10 Mitos Depresi yang Bikin Penderita Makin Susah Sembuh
Depresi adalah salah satu penyebab utama penyakit di seluruh dunia. Meski demikian, masih banyak mitos dan kesalahpahaman tentang depresi yang berkembang di masyarakat.
Orang yang mengalami depresi sering menghadapi persepsi negatif dari lingkungan sekitarnya, karena stigma yang melekat pada gangguan kesehatan mental.
Mitos dan ketidaktahuan seputar depresi membuat penderita depresi semakin sulit untuk pulih.
Nah, untuk membantu memerangi prasangka dan stigma ini, cukup penting untuk mempelajari mitos dan fakta seputar depresi ya Moms.
Simak ulasannya di bawah ini!
Baca Juga: Suami Mengalami Depresi? Kenali Tanda-tandanya!
Mitos Depresi 1: Depresi adalah akibat dari kurangnya kemauan
Sebuah studi yang diterbitkan pada Agustus 2007 di The Journal of Neuroscience menunjukkan bahwa ada gangguan dalam pola normal proses emosional yang mencegah orang yang depresi dan cemas menekan emosi negatif.
Bahkan, semakin banyak mereka mencoba, semakin mereka mengaktifkan pusat ketakutan otak mereka atau disebut amigdala, yang memberi mereka lebih banyak pesan negatif.
Untuk melawan mitos ini, kita bisa belajar dari beberapa tokoh dalam sejarah yang juga berjuang dengan depresi, yakni Abraham Lincoln dan Winston Churchill.
Kemuliaan dan tekad mereka datang sebagai hasil dari bertahan melalui gejala yang menyakitkan, dan tidak berpura-pura mereka tidak ada.
Mitos Depresi 2: Depresi selalu dipicu oleh suatu peristiwa tertentu
Peristiwa dan situasi tertentu tentu saja dapat memicu depresi, tetapi penyakit itu merupakan entitas tersendiri. Depresi bukanlah kesedihan atau kekecewaan biasa, meskipun emosi-emosi itu mungkin menyatu dengan gejala-gejala depresi pada hari-hari dan minggu-minggu di sekitar peristiwa negatif.
J. Raymond DePaulo, Jr., MD, Profesor Psikiatri dan Ilmu Perilaku di Fakultas Kedokteran, Universitas Johns Hopkins, AS menjelaskan, kejadian pencetus atau peristiwa kehidupan yang penuh tekanan dapat menyebabkan depresi pada beberapa orang.
“Namun tidak semuanya lantas bermuara menjadi penyakit, ada juga yang berupa respon alami terhadap kemalangan,”katanya seperti dikutip dari everydayhealth.com.
Mitos Depresi 3: Depresi bukanlah penyakit yang nyata
Depresi tidak seperti penyakit seperti diabetes karena kita tidak dapat menentukan hasil dengan tes darah sederhana dan penanganannya juga tidak semudah mengonsumsi insulin.
Bahkan banyak orang keliru, di mana mereka percaya bahwa depresi hanyalah kesedihan belaka atau bahkan hanya merupakan kelemahan karakter dari seseorang. Tetapi pada kenyataannya, depresi adalah gangguan kesehatan mental yang kompleks.
Ini memiliki asal sosial, psikologis, dan biologis, dan dapat diobati dengan berbagai cara. Penyebabnya tidak sesederhana ketidakseimbangan neurotransmiter, pembawa pesan kimiawi di otak yang menjembatani celah sinaptik, seperti yang pernah diyakini para ahli.
Berdasarkan penelitian terkini, menunjukkan adanya pertimbangan lain yang menjadi penyebab depresi, seperti, kabel otak yang rusak di lobus frontal, penyusutan sel di wilayah hippocampus otak, ketidakseimbangan hormon, dan variasi genetik.
Mitos Depresi 4: Hanya perempuan yang rentan mengalami depresi
Menurut National Institute of Mental Health, perempuan mengalami depresi kira-kira dua kali lipat dari pria. Banyak faktor yang berkontribusi terhadap depresi perempuan, seperti fluktuasi hormon, terutama pada usia subur, dan tekanan sosial, termasuk tanggung jawab keluarga.
Namun, sekitar 6 juta pria di Amerika Serikat (AS) juga mengalami depresi setiap tahun. Meskipun gejala yang digunakan untuk mendiagnosis depresi pada pria sama dengan pada perempuan, pria mengatasi depresi berbeda dari perempuan.
Hal ini membuat depresi pria lebih sulit untuk didiagnosis. Misalnya, pria cenderung lebih mudah marah dan marah, dibandingkan sedih dan menangis. Mereka lebih sering terlibat dalam perilaku sembrono dan beralih ke narkoba dan alkohol.
Pria juga lebih memilih melaporkan lebih banyak gejala fisik daripada perempuan, seperti sakit punggung, sakit dada, sakit kepala, dan masalah pencernaan.
Mitos Depresi 5: Antidepresan selalu menyembuhkan depresi
Depresi dapat diobati. Di antara intervensi lain, dokter mungkin meresepkan obat antidepresan. Obat-obatan ini mengubah kimia otak penderita depresi.
Mereka dapat membantu mengatasi masalah biologis yang berakar dalam, yang mungkin berkontribusi terhadap kondisi penderita.
