Syafruddin Prawiranegara, Pahlawan Kemerdekaan yang Dilupakan
Syafruddin Prawiranegara adalah seorang tokoh pergerakan kemerdekaan Indonesia yang memiliki peran penting dalam sejarah bangsa.
Lahir pada 28 Februari 1911 di Cianjur, Jawa Barat, Syafruddin aktif dalam berbagai kegiatan pergerakan nasional.
Termasuk menjadi anggota Partai Nasional Indonesia (PNI) dan terlibat dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia melalui jalur diplomasi.
Ia juga pernah menjabat sebagai Menteri Keuangan di bawah pemerintahan Presiden Soekarno.
Dengan latar belakang pendidikan yang kuat, Syafruddin Prawiranegara dikenal sebagai sosok yang cerdas dan berpengaruh dalam memajukan ekonomi Indonesia pada masa awal kemerdekaan.
Baca Juga: Biografi Imam Bonjol, Pahlawan yang Memimpin Perang Padri!
Kehidupan Awal
Syafruddin Prawiranegara lahir pada 28 Februari 1911 di Cianjur, Jawa Barat.
Ayahnya adalah seorang pangreh praja atau camat yang memiliki hubungan kekerabatan dengan Raden Aria Adipati Achmad Djajadiningrat, Bupati Serang pada zaman Belanda.
Syafruddin dibesarkan dalam keluarga yang taat beribadah dan mendapatkan pelajaran mengaji sejak kecil.
Ketika Syafruddin menginjak usia satu tahun, orang tuanya bercerai dan ayahnya menikah lagi dengan Raden Suwela.
Karena masih balita, Syafruddin belum mengetahui hal itu.
Baru ketika Syafruddin berusia tujuh tahun, ia bertemu dengan ibu kandungnya. Pertemuan ini membawanya untuk mengenal keluarga dari pihak ibu kandungnya.
Meskipun keluarganya memiliki latar belakang bangsawan, Syafruddin Prawiranegara mulai menunjukkan sikap nasionalis sejak awal kariernya.
Ia tidak setuju dengan tuntutan-tuntutan yang "moderat" dan bergabung dengan gerakan kemerdekaan yang saat itu bergerak di bawah tanah.
Syafruddin sering bertemu dengan Sutan Sjahrir, meskipun ia menolak dihubungkan dengan Sutan Syahrir, banyak yang menganggapnya sebagai bagian kelompok perlawanan Sjahrir.
Baca Juga: Biografi Sultan Agung, Sultan Mataram Ketiga yang Cerdas
Pendidikan Syafruddin Prawiranegara
Syafruddin Prawiranegara mengikuti pendidikan di Europeesche Lagere School (setara SD) di Serang pada tahun 1925.
Kemudian, ia melanjutkan pendidikannya di Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (setara SMP) di Madiun pada tahun 1928 dan Algemeene Middelbare School (setara SMA) di Bandung pada tahun 1931.
Setelah menyelesaikan pendidikan tinggi SMA, ia melanjutkan ke Rechtshoogeschool (Sekolah Tinggi Hukum) di Jakarta, yang saat ini dikenal sebagai Fakultas Hukum Universitas Indonesia.
Di sana, ia meraih gelar Meester in de Rechten, yang setara dengan gelar Sarjana Hukum, pada tahun 1939.
Selama masa studinya, Syafruddin juga turut berperan dalam pendirian perkumpulan mahasiswa Unitas Studiorum Indonesiensis yang bersifat apolitis.
Ia didukung oleh pemerintah Hindia Belanda sebagai alternatif dari Perhimpoenan Peladjar-Peladjar Indonesia yang cenderung radikal dan pro-kemerdekaan.
Setelah lulus dari Rechtshoogeschool, Syafruddin bekerja sebagai redaktur di surat kabar Soeara Timur dan menjadi kepala Perserikatan Perkumpulan Radio Ketimuran (PPRK) antara tahun 1940 dan 1941.
Selama awal kariernya, ia mulai menunjukkan sikap nasionalis dan tidak setuju dengan tuntutan "moderat" (yang mengejar otonomi lebih besar di Indonesia) yang diusulkan dalam Petisi Soetardjo pada tahun 1936.
Selain itu, sebelum pendudukan Jepang, ia juga mendirikan organisasi untuk membantu korban perang.
