Menyelami Gangguan Kesehatan Mental pada Ibu Pascamelahirkan
Kesehatan mental ibu pascamelahirkan sering kali kurang mendapatkan perhatian khusus. Ini karena keluarga akan lebih fokus pada kehadiran sang buah hati.
Setiap tahun, Hari Kesehatan Mental Sedunia dirayakan pada tanggal 10 Oktober.
Adanya hari ini adalah untuk mengajak semua orang menyadari pentingnya kesehatan mental, tidak terkecuali pada seorang ibu pascamelahirkan.
Melansir Centers for Disease Control and Prevention, kesehatan mental mencakup kesejahteraan emosional, psikologis, dan sosial seseorang.
Kondisi ini memengaruhi cara berpikir, rasa, dan bertindak. Ini juga membantu menentukan bagaimana menangani stres, berhubungan dengan orang lain, dan membuat pilihan.
Baca Juga: Moms Perlu Tahu, Ini 5 Cara BAB Setelah Melahirkan Dijahit
Kesehatan mental penting di setiap tahap kehidupan, dari masa kanak-kanak dan remaja hingga dewasa.
Lantas, bagaimana cara mengindikasikan kondisi kesehatan mental Moms pasca melahirkan, serta seberapa penting peran suami dan keluarga pada masa ini? Berikut ini penjelasannya.
Gejala Gangguan Kesehatan Mental Pascamelahirkan
Foto: Orami Photo Stock
Umumnya, kondisi perubahan emosional Moms pascamelahirkan dapat kembali normal dengan sendirinya sehingga tidak membutuhkan pertolongan medis.
Melansir Jurnal Kesehatan, kondisi ini biasanya terjadi 2-6 minggu setelah melahirkan dengan karakterististik, yaitu perasaan depresi, kecemasan yang berlebihan, insomnia, dan perubahan berat badan.
Namun, bila kondisi semakin buruk, barulah akan muncul gangguan kesehatan mental pada ibu yang lebih parah.
Angka kejadian gangguan kesehatan mental seperti depresi dan gangguan kecemasan pada ibu di negara berkembang memiliki rata-rata 19,8% saat setelah melahirkan.
Melansir International Journal of Mental Health, di Indonesia tercatat sebanyak 22,4% ibu mengalami gangguan kesehatan mental setelah melahirkan.
Gangguan kesehatan mental ibu pascamelahirkan dapat menunjukkan gejala berbeda, dari yang ringan hingga berat sesuai dengan kondisi yang dialami.
Contohnya adalah postpartum depression dan baby blues. Umumnya, gejala postpartum depression terjadi lebih kuat dan berlangsung dalam kurun waktu yang lama.
Gejala gangguan kesehatan mental pascamelahirkan yang bisa terjadi dijelaskan oleh psikolog Nirmala Ik, M.Psi., Psi. di antaranya sebagai berikut:
- Tidak memiliki hasrat untuk melakukan aktivitas sehari-hari
- Menangis secara berlebihan
- Merasa sedih, khawatir berlebihan dan cemas berlebihan
- Kesulitan untuk merawat dan bermain dengan bayi
- Tidak bisa tidur, atau malah tidur terlalu lama
- Sering pusing, sakit perut, dan nyeri otot
- Merasa tidak bisa menjadi ibu atau ayah yang baik
- Merasa tidak mampu mengurus bayi
- Muncul perasaan bersalah, tidak pantas, dan tidak berharga
- Timbul pemikiran untuk menyakiti diri sendiri atau bayi
- Kesulitan untuk membangun ikatan dengan buah hati
- Pada tahap yang sangat parah, penderita mungkin memiliki pemikiran untuk melakukan bunuh diri
Baca Juga: Kaki Bengkak Setelah Melahirkan, Bagaimana Cara Mengatasinya?
Penting untuk menghubungi dokter sesegera mungkin jika Moms mengalami gejala gangguan kesehatan mental pascamelahirkan yang mulai mengganggu aktivitas, seperti:
- Tidak membaik setelah 2 minggu pasca persalinan
- Semakin buruk walau sudah mendapat bantuan konseling atau dukungan sekitar
- Mempersulit Moms untuk merawat bayi
- Membuat Moms sulit untuk menyelesaikan tugas sehari-hari
- Muncul pikiran untuk menyakiti diri sendiri atau bayi
Jenis Gangguan Kesehatan Mental Ibu
Foto: Orami Photo Stock
Kondisi mental sering kali dikaitkan dengan istilah penyakit atau gangguan mental. Walaupun demikian, keduanya adalah terminologi yang berbeda.