Tetapi bagi banyak orang, antidepresan saja tidak cukup. Dokter biasanya juga dapat merekomendasikan terapi psikoterapi atau terapi bicara.
Menggabungkan obat-obatan dengan terapi bicara adalah strategi pengobatan yang umum untuk depresi.
Baca Juga: Terapi Sentuhan untuk Mengatasi Depresi
Mitos Depresi 6: Depresi terjadi karena peristiwa yang menyedihkan
Setiap orang terkadang mengalami pikiran sedih atau ketidakbahagiaan. Misalnya, kita mungkin merasa kesal setelah kematian orang yang kita cintai atau menghadapi akhir dari suatu hubungan. Peristiwa seperti ini dapat meningkatkan risiko depresi.
Tetapi depresi tidak selalu disebabkan oleh insiden negatif. Depresi dapat menyebabkan periode putus asa, kesedihan, dan kelesuan yang tidak dapat dijelaskan. Kita juga mungkin mengalami kecenderungan bunuh diri.
Episode-episode ini dapat bertahan untuk waktu yang lama. Mereka mungkin muncul secara tiba-tiba dan tidak dapat dijelaskan, bahkan ketika segala sesuatu dalam hidup Anda tampaknya berjalan dengan baik.
Tidak ada yang memilih untuk mengalami depresi. Beberapa orang secara keliru percaya bahwa itu terjadi ketika kita membiarkan diri berkubang dalam kesedihan. Mereka mungkin berpikir itu bisa disembuhkan dengan pikiran positif atau perubahan sikap.
Pada kenyataannya, depresi bukan merupakan tanda mengasihani diri sendiri, kelemahan, atau kemalasan. Ini adalah kondisi medis di mana kimia, fungsi, dan struktur otak dipengaruhi secara negatif oleh faktor lingkungan atau biologis.
Mitos Depresi 7: Penderita harus mengonsumsi antidepresan selamanya
Antidepresan memberikan pilihan pengobatan jangka panjang bagi banyak orang yang mengalami depresi. Tetapi lamanya waktu yang dianjurkan untuk dikonsumsi dapat bervariasi berdasarkan tingkat keparahan kondisi dan rencana perawatan yang ditentukan.
Kita mungkin tidak perlu mengonsumsi antidepresan selama sisa hidup kita. Dalam banyak kasus, dokter mungkin meresepkan psikoterapi bersama dengan obat-obatan.
Terapi ini dapat membantu mempelajari cara-cara baru untuk mengatasi tantangan hidup dan dapat mengurangi kebutuhan akan pengobatan seiring waktu. Tapi dalam kasus lain, minum antidepresan untuk waktu yang lama mungkin merupakan pilihan terbaik.
Mitos Depresi 8: Antidepresan mengubah kepribadian Anda
Antidepresan mengubah kimia otak kita. Ini mungkin tampak menakutkan. Kita juga mungkin khawatir bahwa kita akan merasa seperti orang yang sama sekali berbeda ketika mengonsumsinya.
Yang sebenarnya, antidepresan dirancang untuk mengubah hanya bahan kimia tertentu di otak. Mereka dapat membantu meringankan gejala depresi tanpa mengubah kepribadian mendasar.
Setelah mengonsumsinya, banyak orang dengan depresi mulai merasa seperti menjadi diri mereka lagi.
Mitos Depresi 9: Kita bisa mencegah depresi dengan makan sehat
Ada banyak manfaat dalam mengonsumsi makanan yang baik. Namun, mereka tidak cukup untuk melindungi kita dari depresi sepenuhnya.
Sebuah tinjauan tahun 2014 yang diterbitkan dalam American Journal of Clinical Nutrition meneliti hubungan antara diet dan risiko depresi dan menemukan bahwa diet yang terdiri dari buah, sayuran, ikan, dan biji-bijian secara signifikan memang terkait dengan penurunan risiko depresi.
Namun, bukan berarti hanya mengandalkan nutrisi baik bagi tubuh, lantas mampu mencegah depresi.
Mitos 10: Membicarakan tentang depresi hanya akan memperburuk keadaan
Adalah kesalahpahaman umum bahwa membahas depresi yang dialami seseorang, hanya memperkuat perasaan destruktif dan membuat yang bersangkutan tetap fokus pada pengalaman negatif dalam hidup.
Tetapi bagi banyak orang, menyendiri dengan pikiran-pikiran terkait depresi tersebut justru jauh lebih berbahaya daripada berupaya mengusir pikiran-pikiran tersebut.
Yang bisa dilakukan adalah berbicara dengan pendengar yang mendukung, andal, dan tidak menghakimi tentang perasaan kita. Orang yang kita cintai mungkin bersedia mendengarkan semuanya.
Tetapi dalam banyak kasus, terapis bersertifikat lebih siap untuk memberikan dukungan yang dibutuhkan.
Baca Juga: Jangan Anggap Remeh, Kenali 10 Gejala Depresi yang Dapat Dialami
Itulah beberapa mitos depresi yang seharusnya tidak Moms percayai lagi ya.
(SERA)
Konten di bawah ini disajikan oleh advertiser.
Tim Redaksi Orami tidak terlibat dalam materi konten ini.
Orami Articles — Artikel Seputar Parenting, Kesehatan,
Gaya Hidup dan Hiburan
Copyright © 2024 Orami. All rights reserved.