Dianugerahi Putri dengan Cerebral Palsy, Iis Risnawati Sempat Merasa Gagal jadi Ibu
Oleh Iis Risnawati Sulaiman, ibu dari Rana Nashisti Dhiyata (23 tahun), Eraldhys Webtansah (30 tahun), M. Azmi Mahendra (15 tahun) dan seorang ibu rumah tangga.
Menjadi seorang ibu dari anak yang mengidap Cerebral Palsy adalah pengalaman yang membuat saya untuk belajar banyak hal.
Rana, putri pertama saya, diketahui mengidap penyakit ini sejak usianya 6 bulan.
Namun begitu, Rana adalah anugerah paling indah yang pernah saya miliki di hidup saya.
Cerebral Palsy mungkin masih terdengar cukup asing untuk di muka umum. Oleh karena itu, dari tulisan ini saya ingin membagi pengalaman selama mengasuh Rana, sebagai survivor Cerebral Palsy.
Kenal Lebih Dekat Dengan Cerebral Palsy
Foto: Dok/Iis Risnawati S.
Moms, Cerebral Palsy (CP) adalah suatu kondisi kelumpuhan otak. Tejadinya gangguan gerak dan postur tubuh yang sifatnya statis (tidak bertambah buruk).
Penyebab utuhnya belum diketahui, namun bisa kerena gangguan otak sejak dalam kandungan.
Saya hamil Rana waktu usia 30 tahun dan waktu itu semuanya baik-baik saja.
Rana lahir caesar karena saya mengalami plasenta previa pada waktu itu. Plasenta previa adalah kondisi plasenta menutupi jalan lahir bayi.
Kemudian sampai usia 6 bulan setengah, Rana demam tinggi hingga 39 derajat Celcius. Terkejut? Tentu saja itu membuat kami terpukul.
Semua terjadi begitu cepat dan secara tiba-tiba.
Gejala yang dirasakan Rana saat itu ialah demam tinggi, kejang, hingga akhirnya harus masuk ICU.
Hari berganti saya menunggu kabar baik di balik pintu ICU itu. Namun faktanya berbalik.
“Putri ibu koma,” ucap dokter anak yang menangani Rana pada saat itu.
Masa Kritis Rana di Usianya 6 Bulan
Foto: Dok/Iis Risnawati S.
Koma di usia 6 bulan tidak pernah bisa saya bayangkan itu bisa terjadi kepada anak saya.
“Saya juga ga ngerti, virus itu dari mana ya? Kok bisa masuk. Padahal saya sudah menjaganya dengan baik, saya asi eksklusif,”
Ucapan itu yang terus berputar-putar di pikiran saya pada saat itu.
Waktu Rana masuk rumah sakit kemudian koma di ICU, perasaan saya sebetulnya sudah hancur lebur.
Saya nangis, hampir tiap malam.
Namun, kemudian saya berpikir, kalau saya nangis terus, saya ini ibunya, kalo saya mengasuh Rana dengan nangis, apa jadinya?
Itu sebabnya saya yakin banget bahwa harapan itu harus saya jaga betul harapan itu harus selalu ada di dalam diri saya.
Baca Juga: Kenali Penyebab, Tanda, dan Perawatan Autisme pada Anak Sejak Dini
Bangun dari Koma, Hidup Rana Berubah Selamanya
Foto: Dok/Iis Risnawati S.
Ketika Rana koma, hampir 2 bulan kami menginap di rumah sakit.
Setelah berkonsultasi dengan banyak dokter ahli di Jakarta, dengan lapang dada, dokter memvonis Rana mengidap Cerebral Palsy dengan grade berat.
Pendengaran, penglihatan, dan fungsi organnya terganggu. Saraf motoriknya tidak berkembang secara sempurna layaknya anak biasa.
Rana tidak bisa berdiri mandiri, makan harus saya suapin, saya mandikan, kalaupun duduk masih ada alat bantu yang perlu dipasang.
Tentu ini bagaikan ketukan dari Tuhan ketika saya harus menghadapi ini semua.
Karena sekitar tahun 1998 itu informasi dan internet masih sangat terbatas, saya sampai meminjam silabus para dokter untuk memahami lebih dalam arti dari Cerebral palsy.
Saya Percaya Harapan Itu Ada
Foto: Dok/Iis Risnawati S.
Kerusakan otak Rana hampir menyeluruh.
Pusat pengelihatan terganggu, pusat pendengaran, pusat bicara, pusat motorik dan intelejensinya pun terganggu.
