan Makna yang Sebenarnya
Contoh Toxic Positivity
Toksisitas positif dapat dengan mudah Moms temukan dalam kehidupan sehari-hari.
Seperti contoh, ketika sesuatu yang buruk terjadi, seperti Moms kehilangan pekerjaan, orang lain mungkin akan berkata “tetap positif” atau “lihatlah sisi baiknya”.
Meskipun komentar seperti itu sering kali dimaksudkan untuk menunjukkan simpati atau untuk menyemangati, namun itu dapat membuat Moms menjadi terbungkam dan tidak dapat mengungkapkan pengalaman menyakitkan yang dimiliki.
Beberapa contoh lain kalimat-kalimat toxic positivity, yakni:
- "Oh, itu masih tidak seberapa."
- "Semua ada hikmahnya."
- "Tetap positif! Buang perasaan negatifmu itu."
- "Jangan menyerah."
- "Yuk, bisa yuk!"
- "Kamu sih masih mending, lah aku?"
- "Semuanya pasti berlalu."
Baca Juga: Kekerasan pada Anak: Tanda, Jenis, Dampak, dan Cara Mengatasinya
Dampak Toxic Positivity
Toxic positivity dapat membahayakan orang-orang yang sedang melalui masa-masa sulit.
Alih-alih dapat berbagi emosi dan mendapatkan dukungan tanpa syarat, orang-orang yang dihadapkan dengan toksisitas positif malah mendapati perasaan mereka diabaikan, tidak penting, dan tidak dianggap yang bisa berpengaruh pada kesehatan mental.
Sehingga, hal tersebut bisa memberi dampak, seperti:
1. Merasa Dipermalukan
Menerima tindakan toxic positivity dapat memicu perasaan seperti dipermalukan.
Ini membuat seseorang merasa bahwa perasaan sedih atau emosi negatif lainnya yang mereka miliki tidak dapat diterima dan tidak seharusnya terjadi atau dilakukan.
Ketika seseorang menderita atau mengalami suatu hal yang menyedihkan, mereka perlu merasakan bahwa emosi yang mereka miliki valid, dan berhak mendapat perasaan kelegaan, serta perhatian dari orang terdekatnya.
2. Mencegah Pengembangan Diri
Toxic positivity memungkinkan seseorang untuk menghindari perasaan yang dapat menyakitkan.
Sehingga, tindakan tersebut dapat mencegah kemampuan seseorang untuk menghadapi perasaan menantang yang pada akhirnya dapat mengarah pada pengembangan diri yang lebih luas.
3. Merasa Bersalah
Toxic positivity dapat membuat seseorang menjadi merasa bersalah.
Ini menjadikan seseorang selalu merasa bersalah bila tidak selalu bersikap atau berpikir positif, meski sedang mengalami suatu kejadian yang buruk.
Cara Mengatasi Toxic Positivity
Berusaha menghadapi emosi negatif bisa membantu mengatasi dan mengurangi stres.
Dilansir dari Psychology Today, untuk mengatasi toxic positivity caranya adalah dengan memikirkan rasanya ketika Moms mencoba melepaskan atau tidak mengabaikan emosi negatif yang selama ini dipendam.
Moms mungkin akan merasa beban yang dipikul menjadi lebih ringa dan terasa lega di dada, dibandingkan harus berpura-pura merasa baik terus-menerus.
Cobalah untuk tidak melihat emosi dari baik dan buruknya. Tanamkan di kepala bahwa emosi negatif bisa menjadi pendoman yang membantu kita memahami banyak hal.
Jika Moms merasa sedih meninggalkan pekerjaan, artinya Moms sangat menyukainya atau pengalaman itu bermakna.
Emosi negatif dan positif yang datang lalu pergi bergantian ini bisa membantu kita memahami diri sendiri dan orang-orang di sekitar.
Baca Juga: 5 Love Language untuk Menunjukkan Cinta, Moms Lebih Suka Dipuji atau Diberi Hadiah?
Tips Menghindari Toxic Positivity
Untuk menghindari terjaidnya toksisitas positif, Moms bisa mencoba beberapa cara.
Melansir dari Alina Health, berikut tipsnya.
1. Bersikap Realistis pada Emosi yang Dimiliki
Perhatikan bagaimana perasaan atau emosi yang sebenarnya dimiliki.
Emosi setiap orang adalah suatu hal yang valid dan harus dihormati, serta diterima.
Saat menghadapi situasi yang sulit, wajar jika seseorang dapat merasa stres, khawatir, atau bahkan takut.
Jangan terlalu berharap besar untuk selalu positif pada diri sendiri.
Mulailah latih diri dan berusaha mengambil langkah-langkah yang tepat dalam memperbaiki situasi yang dimiliki.
2. Batasi Diri Terhadap Toxic Positivity
Mengelilingi diri dengan orang-orang yang positif dapat bermanfaat bagi kesehatan mental.
Tetapi menghabiskan terlalu banyak waktu dengan orang-orang yang fasih dalam hal toksisitas positif bisa menjadi masalah.
Tetapkan batasan dengan orang-orang tersebut.
3. Puasa Sosial Media
Toxic positivity membuat seseorang memanifestasikan dirinya di media sosial dengan hanya membagikan versi terbaik dari diri yang dimiliki.
Maka dari itu, beristirahatlah dari penggunaan media sosial jika hal tersebut membawa lebih banyak emosi negatif daripada positif.
Emosi Negatif Bukan Sesuatu yang Buruk
Emosi negatif sering digambarkan sebagai hal buruk, berbeda dengan emosi positif yang menggambarkan suka cita, kebanggaan, dan cinta.
Tetapi, emosi negatif ini dapat memberikan informasi penting tentang kondisi sesungguhnya dan cara mengontrolnya.
Contohnya, Moms merasa kesal setiap kali mengerjakan satu hal. Perasaan itu menandakan bahwa Moms tidak menyukai pekerjaan itu.
Sehingga Moms perlu mencari aktivitas lain yang lebih disukai daripada mencoba memaksakan diri dengan berpikir positif.
Selain itu, emosi negatif juga dapat membantu mengidentifikasi pemicu trauma.
Jika situasi tertentu memicu ketakutan dan kecemasan, artinya perasaan itu mengungkap dan memproses pengalaman traumatis di masa lalu.
Baca Juga: Mengenal Meditasi, Cara Mudah yang Cepat Menghilangkan Stres dan Depresi
Bagaimana Moms, sudah paham mengenai toxic positivity? Hindari hal tersebut mulai sekarang ya.
Sebab, jika terus-terusan dilakukan, hal itu bisa berdampak pada kesehatan mental seseorang.
- https://www.verywellmind.com/what-is-toxic-positivity-5093958
- https://www.psychologytoday.com/us/blog/the-man-cave/201908/toxic-positivity-dont-always-look-the-bright-side
- https://link.springer.com/article/10.1007/s10902-017-9934-2
- https://www.allinahealth.org/healthysetgo/thrive/toxic-positivity-when-good-vibes-hurt-mental-health
Konten di bawah ini disajikan oleh advertiser.
Tim Redaksi Orami tidak terlibat dalam materi konten ini.
Orami Articles — Artikel Seputar Parenting, Kesehatan,
Gaya Hidup dan Hiburan
Copyright © 2024 Orami. All rights reserved.