Obstructive Sleep Apnea, Masalah Henti Pernapasan Saat Tidur
Pernahkah Moms mendengar istilah Obstructive Sleep Apnea (OSA)?
Istilah tersebut merupakan sebuah gangguan tidur dimana seseorang berhenti bernapas saat tidur.
Gangguan pernapasan seperti ini rupanya dapat terjadi hingga 30 kali dalam 1 jam, dimana saat 1 kali berhenti bernapas dapat mencapai 10-60 detik lamanya.
"Sering kali, Obstructive Sleep Apnea ini tidak disadari. Apalagi, pada orang yang belum menikah karena cenderung tidur sendiri sehingga gejala OSA tak dapat dikenali. Padahal, bisa sangat berbahaya karena dapat memicu henti jantung atau serangan jantung," jelas Dr. dr. Fauziah Fardizza, Sp.THT-KL (K), FICS – dokter spesialis THT - bedah kepala & leher konsultan laring faring yang berpraktik di RS Pondok Indah – Pondok Indah.
Hal ini pun diperkuat oleh Journal of Diagnosis and Management of Sleep Apnea yang menyebutkan bahwa OSA dikaitkan dengan 2 hingga 3 kali lipat peningkatan risiko penyakit kardiovaskular dan metabolisme.
Tak hanya pada orang dewasa saja, gangguan ini juga dapat terjadi pada Si Kecil. Lalu apakah penyebab dan bagaimana cara mengatasinya? Mari simak ulasan berikut.
Baca Juga: Mengenal Sleep Apnea, Berikut Gejala, Penyebab, dan Cara Mengatasinya Moms
Gejala Obstructive Sleep Apnea
Dokter Fauziah menjelaskan, terdapat beberapa gejala yang menandakan Obstructive Sleep Apnea.
Gejala Obstructive Sleep Apnea sendiri dibagi menjadi 2, yakni gejala malam dan gejala siang. Apa sajakah itu?
1. Gejala Malam
Seseorang dengan Obstructive Sleep Apnea biasanya akan mengalami beberapa hal ini saat malam hari:
- Mendengkur keras terus-menerus
- Mengalami jeda dalam bernafas
- Tersedak atau terengah-engah
- Tidur gelisah
- Sering terbangun untuk ke kamar mandi
2. Gejala Siang
Sementara itu, gejala di siang hari yang bisa menunjukkan seseorang mengalami Obstructive Sleep Apnea, yakni:
- Sakit kepala di pagi hari
- Kantuk di siang hari
- Konsentrasi buruk
- Sifat lekas marah
- Tertidur tiba-tiba selama kegiatan rutin
Jika Moms atau Dads mengalami gejala Obstructive Sleep Apnea di atas, sebaiknya segera konsultasi ke dokter untuk mendapatkan perawatan tepat sehingga risiko komplikasi dapat dicegah.
Baca Juga: Ini 5 Penyebab Kenapa Orang Sering Mendengkur dan Bahayanya
Penyebab OSA
Obstructive Sleep Apnea ini dapat terjadi dikarenakan otot di belakang tenggorokan memblokir saluran pernapasan.
Kondisi inilah yang membuat kadar oksigen dalam darah kemudian menurun dan pada akhirnya menyebabkan penghentian napas.
Tak hanya itu, kurangnya oksigen tadi juga dapat menyebabkan otak menjadi panik sehingga berujung membangunkan tubuh untuk kembali bernapas.
Pada anak-anak, biasanya hal ini disebabkan oleh adanya pembesaran amandel.
Ketika sudah terjadi beberapa gejala diatas sebaiknya periksakan diri dan dokter akan melakukan beberapa pemeriksaan fisik seperti memeriksa kelainan di belakang tenggorokan, mengukur keliling leher dan pinggang Moms, hingga memeriksa tekanan darah.
Baca Juga: Bayi Ngorok saat Tidur, Ini Penyebab dan Cara Mengatasinya
Faktor Risiko yang Menyebabkan OSA
Memang betul bahwa semua orang bisa mengalami OSA, baik itu anak-anak maupun orang dewasa.