Tapi saya percaya harapan itu pasti ada. Saya harus berjuang untuk Rana, sehingga saya harus paham betul apa yang harus saya lakukan dan dialami anak perempuanku ini.
Rana paham apa yang sedang ia dan orang sekitarnya rasakan.
Kalau secara pemahaman, dia paham dengan insturuksi, obrolan, tapi dia tidak sanggup untuk membalas atau menimpali.
Jadi kalau misalnya saya marah dia makannya rewel, ya dia tahu bahwa ibunya sedang marah, dia paham.
Kalau dia kecewa dia akan cemberut, dan kalau dia senang dia akan mengespresikan dengan senyuman atau ketawa.
Meski itu hanya rautan wajah, saya sangat percaya harapan itu selalu ada.
Baca Juga: Eratkan Hubungan Saudara dengan Anak Berkebutuhan Khusus dengan Cara Ini
Rana Mengikuti Psioterapi, Hidroterapi, dan Terapi Wicara
Foto: Dok/Iis Risnawati S.
Rana mengikuti berbagai terapi untuk merangsang saraf otaknya.
Psioterapi, hidroterapi, terapi wicara, okupasi terapi, dan sensori integrasi, itu semua saya cobakan untuk Rana.
Rana itu juga sensitif terhadap cahaya, dia sensitif terhadap suara, dia sensitif terhadap hal yang sifatnya mendadak seperti ada gerakan tiba-tiba dari kami itu akan mengagetkan dia.
Hal ini yang memicu kejang dalam tubuhnya.
Maka dari ini, saya mengajak seisi rumah untuk bisa menyesuaikan kondisi Rana. Termasuk memberi pemahaman ke adik dan kakaknya.
Ia juga layaknya perempuan biasa, cukup sensitif saat memasuki pra-menstruasi (PMS).
Muncul jerawat, emosi tidak stabil, tidak suka disentuh atau dekat dengan adik kakaknya ketika fase ini mulai timbul.
Persis layaknya remaja perempuan biasa kan, Moms?
Kerja Sama Kuat antara Kakak Beradik
Foto: Dok/Iis Risnawati S.
Memang berat, tetapi ternyata ini bukan tidak mungkin untuk dijalani.
Eraldhys, atau akrab disapa 'aa', anak sulung saya, mulai mengerti dan bisa mengasuh Rana untuk sehari-hari.
Tapi saya juga bukan berarti mengabaikan anak-anak lain hanya untuk Rana, semua harus dapat porsi sama besarnya, sama baiknya, sama berkualitasnya, karena saya bagaimanapun saya ibu untuk ketiga anak saya.
Dengan saya melibatkan mereka sejak dini, mereka jadi paham bahwa bagian kehidupan dari merkea itu ada Rana juga yang berbeda.
Mereka paham bahwa kehadiran Rana itu membuat dia lebih berkualitas dari anak seusianya, tapi pengalaman Hasmi terhadap Rana sehingga ia terlibat, membuat dia menjadi lebih dewasa dari anak-anak seusianya.
Rana bikin kita dekat satu sama lain. Rana itu melekatkan kita satu sama lain.
Baca Juga: Kenali Metode Belajar Anak, Apakah Gaya Belajar Visual, Audio, atau Kinestetik?
Saya Merasa Sebagai Ibu yang Gagal
“Kenapa mesti saya? Kok saya sih yang harus ngalamin ini, saya salah apa?”
Tiap malam, saya selalu benturkan diri kalau saya bukan ibu yang baik, saya tidak bisa ngasuh anak, saya ibu yang gagal, hingga saya harus mengalami kondisi seperti ini.
Saya susah untuk bercerita ke orang lain tentang kondisi yang saya alamin.
Saya lebih banyak memedamnya sendirian sampai kemudian Tuhan yang maha baik mengetuk saya untuk menyadarkan saya.
“Saya harus bangkit, saya harus berdiri. Kalau tidak begini siapa yang akan urus Rana?”
Sejak itu, saya mulai menerima Rana, mulai menerima keadaan, mulai memaafkan diri sendiri.
Saya enggak mau menyalahkan siapapun atas apa yang terjadi kepada Rana.
Rana, Anak Perempuanku yang Luar Biasa
Foto: Dok/Iis Risnawati S.
Buat saya, Rana adalah anugerah terindah.
Saya sering banget nulis di blog pribadi saya, the best thing in my life itu Rana.
Ibu selalu ingin Rana tumbuh selalu sehat. Rana tau kalau saya sebagai ibu sayang selalu sama Rana.
Saya ingin kami selalu menjalani ini setiap hari ini dengan kebahagiaan dan keseruan yang selalu kita bikin di rumah bersama adik dan kakak.