Selama masa pendudukan Jepang, Syafruddin diangkat sebagai kepala kantor pajak di Kediri sebelum akhirnya dipindahkan ke Bandung.
Baca Juga: Biografi Martha Christina Tiahahu, Pahlawan Perempuan asal Maluku
Karier Politik
Setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia, Syafruddin Prawiranegara terpilih sebagai salah satu dari 15 anggota Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) pada 17 Oktober 1945.
Sebelumnya, ia adalah anggota KNI Pariangan.
Pada tahun 1946, Syafruddin menjadi anggota Masyumi, meskipun sebelumnya ia pernah ditawari untuk bergabung dengan Partai Sosialis Indonesia (PSI) oleh Sjahrir dan Amir Syarifuddin.
Ia memilih Masyumi karena latar belakang keislamannya, meskipun saat itu ia belum memiliki pengalaman dalam organisasi Islam.
Syafruddin berperan penting dalam mengakhiri monopoli partai nasional dalam proses terbentuknya Maklumat Wakil Presiden Nomor X.
Hal ini mendekatkan Indonesia ke sistem parlementer dan memperkuat citra negara sebagai pemerintahan demokratis dalam politik luar negeri.
Berkat kedekatannya dengan Sjahrir, Syafruddin diangkat menjadi Menteri Muda Keuangan dalam Kabinet Sjahrir II dari Maret 1946 hingga Oktober 1946.
Kemudian ia menjabat sebagai Menteri Keuangan dalam Kabinet Sjahrir III dari Oktober 1946 hingga Juni 1947.
Ia juga menjabat sebagai Menteri Kemakmuran di Kabinet Hatta I mulai Januari 1948.
Dalam bidang keuangan, Syafruddin memainkan peran penting dalam penerbitan Oeang Republik Indonesia (ORI) untuk mendanai perlawanan terhadap Belanda.
Saat Mohammad Hatta ragu-ragu, Syafruddin meyakinkannya bahwa mata uang ORI adalah langkah yang perlu diambil untuk menunjukkan keseriusan Republik Indonesia.
Syafruddin menjadi Menteri Keuangan pertama yang mendistribusikan mata uang Indonesia pada akhir tahun 1946.
Ia juga ikut serta dalam konferensi Economic Council for Asia and the Far East di Manila, Filipina pada tahun 1947.
Pada awal tahun kemerdekaan, Syafruddin mengkritik kelompok pemuda yang dianggapnya tidak realistis dalam menekan pemerintah.
Ia mendukung pendekatan pragmatis dan realis Sjahrir serta mengutuk dorongan agar pemuda ikut berperang tanpa persenjataan yang memadai.
Baca Juga: Biografi Dewi Sartika, Pahlawan Pendidikan Indonesia
Pemerintah Darurat Republik Indonesia
Setelah Perjanjian Renville ditandatangani, terjadi gencatan senjata antara militer Belanda dan Indonesia.
Namun, Indonesia mempersiapkan rencana darurat mengingat pengalaman Agresi Militer Pertama tahun sebelumnya.
Pemerintah cadangan disiapkan di Sumatra Tengah atas saran Letkol Daan Jahja karena wilayah Jawa Tengah dianggap terlalu sempit dan padat.
Mohammad Hatta, yang saat itu menjadi Wakil Presiden dan Menteri Pertahanan, mulai memindahkan perwira militer dan pejabat ke Bukittinggi pada Mei 1948.
Pada November 1948, Hatta dan Syafruddin pergi ke Bukittinggi dan mempersiapkan dasar-dasar pemerintahan darurat.
Namun, Hatta harus kembali ke Yogyakarta karena perundingan di sana, sehingga ia meminta Syafruddin untuk membentuk pemerintahan darurat jika Yogyakarta jatuh ke tangan Belanda.
Pada bulan Desember 1948, Hatta berencana kembali ke Bukittinggi, tetapi Agresi Militer Kedua Belanda dimulai pada tanggal 19 Desember 1948, menjadikan Sukarno, Hatta, dan banyak pejabat Indonesia ditangkap dan diasingkan ke Pulau Bangka.
Syafruddin, yang diberitahu tentang hal ini, awalnya ragu-ragu tentang pembentukan pemerintahan darurat.
