Gagal Memberikan ASI Eksklusif tidak Membuat Saya Berhenti Berjuang Menyusui Si Kecil
Oleh Mirah Fadillah, 31 tahun, ibu dari Zen, 31 bulan, dan Fay, 4 bulan, member WAG Orami Newborn
Setiap ibu pasti ingin memberikan yang terbaik untuk anaknya, begitu juga dengan saya. Asupan pertama yang saya berikan untuk anak ketika lahir dalam memenuhi nutrisi tubuhnya, adalah ASI.
Sayangnya tidak semua ibu memiliki perjalanan mengASIhi yang lancar, seperti yang terjadi pada saya.
Saat anak saya lahir, saya sudah bertekad untuk memberikan ASI eksklusif selama dua tahun pertama kehidupannya.
Berbekal pengetahuan dari kelas-kelas menyusui yang saya ikuti, saya pun bersikeras menyusui anak tanpa bantuan sufor di tiga hari pertama. Sayangnya tidak berjalan dengan lancar.
Di hari ketiga anak saya mengalami demam dan berat badannya turun lebih dari 10 persen berat lahirnya. Artinya anak saya mengalami dehidrasi dan perlu asupan cairan tambahan selain ASI.
Saat itu saya merasa sangat sedih, kecewa, dan stres. Tetapi demi kesehatan si buah hati, saya dengan berat hati menyetujui pemberian susu formula pada anak saya.
Baca Juga: Perhatian Ekstra untuk Stimulasi Tumbuh Kembang Bayi Prematur
Tiga minggu berlalu masih dengan proses menyusui yang dibantu susu formula. Di minggu ketiga saya mencoba menyusui anak tanpa bantuan susu formula, berbekal kepercayaan diri bahwa ASI saya cukup.
Namun kenyataan lagi-lagi berkata lain, berat badan anak saya kembali ke berat lahir saat usianya satu bulan. Saya kenyang dimarahi oleh dokter anak dan diperintahkan untuk kembali memberikan anak saya tambahan susu formula.
Saat itu saya menerima perintah dokter dengan pasrah tanpa mencari solusi lain.
Perjalanan Mencari Konselor Laktasi
Setelah cuti saya habis, saya mulai bekerja sambil mencari informasi mengenai klinik laktasi di daerah Jakarta. Saya langsung mendaftar untuk konsultasi di salah satu rumah sakit.
Hasil dari konsultasi pertama anak saya divonis memiliki tongue tie dan lip tie yang cukup mengganggu proses menyusu, saran dokter tersebut adalah insisi.
Suami tidak setuju akan tindakan insisi, akhirnya kami mencari second opinion ke konselor lain. Sebelum mencari second opinion, saya juga mencari tahu tentang lip tie, tongue tie, dan pengaruhnya terhadap proses menyusui.
Baca Juga: Butuh Perjuangan untuk Berdamai dengan Preeklampsia
Ternyata memang lip tie dan tongue tie dapat mengganggu proses menyusui, menyebabkan bayi tidak dapat menyusu dengan benar atau hisapannya lemah. Tapi tidak semua jenis lip tie dan tongue tie harus diinsisi.
Saya mendaftar ke klinik laktasi di rumah sakit yang berbeda. Kali ini hasil diagnosis dokternya adalah ada lip tie yang cukup tebal pada anak saya tapi tidak perlu diinsisi.
Namun lip tie pada anak saya berpengaruh terhadap kekuatan hisapannya saat menyusu sehingga menyebabkan anak saya bingung puting parsial.
Anak saya seolah-olah mau menyusu langsung ke payudara tapi ternyata hisapannya lemah, sehingga produksi ASI saya semakin hari semakin turun tanpa disadari.
Oleh karena itu, hal yang paling penting adalah mengajari anak untuk menyusu dengan benar.
Berkenalan dengan Relaktasi
Proses belajar menyusu dibantu dengan alat supplemental nursing system (SNS). Saat itu saya baru mengerti bahwa ini termasuk proses relaktasi.
Baca Juga: Punya Anak dengan Seabrek Aktivitas? Kenapa Tidak!
Dilansir dari Asosiasi Ibu Menyusui Indonesia (AIMI), relaktasi adalah proses menyusui kembali bayi langsung ke payudara setelah dalam kurun waktu tertentu tidak menyusui atau menyusui secara parsial (mencampur pemberian ASI dengan makanan/minuman selain ASI) karena alasan tertentu.
Relaktasi dapat dilakukan dengan diawali niat yang kuat untuk kembali menyusui.
Tahap awal relaktasi dimulai dengan mengganti susu formula dengan susu formula tinggi kalori untuk mengejar berat badan anak yang sangat rendah. Setelah menyusui dengan menggunakan SNS, saya masih harus mengosongkan payudara dengan menggunakan pompa ASI.
Jumlah susu formula yang diberikan sesuai dengan takaran dari dokter, diharapkan semakin lama jumlahnya semakin berkurang dan tergantikan dengan ASI sepenuhnya.
Tetapi proses relaktasi saya terputus di tengah jalan karena tidak melanjutkan konsultasi. Padahal seharusnya saya terus berkonsultasi hingga selesai proses relaktasi.
Baca Juga: Serunya Drama Hamil Kembar saat Si Sulung Masih Batita
Perjuangan Panjang Akhirnya Berakhir Manis
Proses relaktasi yg panjang (kurang lebih 6 bulan menggunakan SNS setiap kali menyusui) membuat saya berkonsultasi lebih lanjut dengan dokter lain di Bandung.
Akhirnya proses relaktasi berakhir saat anak saya berusia 9 bulan. Setelah itu saya lanjut menyusui tanpa bantuan sufor dan SNS hingga anak saya berusia 2 tahun 1 minggu. Semua proses relaktasi ini berhasil karena ada dukungan dari suami dan keluarga dekat lainnya. Terutama anak saya yg dengan sabar mau belajar menyusu kembali.
Jadi Moms, niat dan dukungan sekeliling memang penting untuk kesuksesan menyusui. Jangan menyerah ya Moms!
Konten di bawah ini disajikan oleh advertiser.
Tim Redaksi Orami tidak terlibat dalam materi konten ini.
Orami Articles — Artikel Seputar Parenting, Kesehatan,
Gaya Hidup dan Hiburan
Copyright © 2024 Orami. All rights reserved.