Kekurangan Metode Time Out: Anak Merasa Diabaikan?
Metode time out pertama kali diciptakan di akhir tahun 1950-an untuk mengatasi perilaku yang mengganggu. Time out kemudian menjadi sangat populer dan banyak dipilih dibanding cara pendisiplinan tradisional yang lebih kasar, seperti memukul.
Menurut Raising Children (The Australian Parenting Website), menjelaskan bahwa time out adalah 'mengambil' anak Moms dari kegiatan yang menarik dan memberi perhatian pada Si Kecil pada waktu yang singkat. Khususnya ketika Si Kecil berperilaku dengan cara yang tidak dapat diterima, metode time out bisa menjadi strategi untuk mengelola perilaku Si Kecil.
Cara menerapkan metode time out adalah anak yang berulah disuruh menghadap tembok atau duduk di kursi “hukuman” sendiri selama beberapa menit. Moms harus bersikap cuek terhadap tangisan atau permintaan anak saat time out.
Baca Juga: 5 Tips untuk Orangtua dalam Mendisiplinkan Anak
Apa Tujuan Metode Time Out
Foto: newshub.co.nz
Metode time out bertujuan memberikan waktu bagi anak dan orang tua untuk sama-sama menenangkan diri, sehingga berpotensi mencegah sebuah perilaku berulang kembali. Tapi, anak jadi merasa diabaikan, ditolak, takut, dan bingung.
Menurut pakar parenting asal Amerika Serikat Bonnie Compton kepada The Washington Post, ada kehilangan kontak saat time out yang bisa diartikan sebagai hilangnya kasih sayang orang tua, terutama pada anak yang lebih kecil.
“Anak yang disuruh masuk ke kamar (saat metode time out) seringkali percaya bahwa pengasingan tersebut adalah karena anak terlalu nakal sampai-sampai orang tua tidak mau berada di dekat mereka,” jelas Bonnie.
Ia menambahkan, hal ini berisiko bagi anak yang memiliki kecenderungan cemas, Pengasingan ini bisa meningkatkan ketakutan mereka. Semakin mereka cemas, semakin mereka berisiko meledak dengan cara merusak mainan atau mengacau di kamar saat time out.
Baca Juga: 5 Manfaat Orang Tua Bermain Bersama Anak
Tanda Metode Time Out Tidak Berhasil
Foto: parentmap.com
Selain itu, metode time out juga tidak membantu anak mengatur emosi atau belajar nilai moral seperti benar dan salah. Bahkan, time out bisa menyebabkan persaingan kekuatan antara orang tua dan anak.
“Modulasi dan regulasi emosi terjadi seiring perkembangan korteks prefrontal, bagian otak yang belum berkembang sepenuhnya sampai anak remaja,” kata dokter anak asal Amerika Serikat, Nadia Sabri.
Artinya, membiarkan anak sendirian saat time out agar memikirkan apa kesalahan yang sudah ia perbuat hanyalah membuang-buang waktu. “Kalau Moms bertanya mengapa anak di-time-out, mereka biasanya menjawab ‘tidak tahu’,” jelas Sabri.
Baca Juga: Duh! 70 Persen Orang Tua Memilih Gadget Dibanding Ngobrol dengan Anak
Ada beberapa tanda time out tidak berhasil, yakni:
- Moms merasa perlu melakukan metode time out setiap hari, bahkan berjam-jam, kepada anak
- Anak berkali-kali bertanya kapan metode time out selesai
- Anak kabur saat diancam atau disebut-sebut soal time out
- Moms merasa perlu menerapkan time out setiap kali anak berbuat kesalahan
- Metode time out digunakan untuk kesalahan yang itu-itu lagi
- Moms malah makin marah saat menyuruh anak diam agar Moms bisa memasang timer
Itu dia Moms, metode time out yang bisa dilakukan ketika anak merasa terabaikan.
Konten di bawah ini disajikan oleh advertiser.
Tim Redaksi Orami tidak terlibat dalam materi konten ini.
Orami Articles — Artikel Seputar Parenting, Kesehatan,
Gaya Hidup dan Hiburan
Copyright © 2024 Orami. All rights reserved.