Seseorang dapat mengalami kesehatan mental yang buruk dan tidak didiagnosis dengan gangguan mental.
Demikian juga, seseorang yang didiagnosis dengan penyakit mental dapat mengalami periode kesejahteraan fisik, mental, dan sosial.
Salah satu peristiwa yang dapat memengaruhi kesehatan mental seseorang adalah persalinan.
Perubahan emosional pasca persalinan dapat memengaruhi kondisi kejiwaan, aktivitas, performa, hubungan dengan suami, bahkan perkembangan bayi.
Dalam dunia medis, kondisi Moms setelah persalinan ini dikenal dengan depresi postpartum atau postpartum depression.
Melansir Mayo Clinic, berikut ini adalah jenis gangguan kesehatan mental pascamelahirkan pada ibu beserta dengan gejalanya:
1. Postpartum Blues
Meskipun sulit, baby blues biasanya mereda dalam waktu 2 minggu tanpa pengobatan.
Hal yang Moms perlukan hanyalah berusaha untuk tenang, disertai dengan bantuan dari orang terdekat untuk Moms dan bayi.
2. Pospartum Depression
Gangguan mental ini adalah kondisi yang jauh lebih serius daripada postpartum blues, dan bahkan mempengaruhi sekitar 1 dari 10 ibu baru.
Jika Moms pernah mengalami depresi pascamelahirkan sebelumnya, risikonya akan meningkat hingga 30%.
Kondisi depresi postpartum merupakan suatu keadaan yang serius.
Sebuah penelitian membuktikan bahwa 25% ibu yang baru pertama melahirkan mengalami depresi pascamelahirkan yang berat dan pada ibu yang melahirkan anak selanjutnya sekitar 20%.
Psikiater biasanya akan meresepkan obat psikoterapi atau antidepresan yang sangat efektif.
3. Postpartum Psychosis
Postpartum psychosis adalah bentuk depresi pascamelahirkan yang sangat parah dan memerlukan perhatian medis darurat.
Kondisi ini relatif jarang, hanya memengaruhi 1 dari 1.000 wanita setelah melahirkan.
Perawatan biasanya akan mencakup masuk ke rumah sakit untuk ibu dan obat-obatan.
Baca Juga: 6 Cara Kembali Semangat Bekerja Setelah Cuti Melahirkan
Cara Mendiagnosa Ibu dengan Gangguan Kesehatan Mental
Foto: Orami Photo Stock
Melansir Jurnal Keperawatan Indonesia, dokter dapat mendiagnosa seorang Ibu mengalami gangguan kesehatan mental pasca melahirkan dengam Skala Edinburgh.
Skala ini terdiri dari 10 item pernyataan dengan 4 pilihan jawaban dimana masing-masing jawaban mempunyai skor 0 –3.
Cara penyebaran dan pengisian kuisioner Skala Edinburgh dengan memberi tanda silang (X) pada jawaban yang dipilih selama 30 menit.
Berikut penilaiannya:
- Skor 1– 9 menunjukan bahwa tidak ada tanda resiko depresi.
- 10–12 menunjukan bahwa resiko sedang depresi.
- Skor 13–30 menunjukan bahwa risiko berat timbulnya depresi nifas.
Dampak Terganggunya Kesehatan Mental Ibu
Foto: Orami Photo Stock
Kondisi kesehatan mental sangat penting bagi siapapun, tidak terkecuali ibu yang baru saja melahirkan.
Kantiana Taslim, M.Psi seorang psikolog anak menjelaskan, kesehatan mental ibu pascamelahirkan sering kali menimbulkan kondisi gangguan emosional.
Kondisi ini muncul karena perubahan yang terjadi secara tiba-tiba pada ibu, seperti peran baru, tanggung jawab baru, hingga perubahan hormon dalam tubuh yang membuat mental ibu shock dan mengalami mood swing.
Jika gangguan emosional pada ibu pascamelahirkan tidak segera ditangani, alhasil akan ada penyesuaian yang terhambat dan terganggunya kesehatan mental ibu, sehingga menyebabkan:
1. Ibu Menjadi Lebih Sensitif
Perubahan emosional dan hormonal akan membuat ibu semakin sensitif dengan mood yang tidak beraturan.
Ini karena perubahan-perubahan tersebut menguras tenaga Ibu baik secara fisik maupun mental.
2. Kecemasan Berlebih
Ibu yang baru melahirkan bisa mengalami overwhelmed dengan situasi dan keadaan baru.
Alhasil, kecemasan yang berlebihan dapat muncul seperti, perasaan tidak percaya diri dapat menjadi ibu yang baik, khawatir berlebih pada bayi, mudah tersinggung, dan masih banyak lagi.
