12 Januari 2024

Biografi Jenderal Soedirman dan Kisah Perjuangannya

Panglima besar pertama Indonesia

Jenderal Soedirman adalah salah satu pahlawan nasional Indonesia yang paling dihormati.

Ia dikenal sebagai panglima besar termuda Tentara Nasional Indonesia (TNI) yang memimpin perjuangan kemerdekaan Indonesia melawan Belanda.

Sebagai panglima besar TNI, Soedirman memimpin perjuangan rakyat Indonesia melawan Belanda dengan gagah berani.

Ia bergerilya di hutan-hutan Jawa Tengah dan Jawa Barat untuk menghindari serangan Belanda.

Meskipun menderita penyakit TBC yang parah, Soedirman tetap semangat memimpin pasukannya.

Ia bahkan pernah memimpin perang gerilya dengan menggunakan tandu.

Ingin tahu biografi Jenderal Soedirman selengkapnya? Simak artikel ini sampai akhir, ya!

Baca Juga: Biografi Nyi Ageng Serang, Pahlawan Cerdas dan Bijaksana

Kehidupan Awal Jenderal Soedirman

Jenderal Sudirman
Foto: Jenderal Sudirman (Pinterest.com)

Jenderal Soedirman lahir di Bodas Karangjati, Purbalingga, Jawa Tengah pada tanggal 24 Januari 1916.

Sejak kecil, Soedirman sudah menunjukkan jiwa kepemimpinan dan patriotisme. Ia aktif dalam organisasi pemuda Muhammadiyah dan menjadi guru di sekolah Muhammadiyah.

Soedirman dibesarkan oleh pamannya, Raden Cokrosunaryo, seorang camat di Rembang. Soedirman dikenal sebagai anak yang rajin, tekun, dan berbakti.

Ia juga memiliki semangat belajar yang tinggi dan gemar membaca buku.

Pada usia tujuh tahun, Sudirman mulai bersekolah di HIS (Hollandsch Inlandsche School), sebuah sekolah pribumi.

Pada tahun ketujuhnya, ia pindah ke sekolah yang dimiliki oleh Taman Siswa.

Tahun berikutnya, ia beralih ke Sekolah Wirotomo karena sekolah Taman Siswa dianggap ilegal oleh pemerintah Belanda.

Sudirman dikenal sebagai individu yang sangat taat beragama. Ia mempelajari Islam di bawah bimbingan Raden Muhammad Kholil, dan teman-temannya sering memanggilnya 'Haji'.

Selain itu, ia sering memberikan ceramah dan rajin dalam belajar.

Pada tahun 1934, pamannya yang bernama Cokrosunaryo meninggal dunia, yang merupakan pukulan berat bagi Sudirman dan keluarganya.

Meskipun dalam kondisi ekonomi yang sulit, ia diizinkan untuk melanjutkan pendidikannya tanpa membayar biaya sekolah hingga lulus, seperti yang disebutkan dalam biografi Jenderal Sudirman yang ditulis oleh Sardiman (2008).

Saat berada di Wirotomo, Sudirman terlibat dalam mendirikan organisasi Islam bernama Hizbul Wathan milik Muhammadiyah. Setelah lulus dari Wirotomo, ia bahkan menjadi pemimpin cabang Cilacap dari organisasi tersebut.

Kemampuannya dalam kepemimpinan, organisasi, dan ketaatan terhadap Islam membuatnya dihormati oleh masyarakat.

Jenderal Sudirman menjadi salah satu tokoh besar yang muncul selama periode revolusi. Ia sudah menjadi seorang jenderal pada usia 31 tahun.

Setelah lulus dari Wirotomo, ia melanjutkan pendidikannya di Kweekschool, sekolah khusus calon guru yang dimiliki oleh Muhammadiyah pada zaman Hindia Belanda.

Namun, ia terpaksa berhenti karena masalah biaya.

Setelah itu, Sudirman kembali ke Cilacap dan menjadi guru di sekolah dasar Muhammadiyah. Di sinilah ia bertemu dengan Alfiah, seorang teman sekolahnya yang kemudian menjadi istrinya.

