Alergi Protein: Gejala, Penyebab, dan Cara Mengatasinya
Protein punya banyak manfaat untuk tubuh. Namun, bagaimana jika ada orang yang mengidap alergi protein?
Makanan yang mengandung protein seperti telur, ikan dan susu memang bagus untuk kesehatan.
Akan tetapi, ada orang-orang yang justru mengalami reaksi alergi ketika mengonsumsi makanan tersebut.
Apa Itu Alergi Protein?
Alergi protein adalah gangguan kondisi kesehatan akibat dari efek buruk mengonsumsi makanan atau minuman yang mengandung protein.
Alergi ini berkaitan dengan sistem gastrointestinal, kulit, hingga pernapasan menurut studi di National Library of Medicine.
Alergi protein juga dapat terjadi ketika sistem kekebalan tubuh memberikan respons berlebihan terhadap makanan yang dikonsumsi.
Penyebab Alergi Protein
Semua makanan yang mengandung protein berpotensi menyebabkan reaksi alergi pada penderita alergi protein.
Berikut ini makanan yang bisa jadi penyebab alergi protein, di antaranya:
1. Telur
Alergi protein bisa disebabkan oleh telur baik putih maupun kuningnya.
Karena, keduanya mengandung protein yang bisa memicu reaksi alergi. Alergi telur bisa terjadi pada siapa saja, tetapi cenderung lebih umum dialami oleh anak-anak.
Selain itu, bayi yang masih diberi ASI juga dapat mengalami reaksi alergi protein jika Moms mengonsumsi telur untuk makanan.
Baca Juga: Alergi Kacang: Gejala, Penyebab, dan Pertolongan Pertama
2. Ikan
Reaksi alergi protein ini bisa disebabkan oleh jenis ikan tertentu seperti ikan laut maupun ikan air tawar.
3. Kacang
Kacang juga bisa menjadi penyebab alergi protein. Aneka jenis kacang yang dapat menyebabkan alergi meliputi kacang almond, pistachio, walnut, kacang mede, dan kacang tanah.
4. Susu
Susu atau produk yang mengandung susu juga dapat menimbulkan alergi.
Alergi protein susu sering terjadi pada anak-anak dan biasanya disebabkan oleh susu sapi.
Baca Juga: Moms Perlu Tahu, Ini 9 Makanan Penghilang Alergi Kulit
5. Makanan Laut
Reaksi ini disebabkan oleh protein yang terdapat pada makanan laut tertentu, seperti udang, kepiting, tiram, lobster, cumi-cumi, dan gurita.
Gejala alergi seafood bisa muncul seketika atau beberapa menit setelah mengonsumsi jenis makanan laut ini.
Moms, Dads atau Si Kecil mengalami alergi terhadap salah satu atau beberapa jenis makanan laut saja, tetapi bisa juga terhadap semua jenis makanan laut menjadi penyebab alergi protein.
Gejala Alergi Protein
Gejala alergi protein yang timbul karena mengonsumsi telur, makanan laut, susu dan kacang-kacangan biasanya bersifat ringan hingga parah.
Reaksi alergi yang umumnya muncul yaitu:
- Gatal-gatal
- Ruam merah di merah
- Bibir bengkak
- Gangguan pernapasan seperti bersin hingga hidung tersumbat
- Gangguan pencernaan seperti mual, muntah, kram perut, hingga diare
Meski jarang terjadi, alergi protein juga bisa menyebabkan kondisi kegawatan medis yang disebut sebagai reaksi anafilaksis.
Reaksi alergi berat ini bisa menimbulkan batuk, pusing, pingsan, lemas hingga pembengkakan di saluran pernapasan yang menyebabkan sesak napas.
Jika Moms atau Dads bahkan Si Kecil mengalami reaksi alergi yang berat setelah mengonsumsi penyebab alergi protein atau terpapar faktor pencetus alergi, segera ke dokter untuk mendapatkan penanganan medis.
Baca Jug:Protein Whey, Ini yang Perlu Moms Ketahui!
Pemeriksaan Alergi Protein
Untuk mengetahui apakah mengidap alergi protein atau tidak, langkah berikut ini dapat dilakukan.
1. Membuat Catatan Harian Konsumsi Makanan
Menyimpan buku harian makanan penting karena membantu dokter memetakan gejala dan mencari tahu hubungan makanan dengan gejala pasien.
2. Tes Tusukan Kulit
Tes tusukan kulit ini menyaring alergi protein makanan yang dimediasi IgE.
Meskipun hasil tes positif dapat menunjukkan adanya antibodi IgE, ia memiliki nilai prediksi yang rendah, sedangkan hasil tes negatif memiliki akurasi prediksi yang tinggi.