Namun, ada beberapa faktor yang bisa meningkatkan risiko terjadinya OSA, antara lain:
1. Kelebihan Berat Badan
Walaupun tidak semua orang dengan Obstructive Sleep Apnea, tetapi mayoritas panderita OSA mengalami kelebihan berat badan. Hal ini terjadi karena adanya timbunan lemak di sekitar saluran napas bagian atas sehingga menghambat pernapasan.
Kondisi medis yang berhubungan dengan obesitas, seperti hipotiroidisme dan sindrom ovarium polikistik, juga dapat menyebabkan Obstructive Sleep Apnea.
2. Usia yang Lebih Tua
Risiko terjadinya Obstructive Sleep Apnea dapat meningkat seiring bertambahnya usia, tetapi tampaknya menurun setelah usia 60-an dan 70-an.
3. Jalan Napas Menyempit
Apabila Moms atau Dads mewarisi saluran udara yang sempit secara alami, hal ini dapat meningkatkan risiko terjadinya OSA.
Pasalnya, amandel atau kelenjar gondok Moms atau Dads mungkin membesar dan menghalangi jalan napas.
4. Tekanan Darah Tinggi
Obstructive Sleep Apnea relatif umum terjadi pada orang yang memiliki tekanan darah tinggi atau hipertensi.
Menurut laporan yang diterbitkan dalam AHA Journals, sebanyak setengah dari semua pasien dengan sleep apnea mungkin memiliki hipertensi yang mendasarinya, dan banyak pasien dengan hipertensi, terutama hipertensi resisten, mungkin memiliki Obstructive Sleep Apnea.
Bahkan, tampaknya ada interaksi antara keparahan OSA dan resistensi terhadap obat antihipertensi.
5. Hidung Tersumbat Kronis
OSA terjadi 2 kali lebih sering pada mereka yang memiliki hidung tersumbat yang konsisten di malam hari, apa pun penyebabnya. Hal ini mungkin dapat terjadi karena saluran udara yang menyempit.
6. Merokok
Orang yang merokok lebih mungkin mengalami OSA, dibanding orang yang tak merokok.
7. Diabetes
Obstructive Sleep Apnea juga lebih sering terjadi pada penderita diabetes.
Dikutip dari jurnal American College of Chest Physicians, hubungan antara OSA dan diabetes tipe 2 mungkin bersifat dua arah.
Hal ini mengingat neuropati diabetik dapat memengaruhi kontrol pusat pernapasan dan refleks saraf saluran napas bagian atas, yang menyebabkan gangguan pernapasan saat tidur.
8. Jenis Kelamin
Secara umum, pria 2 hingga 3 kali lebih mungkin mengalami OSA dibandingkan wanita pramenopause. Frekuensi OSA ini dapat meningkat pada wanita setelah menopause.
9. Faktor Genetik
Memiliki anggota keluarga dengan OSA juga dapat meningkatkan risiko Moms atau Dads mengalaminya.
10. Asma
Penelitian telah menemukan hubungan antara asma dan risiko OSA.
Dalam jurnal berjudul Lung India disebutkan bahwa pasien asma lebih sering melaporkan mendengkur, kantuk berlebihan di siang hari, dan apnea.
Baca Juga: Balita Sering Mendengkur Saat Tidur? Ini Penyebab dan Gejalanya
Komplikasi Obstructive Sleep Apnea
Dikutip dari Mayo Clinic, berikut risiko komplikasi apabila OSA tak segera ditangani:
1.Kelelahan dan Kantuk di Siang Hari
Karena kurangnya tidur restoratif di malam hari, orang dengan OSA sering mengalami kantuk, kelelahan, dan lekas marah yang parah di siang hari.
Mereka mungkin mengalami kesulitan berkonsentrasi dan tertidur di tempat kerja, saat menonton TV atau bahkan saat mengemudi. Hal ini dapat menempatkan mereka pada risiko kecelakaan kerja yang lebih tinggi.
2. Gangguan Konsentrasi
Anak-anak dan remaja yang mengidap OSA mungkin berisiko memiliki prestasi buruk di sekolah karena umumnya mengalami masalah perhatian atau perilaku.
3. Masalah Kardiovaskular
Penurunan kadar oksigen darah mendadak yang terjadi selama OSA dapat meningkatkan tekanan darah dan membebani sistem kardiovaskular.
Banyak orang yang mengidap OSA kemudian mengembangkan tekanan darah tinggi (hipertensi), yang dapat meningkatkan risiko penyakit jantung.