Namun, setelah pertimbangan, ia memutuskan untuk mengumumkan didirikannya Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI) pada tanggal 22 Desember 1948 di Bidar Alam.
Di bawah kepemimpinan Syafruddin, PDRI mengorganisir kelompok-kelompok pejuang di Sumatra, berkomunikasi dengan pemimpin daerah dan dunia internasional, serta mengatur pasokan makanan dan senjata untuk pasukan gerilya di Sumatra.
Kepemimpinan PDRI yang terpusat di bawah Syafruddin memungkinkan kelompok pejuang bersatu dalam perang gerilya di Jawa dan Sumatra.
Meskipun terdapat perundingan Perjanjian Roem-Roijen antara Sukarno, Hatta, dan Belanda, Syafruddin dan tokoh lain di PDRI merasa dilangkahi.
Namun, akhirnya, Syafruddin menerima hasil perjanjian tersebut demi persatuan nasional dan mengembalikan mandatnya sebagai Ketua PDRI ke Sukarno pada Juli 1949.
Syafruddin Prawiranegara memiliki karier yang cemerlang selain sebagai pemimpin PDRI dan Presiden Indonesia.
Beberapa posisi strategis yang pernah dijabat oleh Syafruddin Prawiranegara antara lain sebagai Menteri Keuangan, Gubernur Bank Indonesia, dan anggota Partai Masyumi.
Selain itu, Syafruddin Prawiranegara juga pernah menjabat sebagai Wakil Presiden dan Ketua Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) pada masa perang kemerdekaan Indonesia.
Dalam berbagai posisi strategis tersebut, Syafruddin Prawiranegara menunjukkan dedikasi dan kompetensi tinggi dalam membantu mengembangkan Indonesia pada masa awal kemerdekaan.
Baca Juga: Biografi Teuku Umar, Perjuangan Pahlawan Nasional dari Aceh
Wafatnya Syafruddin Prawiranegara
Syafruddin Prawiranegara meninggal pada 15 Februari 1989 di Jakarta akibat serangan jantung.
Sebelumnya, ia telah menderita bronkitis dan jatuh sakit di rumahnya sekitar pukul 18.00 pada hari itu sebelum akhirnya dilarikan ke Rumah Sakit Pondok Indah.
Ia dimakamkan di Taman Pemakaman Umum Tanah Kusir.
Kesehatannya sudah melemah dalam beberapa tahun sebelum kematiannya.
Setelah Hamengkubuwono IX meninggal pada tahun 1988, Syafruddin merasa bahwa ajalnya sudah dekat.
Pada tanggal 8 November 2011, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono memberikan gelar Pahlawan Nasional Indonesia kepada Syafruddin Prawiranegara.
Pengajuan Syafruddin sebagai Pahlawan Nasional sebelumnya ditolak pada tahun 2000 dan 2009, terutama karena penentangan dari pihak TNI.
Namun, setelah Mohammad Natsir dianugerahi gelar Pahlawan Nasional pada tahun 2008, panitia pengusulan aktif mengumpulkan dukungan melalui seminar dan peluncuran buku yang bertujuan untuk merayakan 100 tahun Syafruddin.
Dukungan ini akhirnya memengaruhi keputusan presiden untuk memberikan gelar Pahlawan Nasional kepada Syafruddin.
Baca Juga: 20 Pantun Tahun Baru 2024, Ada yang Lucu dan Menginspirasi
Demikian informasi seputar biografi Syafruddin Prawiranegara, Presiden RI yang terlupakan.
Kenalkan peristiwa ini pada Si Kecil ya, Moms!
- https://p2k.stekom.ac.id/ensiklopedia/Syafruddin_Prawiranegara
- https://repository.uin-suska.ac.id/18870/7/7.%20BAB%20II__2018633JS.pdf
- https://www.bi.go.id/id/publikasi/ruang-media/cerita-bi/Pages/Syafruddin-Prawiranegara,-Satu-satunya-Orang-Indonesia-yang-Jadi-Presiden-DJB.aspx
Konten di bawah ini disajikan oleh advertiser.
Tim Redaksi Orami tidak terlibat dalam materi konten ini.
Orami Articles — Artikel Seputar Parenting, Kesehatan,
Gaya Hidup dan Hiburan
Copyright © 2024 Orami. All rights reserved.