5 Tanda Kekerasan Emosional dalam Pernikahan
Pernahkah Moms atau Dads terus menerus merasa bersalah dan takut dalam sebuah hubungan?
Tanpa sadar, bisa saja Moms atau Dads pernah atau sedang menjadi korban bahkan pelaku kekerasan emosional dalam hubungan tersebut, lho. Apa saja tandanya?
Tanda Kekerasan Emosional dalam Pernikahan
Diambil dari studi Nesrin Duman, kekerasan emosional yang dikenal juga sebagai kekerasan psikologis atau kekerasan mental.
Kekerasan emosional adalah bentuk kekerasan yang memiliki karakteristik seseorang dikuasai atau ditundukkan oleh orang lain dengan perilaku yang dapat menyebabkan trauma psikologis termasuk kecemasan, depresi akut, atau gangguan stres pasca-trauma (PTSD).
Tipe kekerasan ini dapat tidak terdeteksi selama bertahun-tahun karena sulit dibuktikan secara fisik. Lantas, apa saja tanda-tanda kekerasan emosional dalam sebuah hubungan?
1. Posesif dan Suka Mengontrol
Foto: freepik.com
Tanda pertama yang bisa dilihat ialah adanya perilaku posesif dan terlalu mengontrol dari pasangan.
Misalnya saja seperti memasang aplikasi pelacak di smartphone, mengatur apa yang korban pakai, melarang Moms atau Dads pergi tanpa pasangan, marah ketika telepon dan pesan tidak langsung dibalas, memiliki akses ke akun-akun pribadi.
Tak hanya itu, pelaku juga biasanya tidak membolehkan korban memutuskan sesuatu tanpa persetujuannya, dan berbagai hal lain yang membuat Moms atau Dads merasa tidak memiliki kebebasan untuk melakukan sesuatu tanpa membuat pasangan marah.
Baca Juga: 8 Alasan Kenapa Korban KDRT Sulit Meninggalkan Rumah
2. Sulit Diprediksi
Foto: freepik.com
Baru saja mesra-mesraan, tiba-tiba pasangan marah, kasar, dan membentak karena alasan kecil.
Ketika sedang berkumpul bersama teman-teman, pasangan sepertinya ceria dan ramah, tetapi saat berdua, tiba-tiba mood-nya jelek.
Setelah bertengkar, biasanya pelaku akan meminta maaf dan merayu Moms atau Dads agar memaafkannya.
Pelaku kekerasan emosional menggunakan taktik ini untuk memanipulasi korban agar tidak meninggalkannya.
3. Selalu Saja Salah
Foto: freepik.com
Cara pelaku menyangkal kelemahan diri mereka adalah dengan menyalahkan orang lain. Dalam hal ini, korban kekerasan emosional. Misalnya, menuduh Moms atau Dads selingkuh dengan alasan cemburu.
Pelaku bisa juga playing victim, yaitu membuat Moms atau Dads merasa menjadi penyebab masalah dan mereka harus menanggung akibatnya.
Biasanya, pelaku juga dengan sengaja membuat korban marah, kemudian menyalahkan korban karena tidak dapat mengontrol emosi, menuduh korban berlebihan, dan sebagainya.
Baca Juga: Dampak Kekerasan Rumah Tangga Bagi Kesehatan Fisik dan Mental
4. Mengancam dan Merendahkan
Foto: freepik.com
Tidak ada hubungan yang tidak diwarnai pertengkaran dan argumen. Tetapi, dalam kasus kekerasan emosional, pelaku tidak takut menyakiti korbannya secara mental.
Contohnya membuat nama panggilan yang tidak pantas dan menyakitkan, mengejek penampilan korban walau di depan umum, hingga sengaja selingkuh untuk menunjukkan bahwa mereka diinginkan oleh orang lain dan bisa meninggalkan korban kapan saja.
Pelaku juga tidak segan mengeluarkan ancaman-ancaman, misalnya seperti akan memutuskan hubungan, tidak menafkahi, memukul, mengusir dari tempat tinggal, dan lain-lain.
5. Menjadi Jauh dengan Keluarga dan Teman
Foto: freepik.com
Pelaku kekerasan emosional biasanya mengisolasi korbannya dengan melarang mereka menghabiskan waktu bersama orang lain, walaupun itu keluarga korban sendiri.
Seringkali pelaku tidak segan menyembunyikan, mencuri, hingga menghancurkan kunci rumah atau kendaraan agar korban tidak bisa bepergian, atau alat komunikasi agar korban tidak bisa menghubungi siapapun.
Tanda lain yang harus diwaspadai adalah pelaku sering mengolok-olok dan meremehkan teman dan keluarga korban agar korban merasa bersalah menghabiskan waktu dengan mereka.
Baca Juga: 4 Ciri Kekerasan Finansial dalam Rumah Tangga
Menyadari bahwa Moms atau Dads adalah korban dari kekerasan emosional adalah langkah penting untuk mencari solusi dalam hubungan yang tidak sehat ini.
Biasanya karena sudah terlalu lama si pelaku mengontrol korban, sulit bagi korban untuk kembali mengenali dan menghargai diri sendiri.
Apabila bisa diajak berdiskusi, ajaklah pasangan yang melakukan kekerasan untuk terapi dan kembali merajut hubungan yang sehat.
Jika terapi bukan pilihan, maka berpisah mungkin adalah pilihan yang harus dipertimbangkan.
Konten di bawah ini disajikan oleh advertiser.
Tim Redaksi Orami tidak terlibat dalam materi konten ini.
Orami Articles — Artikel Seputar Parenting, Kesehatan,
Gaya Hidup dan Hiburan
Copyright © 2024 Orami. All rights reserved.