Semakin parah OSA yang diderita, maka semakin besar risiko penyakit arteri koroner, serangan jantung, gagal jantung, dan stroke.
OSA juga dapat meningkatkan risiko irama jantung abnormal (aritmia), yang dapat menurunkan tekanan darah.
Jika ada penyakit jantung yang mendasarinya, beberapa episode aritmia yang berulang ini dapat menyebabkan kematian mendadak.
4. Komplikasi Dengan Obat-Obatan dan Pembedahan
Jika Moms atau Dads mengalami OSA dan kemudian menjalani operasi besar, terutama setelah dibius dan berbaring telentang, hal ini dapat memperburuk masalah pernapasan. Selain itu, mungkin lebih rentan terhadap komplikasi setelah operasi.
Jadi sebelum menjalani operasi, beri tahu dokter dahulu jika Moms atau Dads memiliki OSA atau gejala yang berkaitan dengan kondisi tersebut.
5. Masalah Mata
Beberapa penelitian telah menemukan hubungan antara OSA dengan kondisi mata tertentu, seperti glaukoma. Namun, komplikasi mata biasanya dapat diobati.
6. Pasangan Akan Mengalami Kurang Tidur
Mendengkur yang keras dapat membuat orang-orang di sekitar Moms atau Dads tidak mendapatkan istirahat yang baik dan akhirnya mengganggu hubungan.
Orang yang menderita OSA mungkin juga mengeluhkan masalah ingatan, sakit kepala di pagi hari, perubahan suasana hati atau depresi, dan sering buang air kecil di malam hari.
Perlu diketahui juga bahwa Obstructive Sleep Apnea mungkin menjadi faktor risiko COVID-19.
Banyak orang dengan OSA telah ditemukan berisiko lebih tinggi untuk mengembangkan bentuk COVID-19 yang parah dan membutuhkan perawatan di rumah sakit daripada mereka yang tidak memiliki OSA.
Baca Juga: 4 Rekomendasi Makanan untuk Balita dengan Sleep Apnea
Cara Mendiagnosis OSA
Ada banyak cara yang bisa dokter lakukan untuk mendiagnosis OSA. Namun, diagnosis akan dimulai dengan riwayat lengkap dan pemeriksaan fisik.
Dokter akan memeriksa kepala dan leher untuk mengidentifikasi faktor fisik yang berhubungan dengan sleep apnea.
Dokter juga mungkin meminta Moms atau Dads untuk mengisi kuesioner tentang kantuk di siang hari, kebiasaan tidur, dan kualitas tidur.
Sementara itu, tes lain yang dapat dilakukan untuk mendiagnosis OSA, yaitu:
1. Polisomnogram
Polisomnogram biasanya mengharuskan pasien menginap di rumah sakit atau pusat studi tidur.
Tes berlangsung sepanjang malam. Saat tidur, polisomnogram akan mengukur aktivitas berbagai sistem organ yang terkait dengan tidur. Ini mungkin termasuk:
- Electroencephalogram (EEG), yang mengukur gelombang otak
- Electro-oculogram (EOM), yang mengukur pergerakan mata
- Electromyogram (EMG), yang mengukur aktivitas otot
- Elektrokardiogram (EKG atau EKG), yang mengukur detak jantung dan ritme
- Tes oksimetri nadi, yang mengukur perubahan kadar oksigen dalam darah Anda
- Analisis gas darah arteri (ABG)
2. EEG dan EOM
Selama EEG, elektroda ditempelkan ke kulit kepala yang akan memantau gelombang otak sebelum, selama, dan setelah tidur. Sementara EOM akan merekam gerakan mata.
Sebuah elektroda kecil ditempatkan 1 sentimeter di atas sudut luar mata kanan, dan yang lain ditempatkan 1 sentimeter di bawah sudut luar mata kiri. Ketika mata bergerak menjauh dari pusat, gerakan ini direkam.
Gelombang otak dan gerakan mata memberi tahu dokter tentang waktu dari berbagai fase tidur. Fase tidur adalah non-REM (non rapid eye movement) dan REM (rapid eye movement).
Saat bermimpi, terjadi penurunan tonus otot dan gerakan, dan kelumpuhan terjadi selama tidur REM.
