Mengenal Huruf Lontara: Sejarah, Bentuk Huruf, dan Cara Baca
Perkembangan kebudayaan di Indonesia tak hanya terlihat dari baju adat hingga senjatanya, tapi juga dari segi penulisan. Salah satunya huruf Lontara.
Sebelum huruf Latin digunakan seperti sekarang, aksara Lontara menjadi tulisan sehari-hari yang umum digunakan dari abad ke-14 hingga awal abad ke-20.
Jenis aksara ini juga kerap dijumpai dalam karya sastra khas Sulawesi Selatan.
Tertarik melihat seperti apa bentuknya? Yuk, pelajari juga cara membacanya, Moms!
Baca Juga: Mengenal 21 Huruf Konsonan dan Huruf Spesial di Dalamnya
Mengenal Huruf Lontara
Huruf atau aksara Lontara menjadi bagian yang tak terpisahkan dari kebudayaan suku Bugis.
Lontara ini berasal dari kata 'lontar' yang merupakan spesies flora endemik dari Sulawesi Selatan.
Melansir laman Portal Informasi Indonesia, jenis huruf ini pun menjadi aksara tradisional masyarakat Bugis dan Makassar.
Huruf Lontara diciptakan oleh Daeng Pamette, seorang syahbandar atau sabannara sekaligus tumailalang atau menteri urusan dalam dan luar negeri pada Kerajaan Gowa.
Sang Raja Gowa Kesembilan, Karaeng Tumapakrisi Kallonna, meminta Daeng Pamete untuk menciptakan sebuah aksara khusus bagi Kerajaan Gowa.
Tak disangka, huruf tradisional ini berkembang hingga ke luar wilayah kerajaan.
Aksara Lontara akhirnya digunakan untuk menulis pesan atau dokumen penting di atas daun lontar.
Salah satunya pada naskah I La Galigo yang ditulis menggunakan huruf Lontara pada wadah yang unik.
Wadah tersebut berupa daun lontar panjang dan tipis yang digulungkan pada dua buah poros kayu.
Sekilas, bentuknya mirip seperti pita rekaman pada kaset.
Teks tersebut kemudian dibaca dengan menggulung lembar tipis itu dari kiri ke kanan.
Sebagai bagian dari sejarah, wadah naskah ini tersimpan rapi sebagai koleksi Tropenmuseum.
Tropenmuseum adalah sebuah museum antropologi yang terletak di Amsterdam, Belanda.
Pada zaman kemaritiman di era Raja Gowa Kesembilan, huruf Lontara juga digunakan untuk membantu sistem perdagangan dan pelayaran.
Aksara ini diperlukan pada sistem pencatatan untuk aktivitas lalu lalang kapal dan perdagangan di bandar-bandar Makassar.
Baca Juga: 8 Pakaian Adat Riau dan Keunikannya, Elegan nan Bersahaja
Bentuk dan Penulisan Huruf Lontara
Huruf Lontara adalah sistem tulisan abugida yang terdiri dari 23 aksara dasar.
Seperti aksara Abugida lainnya, huruf lontara memiliki urutan yang berbeda dengan huruf latin dengan urutan alfabetis seperti a, b, c, d, e, dan seterusnya.
Huruf lontara tersusun dengan urutan ka, ga, nka, pa, ba, ma, npa, dan seterusnya.
Ada pula 6 huruf vokal, terdiri dari /ɔ/, /i/, /u/, /e/, /ə/, dan /o/ serta memiliki sistem penulisan angka.
Sama seperti huruf latin di zaman sekarang, aksara ini dituliskan dari arah kiri ke kanan.
Secara tradisional, aksara Lontara ditulis tanpa spasi antarkata (scriptio continua) dengan tanda baca yang minim.
Dilihat dari karakteristiknya, bentuk huruf Lontara berbeda dengan huruf lainnya.
Huruf asal Bugis ini hanya memiliki garis lurus ke atas dan ke bawah, tidak ada garis melengkung atau bengkok.
Pada pertemuan garis lurus ke atas dan ke bawah terdapat patahan.
Hal ini mengandung makna perwujudan karakter suku Bugis yang mencintai kejujuran.
Disimbolkan dengan garis lurus, mencerminkan suatu semboyan lebih baik patah daripada harus bengkok.
Dari segi teknis penulisannya, huruf Lontara menggunakan garis tebal tipis, bukan tipis tebal.
Baca Juga: Pernikahan Adat Sunda, dari Prosesi Hingga Baju Pengantin
Garis lurus ke atas harus lebih tebal, sementara garis lurus ke bawah harus tipis atau halus.
Teknik ini menggambarkan sebuah tekad yang besar untuk maju dan berkembang.
Sebaliknya, garis lurus ke bawah yang cenderung halus menjadi simbol budi pekerti yang alus.
Cara Baca Huruf Lontara
Ada 5 diakritik dalam aksara Lontara dengan cara baca sebagai berikut:
- Jika tanda titik berada di sebelah kiri atas huruf, maka dilafalkan dengan huruf vokal i
- Jika anda titik berada di sebelah kanan bawah, maka dilafalkan dengan huruf vokal u
- Jika tanda yang menyerupai huruf L terbalik dan condong ke dalam, maka dilafalkan dengan huruf vokal e. Contohnya sepatu atau sedih.