Ibu ingin Rana juga menjalani hidup dengan berkualitas walaupun Rana terbatas, Rana harus percaya orang lain banyak yang terinspirasi oleh Rana.
Anak perempuan yang selalu tersenyum dalam keadaan sakit sekalipun, tidak pernah cengeng padahal sakit tubuhnya.
Ia yang selalu menularkan kegembiraan untuk orang lain.
Mata Rana itu selalu mebagikan rasa sayang, rasa cinta, pada semuanya.
Memasuki Usia 22 Tahun
Foto: Dok/Iis Risnawati S.
Saat ini usia Rana sudah beranjak 22 tahun.
Perasaan itu mulai muncul, perasaan yang saya khawatirkan sejak ia berusia 6 bulan.
“Kalau saya pergi duluan dari Rana, siapa yang akan menjaga Rana?”
Pikiran itu terus membesit setiap saya melihat Rana.
Namun untuk saat ini, saya punya waktu bersama Rana, hampir 24 jam mulai dari dia bangun hingga malam hari.
Kekuatan saya justru ada di Rana. Saya nggak mungkin sesabar ini, kata orang saya kuat karena Rana.
Kalau nggak ada dia, saya nggak akan seperti ini, saya percaya betul itu.
Itu karena setiap hari saya liat rana. Setiap hari Rana ada dipelukan saya, dan rasanya luar biasa.
Kemajuan terbesar Rana adalah bisa melihat dengan baik, komunikasi non-verbal semakin baik serta pengendalian emosi lebih stabil.
Baca Juga: Ini Caranya Memprediksi Tinggi Badan Anak Saat Dewasa Nanti
Pernah Terkucilkan, Membuat Hati Saya Semakin Hancur
Salah satu pengalaman yang kami alami ketika sebagian orang melihat Rana sebagai seseorang yang berbeda.
Ketika saya membawa Rana keluar, jangankan keluar ke tempat hiburan, ke rumah sakit aja, orang itu memandangnya pasti langsung “Apa sih."
Begitu juga saat kami ke kolam renang karena Rana harus hidroterapi.
“Kenapa berenang di sini sih?” Mereka komplain dan memarahi kami.
Saya tersinggung, saya marah, tetapi saya langsung mengelus dada dan membiarkan mereka pergi meninggalkan kami.
Seengganya kolam renang jadi milik saya dan Rana dan bisa sedikit lebih bebas.
Saya merasa, sepertinya harus ada yang diubah, ada hal yang harus saya lakukan untuk mensosialisasikan apa itu Cerebral Palsy ke masyarakat luas.
Moms, Cerebral Palsy bukanlah penyakit menular, ya.
Rumah Cerebral Palsy
Memiliki seorang anak perempuan yang mengidap Cerebral Palsy, melunturkan hati saya untuk melakukan sesuatu.
Rumah Cerebral Palsy, komunitas orang tua yang memiliki anak Cerebral Palsy dan untuk menginspirasi orang di luar sana.
Ini saya dirikan sejak tahun 2012 bersama 10 teman saya.
Ini kami buat untuk menguatkan orang tua yang baru mengalami anaknya menjadi penyandang Cerebral Palsy.
Dan untuk mensosialisasikan kepada masyarakat awam bahwa Cerebral Palsy itu sebetulnya bisa tumbuh dan berkembang seperti anak biasanya.
Anak Cerebral Palsy bisa hidup berkualitas, bisa menjalani hidupnya dengan baik, dan dia bisa berdampingan dengan masyarakat umum.
Saya percaya kalau ibunya bangkit, ibunya semangat, anaknya bisa dengan mudah ditangani. Karena kalo ibunya menolak, maka anaknya akan sulit untuk menjalani kegiatan.
“Ibunya bangkit, ibunya semangat, sehingga anak-anak bisa mendapatkan hal yang lebih”
Saya juga aktif menulis di blog pribadi saya, Dunia Rana, dalam membagi pengalaman kemajuan Rana sehari-hari.
Baca Juga: 5 Kiat Mendisiplinkan Anak Berkebutuhan Khusus
Pengalaman saya ini semoga dapat memberikan pemahaman lebih luas tentang Celebral Palsy dan menjadi pelajaran berharga untuk Moms semua. Tetap semangat dan terus berjuang ya, Moms.
Konten di bawah ini disajikan oleh advertiser.
Tim Redaksi Orami tidak terlibat dalam materi konten ini.
Orami Articles — Artikel Seputar Parenting, Kesehatan,
Gaya Hidup dan Hiburan
Copyright © 2024 Orami. All rights reserved.