3. EMG
Selama EMG, dua elektroda ditempatkan di dagu: satu di atas garis rahang dan yang lainnya di bawahnya. Elektroda lain ditempatkan pada setiap tulang kering.
Elektroda EMG mengambil aktivitas listrik yang dihasilkan selama gerakan otot. Relaksasi otot dalam harus terjadi selama tidur. EMG mengambil ketika otot rileks dan bergerak saat tidur.
4. EKG
EKG 12 sadapan dapat membantu dokter menentukan apakah ada penyakit jantung. Tekanan darah tinggi yang berlangsung lama juga dapat menyebabkan perubahan pada EKG.
Memantau detak jantung dan ritme memungkinkan dokter melihat apakah ada gangguan jantung yang terjadi selama episode apnea.
5. Oksimetri Nadi
Dalam tes ini, perangkat kecil yang disebut oximeter dijepitkan ke area tipis tubuh yang memiliki aliran darah yang baik, seperti ujung jari atau daun telinga.
Oksimeter menggunakan emitor kecil dengan LED merah dan inframerah untuk mengukur berapa banyak oksigen dalam darah. Jumlah oksigen dalam darah, atau saturasi oksigen, menurun selama episode apnea.
Normalnya, saturasi oksigen sekitar 95-100 persen. Dokter nantinya akan menginterpretasikan hasil dari penggunaan oksimetri nadi.
6. Gas Darah Arteri (ABG)
Dalam penelitian ini, jarum suntik digunakan untuk mengambil darah dari arteri. Gas darah arteri mengukur beberapa faktor dalam darah arteri, termasuk:
- Kandungan oksigen
- Saturasi oksigen
- Tekanan parsial oksigen
- Tekanan parsial karbon dioksida
- Tingkat bikarbonat
Tes ini akan memberi dokter gambaran yang lebih rinci tentang jumlah oksigen, karbon dioksida, dan keseimbangan asam-basa darah. Ini juga akan membantu dokter mengetahui apakah dan kapan pasien membutuhkan oksigen ekstra.
Baca Juga: Penyebab Mengigau saat Tidur dan Cara Mengatasinya
Cara Mengatasi OSA
Terdapat beberapa hal yang dapat dilakukan guna mengatasi OSA.
Di antaranya dengan mengurangi berat badan, menghindari alkohol atau obat-obat lain, pengobatan penyumbatan hidung dengan obat hingga biasanya penderita OSA akan disarankan untuk tidur miring daripada telentang.
Adapula pengobatan lain yang disebut dengan Continuous Positive Airway Pressure (CPAP) dimana pengobatan ini merupakan cara dengan menyediakan selang udara untuk menjaga saluran udara tetap terbuka selama tidur.
Selain CPAP, langkah pembedahan juga direkomendasikan jika Moms tidak bersedia menggunakan alat CPAP dan metode konservatif lainnya tidak berhasil.
Semua tindakan tersebut sebenarnya akan tergantung pada keparahan dan lokasi penyumbatan. Dokter bedah tidak hanya akan mengandalkan hasil dari 1 tes saja.
Terapi bedah yang berhasil untuk mengobati OSA didasarkan pada identifikasi tingkat penyumbatan saluran udara, biasanya pada beberapa lokasi seperti bagian hidung, langit-langit lunak dan pangkal lidah.
Baca Juga: 4 Posisi Tidur yang Baik untuk Meningkatkan Kualitas Tidur
Itulah penjelasan lengkap mengenai Obstructive Sleep Apnea. Semoga informasinya bisa bermanfaat, ya.
- https://jamanetwork.com/journals/jama/article-abstract/2764461
- https://www.ahajournals.org/doi/full/10.1161/HYPERTENSIONAHA.106.076190
- https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC5812754/
- https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC5946549/
- https://www.mayoclinic.org/diseases-conditions/obstructive-sleep-apnea/symptoms-causes/syc-20352090
- https://www.healthline.com/health/sleep/obstructive-sleep-apnea
Konten di bawah ini disajikan oleh advertiser.
Tim Redaksi Orami tidak terlibat dalam materi konten ini.
Orami Articles — Artikel Seputar Parenting, Kesehatan,
Gaya Hidup dan Hiburan
Copyright © 2024 Orami. All rights reserved.