- Jika tanda yang menyerupai huruf L dan condong keluar, maka dilafalkan dengan huruf vokal o.
- Jika tanda yang menyerupai huruf L dan berada di sebelah kiri atas, maka dilafalkan dengan huruf vokal e (pepet). Contohnya ember atau enak.
Agar bisa membaca suatu kata, tentu ada tanda baca hingga huruf konsonan maupun vokal.
Beda dengan huruf latin, aksara Lontara tidak memiliki tanda baca virama (pemati vokal) sehingga aksara konsonan mati tidak dituliskan.
Huruf konsonan dan vokal pada aksara Lontara melekat satu sama lain.
Bagi yang tak terbiasa, tentu akan merasa rancu dan tidak mengerti bacaan kata yang dituliskan.
Misalnya pada kata "Mandar" hanya ditulis mdr.
Tulisan sr dapat dibaca sebagai "sarang", sara', atau "sara", tergantung konteks kalimatnya.
Seiring berkembangnya zaman, huruf Lontar mulai tergantikan dengan huruf latin yang dipakai hingga saat ini.
Layaknya bahasa daerah, aksara ini nyatanya masih diajarkan sebagai mata pelajaran muatan lokal di sekolah-sekolah di Sulawesi Selatan.
Namun, memang dalam praktiknya masih jarang diterapkan di kehidupan sehari-hari.
Untuk melestarikan kebudayaan Bugis ini, huruf Lontara disematkan pada berbagai papan penunjuk jalan hingga nama gedung di Sulawesi Selatan.
Tak hanya di Indonesia saja, huruf Lontar juga diabadikan di luar negeri, lho Moms.
Salah satunya pada tembok bangunan Pusat Studi Asia Tenggara dan Karibia di Leiden, Belanda.
Di sana tertulis sebuah bait puisi beraksara Lontara dengan ukuran yang besar.
Baca Juga: Sejarah dan Penulisan Sistem Penomoran dengan Angka Romawi
Sejarah Huruf Lontara
Aksara Lontara telah digunakan sejak sebelum pengaruh Islam masuk ke Sulawesi Selatan pada abad ke-16.
Aksara ini berakar pada sistem abugida dari aksara Brahmi India Selatan, kemungkinan melalui perantara aksara Kawi.
Kesamaan dengan aksara Sumatera Selatan, seperti Rejang, memunculkan teori bahwa aksara-aksara ini berkembang paralel dari pengaruh aksara Gujarat, India.
Aksara Lontara pertama kali berkembang di Bugis sekitar tahun 1400 M.
Awalnya ditulis pada daun lontar dengan gaya lurus dan kaku, namun dengan ketersediaan kertas pada abad ke-17, gaya penulisannya menjadi lebih bervariasi.
Pada abad ke-19, aksara ini distandardisasi melalui upaya ahli Belanda seperti B.F. Matthes, yang menciptakan mesin cetak untuk Lontara Bugis.
Proses ini mempercepat pengajarannya di sekolah-sekolah Sulawesi Selatan.
Penggunaan aksara Lontara Bugis pada akhirnya menggantikan aksara Makassar (Jangang-Jangang).
Bersama aksara Arab dan Latin, aksara Lontara sering digunakan secara bersamaan dalam naskah, mencerminkan adaptasi budaya tulisan yang dinamis di Sulawesi Selatan.
Huruf Lontara Menjadi Aksara Mendunia
Huruf Lontara dilestarikan sebagai salah satu bagian dari kebudayaan Indonesia.
Yayasan Aksara Lontaraq Nusantara bahkan mendaftarkannya sebagai salah satu aksara dunia di Unicode dan dijadikan buku dalam The Unicode Standart.
Huruf Lontara menjadi aksara nusantara pertama yang terdaftar di badan internasional yang merancang standar tenis penulisan aksara.
Lebih lanjut, jenis huruf ini akan ditampilkan pada perangkat komputer.
Sebagai seorang filolog aksara Lontara, Nurhayati Rahman berharap aksara asli Bugis ini bisa terus lestari.
Selain mulai digunakan dalam keseharian, huruf ini bisa dilakukan digitalisasi dan dimanfaatkan sebagai aksara resmi di berbagai perangkat elektronik.
Mulai dari laptop, komputer, hingga telepon seluler dengan tampilan huruf sesuai aslinya.
Dengan begitu, keberadaan huruf Lontara bisa terus eksis dan tidak tergerus zaman.
- https://indonesia.go.id/kategori/budaya/2576/lontara-aksara-mendunia-dari-bugis
- https://jalurrempah.kemdikbud.go.id/artikel/aksara-lontara-hukum-amanna-gappa-jejak-jalur-rempah-makassar
- https://onesearch.id/Record/IOS7091.article-460
Konten di bawah ini disajikan oleh advertiser.
Tim Redaksi Orami tidak terlibat dalam materi konten ini.
Orami Articles — Artikel Seputar Parenting, Kesehatan,
Gaya Hidup dan Hiburan
Copyright © 2024 Orami. All rights reserved.