Saat tinggal di Cilacap, Sudirman tinggal di rumah mertuanya, Raden Sostroatmodjo, seorang pengusaha batik kaya.

Selama mengajar di sekolah, ia juga aktif dalam perkumpulan organisasi pemuda Muhammadiyah.

Pada tahun 1942, Jepang berhasil menduduki Indonesia, dan perubahan kekuasaan pun terjadi. Sekolah tempat Sudirman mengajar ditutup oleh Jepang dan diubah menjadi pos militer.

Namun, melalui negosiasi dengan militer Jepang, Sudirman akhirnya diizinkan untuk kembali mengajar, meskipun dengan fasilitas yang sangat terbatas.

Pada tahun 1944, Sudirman diangkat sebagai perwakilan dalam dewan karesidenan yang dibentuk oleh Jepang, dan tidak lama kemudian ia diminta untuk bergabung dalam tentara PETA (Pembela Tanah Air) oleh pihak Jepang.

Baca Juga: Biografi Sultan Agung, Sultan Mataram Ketiga yang Cerdas

Pendidikan Militer

Saat Jepang menduduki Indonesia, Soedirman bergabung dengan tentara Pembela Tanah Air (PETA) di Bogor.

Meskipun baru saja menyelesaikan pendidikan, ia segera diangkat menjadi Komandan Batalyon di Kroya.

Setelah Tentara Keamanan Rakyat (TKR) terbentuk, Soedirman menjadi Panglima Divisi V/Banyumas, dan akhirnya terpilih sebagai Panglima Angkatan Perang Republik Indonesia (Panglima TNI).

Soedirman adalah seorang Pahlawan Kemerdekaan yang berjuang tanpa memedulikan keadaannya sendiri demi mempertahankan Republik Indonesia yang sangat ia cintai.

Ia merupakan Panglima dan Jenderal pertama, serta yang termuda dalam sejarah Republik ini.

Ketika bom atom dijatuhkan di Hiroshima dan Nagasaki, kekuatan militer Jepang di Indonesia mulai melemah. Sudirman, yang saat itu ditahan di Bogor, memimpin rekan-rekannya untuk melarikan diri.

Dia pergi ke Jakarta dan bertemu dengan Soekarno dan Mohammad Hatta, yang meminta Soedirman memimpin pasukan melawan Jepang di Jakarta.

Namun, Sudirman menolak dan memilih memimpin pasukannya di Kroya pada tanggal 19 Agustus 1945.

Setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia, pemerintah membentuk Badan Keamanan Rakyat (BKR) dan menggabungkan PETA ke dalamnya.


Soedirman dan pasukannya mendirikan cabang BKR di Banyumas, dan ia memimpin masyarakat setempat dalam melucuti senjata tentara Jepang.

Kemudian, Presiden Soekarno membentuk Tentara Keamanan Rakyat (TKR), yang personelnya berasal dari mantan KNIL, PETA, dan Heiho.

Soekarno menunjuk Supriyadi sebagai panglima TKR, tetapi ia tidak muncul. Inggris, yang saat itu mendarat di Indonesia bersama dengan NICA (Netherlands Indies Civil Administration), mulai mempersenjatai tentara Belanda dan mendirikan pangkalan di Magelang.

Sudirman, yang pada saat itu menjabat sebagai kolonel, mengirim pasukan untuk mengusir Inggris dan tentara Belanda di Ambarawa.

Di bawah pimpinan Urip Sumoharjo, Sudirman ditunjuk sebagai kepala divisi V.

Baca Juga: Biografi Cut Nyak Meutia dan Kisah Perjuangannya di Aceh

Agresi Militer Belanda

Jenderal Sudirman
Foto: Jenderal Sudirman (Pinterest.com)

Pada tanggal 12 November 1945, Soedirman, yang saat itu berusia 29 tahun, terpilih sebagai pemimpin TKR (Tentara Keamanan Rakyat).

