5 Mitos Tentang Bayi Tabung, Ini Kata Ahli!
Punya keturunan adalah dambaan dari hampir setiap pasangan yang telah menikah. Sayangnya, tidak semua pasangan bisa memiliki keturunan dengan mudah. Beragam kondisi membuat pasangan kesulitan untuk memiliki keturunan.
Program bayi tabung atau yang juga dikenal sebagai in vitro fertilization (IVF) menjadi salah satu solusi yang ditawarkan dunia kedokteran kepada pasangan yang ingin memiliki momongan.
Karena prosesnya tidak alami, banyak bermunculan mitos-mitos tentang bayi tabung. Prof. Dr. dr. Budi Wiweko, SpOG(K), MPH, selaku Presiden PERFITRI (Perhimpunan Fertilisasi In Vitro Indonesia), mengatakan bahwa pasangan sebaiknya jangan mudah percaya dengan mitos yang beredar.
Hal senada juga dilontarkan dr. Ivan Sini, GDRM, MMIS, FRANZCOG, SpOG. yang menjabat sebagai Sekretaris Jenderal PERFITRI. Ia juga meminta pasangan untuk mencari tahu terlebih dahulu kebenaran tentang mitos yang beredar di masayarakat.
Menurut mereka, tidak semua mitos yang beredar itu benar. Mitos apa saja yang beredar tentang bayi tabung? Bagaimana tanggapan Prof. Iko dan dr. Ivan sebagai ahli? Berikut penjelasannya.
Anak Hasil Bayi Tabung Rentan Sakit
Prof. Iko mengatakan bahwa anak hasil bayi tabung rentan sakit adalah mitos. Kenyataannya, anak hasil bayi tabung tidak berbeda dengan anak dari proses alami.
Ia menjelaskan, sebuah studi dilakukan terhadap 1.500 bayi hasil bayi tabung, inseminasi, dan alami. Perkembangan mereka terus dipantau.
“Hasilnya, tumbuh kembang, kecacatan, dan kelainan kongenital tidak berbeda. Semua sama. Jadi tidak perlu khawatir soal ini,” ungkapnya.
Ibu yang Menjalani Program Bayi Tabung Berisiko Kanker
Pada program bayi tabung, ibu memang harus menjalani prosedur panjang, termasuk mengonsumsi obat tertentu dan mendapatkan injeksi hormonal. Hal ini dilakukan untuk memudahkan proses bayi tabung.
Banyak yang berpikir bahwa obat dan injeksi yang diberikan kepada ibu akan membuatnya berisiko terkena kanker. Prof. Iko mengatakan, memang, obat dan injeksi yang diberikan bersifat hormonal dan bisa mempengaruhi perilaku jaringan sel telur.
“Tapi, tidak terbukti meningkatkan risiko kanker. Obat dan injeksi yang diberikan sudah diteliti dan terbukti aman,” ungkapnya.
Baca Juga: 5 Selebritis Ini Mendapatkan Anak dari Bayi Tabung
Ibu yang Menjalani Program Bayi Tabung Harus Bedrest setelah Transfer Embrio
Banyak ibu yang berpikir bahwa dirinya harus istirahat total setelah transfer embrio agar embrio bisa berkembang dengan baik. Hal tersebut justru salah. Prof. Iko mengatakan, sebuah studi membuktikan bahwa ibu yang baru saja melakukan transfer embrio diminta untuk melompat.
“Hasilnya, posisi embrio tetep. Dia tidak bergerak karena aktivitas ibu. Jadi, setelah transfer embrio, ibu sebaiknya beraktivitas seperti biasa,” jelasnya.
Ibu yang kebanyakan bedrest justru malah tidak hamil karena stres. Sebaliknya, ibu yang kembali beraktivitas tingkat stresnya lebih rendah.
Baca Juga: 6 Etika Menjenguk Bayi Baru Lahir yang Wajib Diketahui
Bayi Tabung untuk Dapat Anak Kembar
Banyak pasangan yang berpendapat bahwa bayi tabung bisa jadi jalan untuk mendapatkan anak kembar, padahal hal tersebut tidak sepenuhnya benar. dr. Ivan mengatakan bahwa hal itu memang selalu jadi harapan pasangan yang datang untuk melakukan program bayi tabung.
“Mereka kan sudah menunggu selama 5, 6, atau 7 tahun untuk punya anak. Harapannya, sekali hamil bisa kembar. Itu paradigma yang terjadi,” katanya.
Di sisi lain, dokter pun senang jika melihat pasiennya ternyata hamil anak kembar. Padahal, lanjut dr. Ivan, kembar merupakan salah satu komplikasi yang harus dihindari.
Anak kembar itu umumnya akan lahir sebelum usia kandungan menginjak 9 bulan, Itu artinya mereka akan lahir prematur. Bayi yang lahir prematur punya risiko gangguan kesehatan yang lebih besar.
“Kami tidak mau itu terjadi. Kami harapannya ibu bisa hamil 9 bulan, kalau bisa lahir normal, dan anak menyusu dengan baik. Kembar itu bukan objektif kami,” tuturnya.
Baca Juga: Apa Bedanya Bayi Tabung dan Inseminasi Buatan?
Kehamilan dari Proses Bayi Tabung Rentan Mengalami Komplikasi
Prof. Iko mengatakan bahwa adanya risiko komplikasi atau tidak bukan berdasarkan ibu itu mengikuti program bayi tabung atau tidak. Risiko komplikasi lebih berkaitan dengan kondisi ibu sebelum hamil.
Menurutnya, banyak ibu yang datang untuk program bayi tabung karena mereka memiliki masalah tertentu. Nah, kondisi itu yang kemudian memicu risiko terjadinya komplikasi.
“Misalnya dia program usia 40 tahun, risiko komplikasi tentu ada. Bukan karena program bayi tabungnya, tapi karena kehamilan di usia 40 tahun,” jelasnya.
Itulah beberapa mitos seputar bayi tabung dan penjelasan lengkapnya dari Prof. Iko dan dr. Ivan. Sudah tidak bingung lagi kan Moms?
(AND)
Konten di bawah ini disajikan oleh advertiser.
Tim Redaksi Orami tidak terlibat dalam materi konten ini.
Orami Articles — Artikel Seputar Parenting, Kesehatan,
Gaya Hidup dan Hiburan
Copyright © 2024 Orami. All rights reserved.