3. Mudah Lelah
Ibu mudah lelah dan cranky pada bayi. Ini karena pertolongan yang terlambat akan memunculkan pola kondisi kesehatan mental yang berulang.
Hal ini membuat ibu sulit membedakan kondisi sebenarnya dan ilusinya.
Dampak gangguan kesehatan mental ibu pascamelahirkan tersebut tentu dapat dirasakan anak juga, karena hubungannya yang paling dekat dengan ibu.
Ditambah dengan kurangnya peran suami dan keluarga, hal tersebut membuat ibu dan anaknya tidak mendapatkan pertolongan sedari dini.
Baca Juga: 9+ Jenis Jamu setelah Melahirkan untuk Moms Coba, Bikin Langsing dan Bugar!
4. Anak Kekurangan Nutrisi
Gangguan emosional pada ibu terkadang bisa memengaruhi produksi ASI sehingga anak sedari bayi tidak mendapatkan cukup nutrisi dari ASI.
Ada pula kasus ibu yang bisa memproduksi ASI, namun enggan menyusui bayinya.
Kondisi ibu tersebut juga mempengaruhi bayi untuk memperoleh akses ke nutrisi lainnya.
Hasilnya, bayi akan tumbuh dengan fisik yang lemah.
5. Kurangnya Bonding Ibu dan Anak
Karena ibu dengan gangguan emosional pasca melahirkan memiliki emosi negatif, alhasil tidak akan ada bonding yang sangat diperlukan bayi dan anak saat masa tumbuh kembangnya.
Ini akan sangat berpengaruh pada kemampuan Si Kecil dalam bersosialisasi dan menumbuhkan kepercayaan dirinya.
6. Memengaruhi Sifat Anak
Bila mengalami depresi, Moms mungkin kesulitan untuk mencintai dan merawat bayi sepanjang waktu.
Hal ini dapat berujung pada ikatan yang buruk yang dapat memengaruhi kesehatan emosional anak di kemudian hari.
Bayi juga akan cenderung tumbuh lebih pendiam atau pasif, serta perkembangan yang lebih lambat dibanding bayi lain.
Menurut Kantiana, sulit untuk mendiagnosa anak yang mengalami dampak dari kondisi emosional ibu pascamelahirkan.
Maka dari itu, jalan keluar yang dianjurkan adalah bagaimana peran suami atau keluarga menyadari kondisi ibu terlebih dahulu agar segera mendapat pertolongan profesional.
Selama masa perawatan, ibu akan dijauhkan terlebih dahulu dari anak agar fokus pada self care dan mental health-nya terlebih dahulu.
Nantinya, ibu dapat kembali keep in touch dengan anak secara bertahap selama masa pemulihan.
Peran Suami Terhadap Kondisi Kesehatan Mental Ibu Pascamelahirkan
Foto: Orami Photo Stock
Dalam hal gangguan emosional dan kesehatan mental pascamelahirkan, suami dapat melakukan banyak hal untuk mendukung sang istri.
Ini mungkin tidak mudah, dan mungkin tidak menyenangkan, tetapi suami dapat membantu istri untuk mengatasi atau setidaknya menemani selama masa depresi dan kecemasan pascamelahirkan.
Dari penelitian Ratu Kusuma, salah satu doktor dari Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia menjelaskan, sikap, respons adaptasi fisiologis, konsep diri, fungsi peran, interdependen, dan dukungan sosial suami, dapat menurunkan kejadian depresi postpartum.
Perubahan emosional yang dialami istri tentu akan membuatnya menjadi orang yang pemarah.
Meski begitu, suami harus tetap bersabar dan mengerti akan kondisi yang sedang dialami sang istri.
Berikut beberapa hal yang bisa dilakukan suami untuk mendukung istri pascamelahirkan.
1. Bersabar dan Berikan Dukungan
Tahan emosi, dan tetap berbaik hati serta bertutur kata lembut demi meredam emosi istri tercinta.
Suami juga harus mampu mendorong istri untuk bersabar dalam mengahadapi kondisinya saat ini.
Katakan dengan lembut bahwa apa yang sedang dialaminya akan berakhir dengan cepat dan ingatkan kepada dirinya jika ia adalah orang yang kuat.
Jangan biarkan ia pesimis. Sebaliknya buat istri menjadi orang yang optimis.
Melansir Mental Health in Family Medicine Journal, sebaiknya suami dapat membuat suasana yang dipenuhi afirmasi positif.