Sudirman kemudian dipromosikan menjadi seorang Jenderal dan menunjuk Urip Sumoharjo sebagai kepala staf TKR.

Meskipun demikian, ia belum secara resmi dilantik oleh Presiden Soekarno sebagai Kepala TKR.

Ketika pasukan sekutu datang ke Indonesia dengan alasan untuk melucuti tentara Jepang, ternyata tentara Belanda turut serta dalam upaya ini.

Ini menyebabkan TKR terlibat dalam pertempuran dengan tentara sekutu.

Pada bulan Desember 1945, pasukan TKR yang dipimpin oleh Sudirman terlibat dalam pertempuran melawan tentara Inggris di Ambarawa.

Pada tanggal 12 Desember tahun yang sama, dilancarkan serangan serentak terhadap semua kedudukan Inggris. Pertempuran yang berlangsung selama lima hari akhirnya memaksa pasukan Inggris untuk mundur ke Semarang.

Ketika pasukan Belanda melancarkan Agresi Militer II Belanda, ibu kota Negara RI berada di Yogyakarta karena Jakarta sudah jatuh ke tangan Belanda sebelumnya.

Pada saat itu, Jenderal Sudirman yang sedang sakit berada di Yogyakarta, dan keadaannya sangat lemah karena hanya satu paru-parunya yang masih berfungsi.

Dalam Agresi Militer II Belanda, Yogyakarta pun berhasil dikuasai oleh Belanda. Bung Karno, Bung Hatta, dan beberapa anggota kabinet juga sudah ditawan.

Meskipun Presiden Soekarno telah menganjurkannya untuk tetap tinggal di kota untuk mendapatkan perawatan medis, Sudirman tidak bisa memenuhinya.

Dorongan hatinya untuk melawan Belanda dan tanggung jawabnya sebagai pemimpin tentara menjadi prioritas utamanya.

Baca Juga: Biografi Ahmad Dahlan, Pendiri Muhammadiyah yang Berjasa

Wafatnya Jenderal Soedirman

Penyakit TBC yang merusak tubuh Jenderal Sudirman saat itu semakin parah.

Ia secara rutin menjalani perawatan di Rumah Sakit Panti Rapih. Pada saat itu, Indonesia sedang dalam proses negosiasi dengan Belanda untuk mendapatkan pengakuan kedaulatan.

Kondisi kesehatan Jenderal Sudirman membuatnya jarang muncul di depan publik karena ia sedang dirawat di sanatorium di wilayah Pakem.

Kemudian, pada bulan Desember 1949, ia dipindahkan ke Magelang.

Belanda akhirnya mengakui kedaulatan Indonesia pada tanggal 27 Desember 1949 melalui Republik Indonesia Serikat.

Pada saat yang sama, Jenderal Sudirman diangkat sebagai Panglima Besar TNI.

Menurut biografi Jenderal Sudirman, setelah berjuang keras melawan penyakitnya, pada tanggal 29 Januari 1950, Panglima Besar Sudirman meninggal dunia di Magelang.

Baca Juga: 11+ Makanan Khas Magelang, Lezat dan Mengenyangkan!

Demikian informasi tentang biografi Jenderal Soedirman dan perjuangannya melawan penjajah.

Semangatnya berjuang membela tanah air merupakan nilai luhur yang dapat kita teladani.

  • https://www.biografiku.com/biografi-jenderal-sudirman/
  • http://soedirman.pahlawan.perpusnas.go.id/public/biography
  • https://ditsmp.kemdikbud.go.id/sosok-jenderal-soedirman-berjuang-dengan-satu-paru-paru/
  • http://kesbangpol.banyumaskab.go.id/news/32999/biografi-jendral-sudirman

Konten di bawah ini disajikan oleh advertiser.
Tim Redaksi Orami tidak terlibat dalam materi konten ini.


FOLLOW US

facebook
twitter
instagram
spotify
tiktok

Orami Articles — Artikel Seputar Parenting, Kesehatan,
Gaya Hidup dan Hiburan

Copyright © 2024 Orami. All rights reserved.