3. Tes Tempel Atopik
Tes ini digunakan untuk menyaring intoleransi tertunda terhadap protein makanan (reaksi yang diperantarai sel).
4. Pemeriksaan IgE Spesifik Serum
Hal ini juga dilakukan untuk menyaring IgE spesifik antigen dalam serum pasien.
5. Tes Tantangan Makanan Oral
Ini adalah tes standar yang dilakukan di bawah pengawasan medis untuk mendiagnosis atau menyingkirkan alergi makanan.
Diagnosis intoleransi protein makanan dapat dibuat ketika gejala mereda setelah menghentikan konsumsi makanan yang bersangkutan, dan kemudian gejala muncul kembali setelah konsumsi makanan yang sama.
Reaksi dan gejala harus dapat direproduksi dengan eliminasi berulang dan tes tantangan makanan.
Beberapa reaksi GI mungkin menunjukkan reaksi onset lambat, menyebabkan gejala terjadi beberapa jam atau hari setelah konsumsi.
Cara Mengobati Alergi Protein
Jika mengalami kondisi alergi protein, bagaimana cara mengatasinya?
1. Eliminasi Ketat Protein
Satu-satunya cara mengobati alergi protein adalah eliminasi ketat protein makanan penyebab dalam makanan.
Moms, Dads atau Si Kecil harus diberi konseling tentang pemantauan bahan makanan yang diproduksi dan kepatuhan dengan diet eliminasi.
Orang yang menjalani diet eliminasi jangka panjang juga harus memiliki akses ke konseling diet yang tepat.
Idealnya oleh ahli gizi atau ahli diet, dan pemantauan pertumbuhan secara teratur, terutama pada anak-anak.
Pada bayi yang disusui, para ibu harus disarankan untuk menghindari susu sapi dan produk susu.
Formula terhidrolisis ekstensif dengan hipoalergenisitas yang terdokumentasi harus direkomendasikan sebagai pilihan untuk pengobatan alergi susu sapi, terutama pada bayi dan anak kecil yang tidak disusui.
Untuk pasien dengan gejala yang lebih parah, formula asam amino juga dapat direkomendasikan menurut studi di Journal of Allergy.
2. Steroid
Steroid adalah pengobatan andalan dalam intoleransi protein makanan imunologis yang dimediasi IgE, termasuk gangguan gastrointestinal eosinofilik.
Bayi dengan FPIES (Food Protein Induced Enterocolitis Syndrome) akut dengan gejala ringan (tanpa lesu, pucat, atau lesu) dapat dirawat di rumah dengan rehidrasi oral.
Tetapi untuk gejala yang parah, mereka harus ditangani di fasilitas medis dengan cairan IV. Epinefrin intramuskular dan antihistamin tidak memiliki peran dalam pengelolaan reaksi FPIES.
Jika reaksi alergi akut atau anafilaksis dicurigai, kemungkinan makanan penyebab harus segera dihindari, dan perawatan medis darurat harus diberikan.
Mereka mungkin diberi resep untuk perangkat epinefrin yang dapat disuntikkan secara otomatis dan diinstruksikan untuk penggunaan yang tepat.
Walaupun begitu, mengingat manfaat protein yang baik untuk tubuh, maka penderita alergi protein baiknya dianjurkan melakukan imunoterapi atau terapi desensitisasi.
Terapi ini bertujuan untuk melatih tubuh untuk membangun toleransi terhadap protein.
Jangan lupa berkonsultasi ke dokter tentang apa saja yang bisa dilakukan sebagai cara mengatasi alergi protein tanpa harus menghindari sumber sepenuhnya.
- https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK562306/#:~:text=Excessive%20intestinal%20gas%2C%20bloating%2C%20abdominal,the%20skin%20and%20blood%20vessels.
- https://www.webmd.com/allergies/casein-allergy-overview
- https://emedicine.medscape.com/article/931548-overview
- https://academic.oup.com/toxsci/article/55/2/235/1735901
- https://emedicine.medscape.com/article/931548-treatment#:~:text=The%20definitive%20treatment%20of%20food,implicated%20foods)%20from%20her%20diet.
- https://www.allergy.org.au/patients/food-other-adverse-reactions/food-protein-induced-enterocolitis-syndrome-fpies
- https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/24909706/
Konten di bawah ini disajikan oleh advertiser.
Tim Redaksi Orami tidak terlibat dalam materi konten ini.
Orami Articles — Artikel Seputar Parenting, Kesehatan,
Gaya Hidup dan Hiburan
Copyright © 2024 Orami. All rights reserved.