Baca Juga: 7 Cara Alami Mengencangkan Payudara Setelah Melahirkan
2. Jadilah Pendengar yang Baik
Hindari melakukan perdebatan-perdebatan yang sifatnya tidak terlalu penting.
Fokuslah menjadi pendengar yang baik bagi istri. Sebab, perdebatan kecil dapat memperburuk kesehatan mental istri pascamelahirkan.
Selain itu, tahukah Moms bahwa suami juga berpotensi untuk mengalami gangguan kesehatan mental pascamelahirkan?
Melansir Archives of Pediatrics and Adolesence Medicine Journal, ayah yang lebih muda, mereka yang memiliki riwayat depresi, dan mereka yang mengalami kesulitan memenuhi kebutuhan sekunder kemungkinan besar akan mengalami depresi.
Maka dari itu, komunikasi yang baik juga terjadi 2 arah ya, Moms. Baik suami maupun istri, keduanya harus saling mendukung di situasi ini.
Kisah Moms dengan Gangguan Kesehatan Mental Pascamelahirkan
Foto: instagram.com/pucca_hi
Berikut ini adalah beberapa kisah dari Moms yang mengalami gangguan kesehatan mental pascamelahirkan.
Salah satu diantaranya diangkat melalui sebuah film yang cukup terkenal, lho.
1. Kisah dari Film Kim Ji Young 1982
Film yang rilis pada tahun 2019 ini diadaptasi dari novel best seller karya Cho Nam Ju dengan judul yang sama.
Film ini mengisahkan diskriminasi terhadap perempuan yang memiliki anak di Korea Selatan yang masih konservatif dengan budaya patriarkatnya.
Film ini pun cukup menuai banyak kontroversi di Korea Selatan, karena dianggap mengangkat tema yang sensitif, yaitu feminisme dan kesehatan mental.
Film ini bercerita kisah Kim Ji Young (Jung Yu Mi) yang menikah dengan seorang pria idamanya Jung Dae Hyun (Gong Hyoo) dan memiliki putri berusia 26 bulan.
Demi mengurus sang putri, Ji Young harus merelakan kariernya dan menjadi ibu rumah tangga.
Sebenarnya tak ada masalah di antara Ji young dengan Dae Hyun.
Namun, masalah ini mulai muncul ketika Ji Young tidak menyadari bahwa ia tertekan dan mengalami postpartum depression.
Ada banyak faktor yang membuat Kim Ji Young mengalami kondisi ini, di antaranya:
- Seksisme yang di alami Kim Ji Young sejak muda dari ayahnya.
- Tidak memperoleh kesetaraan gender di tempat kerjanya dulu.
- Sang mertua yang sangat patriaki.
- Kritik orang orang yang menganggap ibu rumah tangga adalah pekerjaan yang sangat nyaman.
Berbagai hal ini kemudian menjadikan kondisinya semakin parah.
Ji Young didera postpartum depression yang cukup berat hingga membuatnya kerap relaps, menjadikannya terlihat dan terdengar seperti orang yang kerasukan arwah neneknya.
Sayangnya Ji Young tidak menyadari bahwa ia dalam kondisi tersebut dan membutuhkan pertolongan.
Akhirnya Dae Hyun mengonsultasikan masalah tersebut ke psikolog sembari membujuk Ji Young untuk ikut mendapatkan bantuan profesional.
Dalam film ini kita bisa tahu, peran suami sangat besar dalam membimbing dan mendukung kesehatan mental ibu pascamelahirkan.
Baca Juga: 15+ Cara Mengecilkan Perut setelah Melahirkan, Mudah Banget!
2. Kisah Maya: American Psychiatric Association
Maya adalah pengacara berusia 32 tahun yang sehat. Dia telah menikah selama lebih dari 2 tahun dan sedang menanti anak pertamanya, seorang bayi laki-laki.
Maya sendiri memiliki riwayat depresi dan gangguan kecemasan umum.
Saat hamil, Maya memutuskan untuk menghentikan pengobatannya dengan harapan kehamilannya tidak akan terganggu.
Ia hanya menjalani terapi sesekali dengan psikolog.
Setelah melahirkan, Maya mulai merasa sedih, kewalahan, dan terus-menerus menangis. Dia sering merasa mudah tersinggung dan gelisah.
Perasaan ini bertahan selama 10 minggu pertama setelah bayi lahir.
Maya memiliki dukungan terbatas, ini karena orang tuanya bercerai dan ibunya tinggal di negara bagian lain.
Maya merasa benar-benar tidak mampu menenangkan bayinya dan frustrasi serta menangis.
Dia sangat takut dengan apa yang telah dia pelajari tentang kematian bayi mendadak, sehingga membuatnya terus terjaga tanpa tidur.
Suaminya memahami situasi tersebut dan menawarkan untuk mengambil cuti kerja dan melakukan beberapa kegiatan mengasuh bayi.
Maya juga memutuskan untuk kembali menggunakan antidepresan seperti sebelumnya.
Maya dan suami juga ikut bersama komunitas ibu-ibu dengan pengalaman kondisi serupa.
Alhasil, 2 bulan setelahnya Maya mulai bisa bangkit dan kembali beraktivitas normal.
Dukungan MotherHope untuk Para Ibu
Foto: Orami Photo Stock
Angka gangguan kesehatan mental Ibu pascamelahirkan seperti postartum depression maupun baby blues nyatanya selalu meningkat setiap tahunnya.
Menurut WHO, 10 hingga 13% perempuan yang baru saja melahirkan mengalami gangguan kesehatan mental, terutama depresi, di seluruh dunia.
Kehadiran platform digital dan media sosial hari ini telah memungkinkan para Moms baru untuk mendapatkan dan bahkan menggalang dukungan.
MotherHope Indonesia (MHI) menjadi salah satu komunitas yang memberikan dukungan berkelanjutan bagi para ibu yang mengalami gangguan kesehatan mental pascamelahirkan dengan memanfaatkan Facebook.
Memulai perjalanannya pada 2015, komunitas MotherHope Indonesia kian berkembang pesat.
Saat ini, lebih dari 45.000 anggota telah bergabung ke dalam Facebook Group MHI.
Mereka saling berbagi tentang cara meningkatkan kekuatan mental keluarga, mengatasi konflik, dan cara menghadapi depresi dan kecemasan.
MotherHope Indonesia memiliki beberapa program offline rutin, seperti small support group yang berisikan 5-10 orang dan dapat berinteraksi secara langsung.
Adapula seminar yang berkolaborasi dengan komunitas lain atau lembaga tertentu, dan biasanya dilakukan 3 kali dalam setahun, dan bahkan kunjungan ke rumah.
Untuk kunjungan rumah ini, MHI bekerjasama dengan tim relawan untuk memberikan edukasi dan dukungan psikologis untuk Moms yang membutuhkan bantuan.
Walau bukan sebuah bentuk pertolongan profesional, tetapi teman bicara dengan kondisi yang sama bisa membantu Moms untuk bangkit, lho!
Baca Juga: Review 5 Popok Bayi Baru Lahir Terbaik, Mana yang Moms Pilih?
Itu dia pembahasan mengenai kesehatan mental pascamelahirkan. Ingat, Moms tidak sendirian menghadapi semua perubahan usai melahirkan.
Dukungan Dads dan bantuan profesional juga akan sangat membantu Moms untuk bisa memiliki kesehatan mental dan emosi yang stabil.
Ditulis oleh:
- Cholif Rahma
Disunting oleh:
- Meira Karla Farhana
- Widya Citra Andini
Ilustrasi oleh:
- Achyadi
- https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/20819960/
- https://www.cdc.gov/reproductivehealth/depression/index.htm
- https://www.cdc.gov/mentalhealth/learn/index.htm
- https://ejurnal.poltekkes-tjk.ac.id/index.php/JK/article/view/1586
- https://www.fhs.gov.hk/english/other_languages/bahasa_indonesia/women_health/postnatal_care/30098.html
- https://www.mayoclinic.org/diseases-conditions/postpartum-depression/symptoms-causes/syc-20376617
- https://my.clevelandclinic.org/health/diseases/9312-postpartum-depression
- https://www.webmd.com/depression/guide/postpartum-depression
- https://www.nhs.uk/mental-health/conditions/post-natal-depression/overview/
- https://asianwiki.com/Kim_Ji-Young:_Born_1982
- https://www.ui.ac.id/pentingnya-dukungan-suami-terhadap-pencegahan-depresi-usai-melahirkan/
- https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC2873875/
- https://www.psychiatry.org/patients-families/postpartum-depression/patient-story
- http://jki.ui.ac.id/index.php/jki/article/view/315
- http://ejournal.litbang.kemkes.go.id/index.php/HSJI/article/view/396
- https://www.tandfonline.com/doi/abs/10.2753/IMH0020-7411350105
Konten di bawah ini disajikan oleh advertiser.
Tim Redaksi Orami tidak terlibat dalam materi konten ini.
Orami Articles — Artikel Seputar Parenting, Kesehatan,
Gaya Hidup dan Hiburan
Copyright © 2024 Orami. All rights reserved.